Mobil putih itu terparkir di sebuah rumah mewah yang ada di kawasan elit ibu kota. Jasmine kembali diseret masuk ke rumah yang bagianya hanya sebagai neraka. “Ibu—kenapa kau melakukan ini padaku?!” “Karena kau membangkang. Aku hanya memilikimu dan karena kekasihmu yang tak berguna juga temanmu yang kurang ajar itu, kau semakin jauh dengan ibumu sendiri yang seharusnya paling kau pedulikan.” “Ibu, bukan Jeremy dan Jane yang salah, tapi ibu. Ibu tidak penrah menganggapku sebagai seorang anak,” ucap Jasmue. Tidak ada air mata di mata wanita muda itu, lantaran air matanya sudah terlalau kering. Sudah terlalu banyak yang keluar. Ia tidak mungkin kembali menangisi sikap ibunya yang memang sejak dulu tidak pernah berubah. Wanita itu—sejak dulu selalu menjadikannya sebagai objek. Tidak pernah sekalipun sang ibu menghargai kerja kerasnya sebagai seorang model ataupun pemilik bisnis. Di mata ibunya, ia tak lain dan bukan hanyalah seonggok daging yang bisa diperjual belikan hanya untuk me
“Ibunya tidak menyukaiku.” “Itu terihat jelas.” “Jasmine akan dijodohkan dengan pria yang memiliki kasta dengannya.” “Dan kau akan menyerah?” Jeremy terdiam. Tubuhnya bersandar ke sofa. Pandangannya hanya tertuju pada lampu temaram ruang tamu apartemen miliknya. “Jadi kau akan menyerah atau tidak?" cecar Jane yang terlihat tidak sabar dengan jawaban yang akan diberikan oleh Jeremy. Pria memperbaiki posisi duduknya dan menatap serius pada Jane. “Menurutmu apa yang harus kau lakukan? Bisa gila jika Jasmine benar-benar lepas dariku,” ucapnya. Jane yang kini terdiam. Sementara Vincent yang memang tidak ingin ikut campur kini juga memiliki sebuah pemikiran lain. “Apakah ibu Jasmine seorang desainer?” tanyanya pada Jane. Jane menganggukkan kepalanya dan menatap Vincent setengah heran. Sangat jarang Vincent mengungkapakan apa yang tengah ia pikirkan dan sepertinya pria itu tengah memiliki sesuatu dalam kepalanya. “Hmm, apa dia memiliki obsesi tertentu yang masih berkaitan denga
Jane menunduk, sebelum menghembuskan nafasnya pelan. Ketika mendongak, hal pertama yang tampil di cermin adalah tampilannya yang kelewat sederhana. Ia seperti tengah memandang orang yang beda dengan dirinya sendiri. Lihatlah bagaimana rambutnya yang panjang tampak kusut, mata pandanya yang menonjol, serta lihatlah bagaimana kusamnya kulitnya. Entah sudah berapa hari ia tidak perawatan diri. “Jane?” Wanita itu tersentak dan segera keluar dari kamar mandi. Dahinya mengernyit ketika ia melihat Lilibet datang dengan satu kantong plastik. Wanita dengan balutan kemeja formal itu tersenyum lebar ketika mendapati Jane menatapnya. “Aku datang membawa makan siang untuk kita. Kau pasti belum makan. Tunggu—tunggu, Jane ini sungguh dirimu,” ucap Lilibet dengan pandangan yang kini mengarah pada Jane yang tengah duduk di sofa tepat di depannya. Dokter muda itu menatap Jane dari atas hingga bawah dengan pandangan menilai, meskipun Jane tak menghiraukannya. Perutnya tengah dibutakan oleh rasa la
Udara cukup dingin ketimbang biasanya. Perkiraan cuaca mengatakan jika hari itu akan hujan lebat. Beberapa kawasan diberi peringatan dini, sementara yang lainnya dihimbau untuk lebih berhati-hati jika keluar rumah. Meskipun demikian, orang-orang kota yang tinggal di area itu seperti tak memiliki ketakutan terhadap apapun. Paling penting adalah mereka berangkat bekerja dan menghasilkan uang. Kepulan rokok membumbung tinggi yang membuat sekitarnya terasa tak terlalu dingin. “Aku mencarimu.” Jane menoleh dan mendapati Vincent berdiri dengan keadaan tak memakai atasan. Pria itu menatapnya dengan mata sebelah yang masih tertutup. Benar apa yang dikatakan oleh Lilibet, Vincent datang dalam keadaan sadar, pria itu seperti tengah kerasukan ketika bersimpuh di depannya. Memohon untuk ia kembali pada pria itu. Jika diingat-ingat, Jane rasanya tidak percaya ketika Vincent, pria yang sangat berkarisma dan menjunjung harga dirinya itu melakukan hal semacam itu. Jane tak menjawabnya dengan p
“Ku rasa memang seharusnya kau menjenguk ibumu,” ucap Thomas. Mereka tengah bersantai di kantin kantor. Dua piring makan siang sudah teronggok di depan mereka. Sisa makanan Jane masih bisa dikatakan banyak lantaran di tengah makan siang keduanya, sebuah telfon mengintrupsi. Dari kepolisian tempat kedua orang tuanya di tahan. Sebuah pesan yang tak pernah ingin ia dengar, ibunya ingin ia datang berkunjung ke kantor polisi. Jane mengalihkan perhatiannya ke luar jendela kantin. Melihat kesibukan kota yang nampak tidak pernah mati. Orang-orang nampak sibuk dengan kegiatan masing-masing, beberapa dari mereka berjalan santai menuju kopi shop yang ada di seberang jalan. Mereka nampak bahagia bercanda gurau di sana. Sampai kemudian, jane melihat beberapa anak kecil nampak berjalan dengan tangan yang di gandeng dua orang dewasa. Mereka nampak berbincang dengan anak-anak nampak sedih. Kemungkinan orang-orang dewasa itu memarahi mereka atau hanya sekedar mengomel. “Apa perlu ku temani?” Jane
Hampa. Satu kata yang Jane rasakan adalah hampa. Pandangannya mengedar, agak bergidik ketika merasakan hawa dingin menyapa kulitnya. Tatapannya tertuju pada hujan serta gemuruh langin yang belum juga reda dari esok hari. “Kenapa harus hujan,” gumamnya sembari menghela nafas. Jane menundukkan kepalanya, menaikkan selimut untuk menutupi pundak yang telah dbaluk dengan switer tebal milik Vincent. Ketukan air yang terdengar dari balkon cukup nyaring, mengisi kekosongan ruangan yang memang sengaja Jane tempati sebagai tempat istirahatnya hari ini. Sebelum esok ia kembali bekerja. “Aku, bahkan tidak merasakan kesedihan sedikit pun,” ucap Jane lagi. Senyuman terukir sebentar, sebelum kekosongan itu kembali melanda. Tak ada siapapun di tempat itu, hanya dirinya yang berdiri di depan jendela. Sampai kemudian langkah kaki menggema di ruangan lain dan geseran pintu terdengar dengan munculnya seorang pria dengan rambut setengah basah. Vincent datang dengan satu kantung makanan yang ia leta
“Jangan lupa mampir kembali,” ucap seorang gadis berponiyang tengah melayani kafe di balik meja kasir. Senyuman mengembang di wajahnya yang nampak tirus. Jane sebenarnya tidak terlalu tertarik dengan tampilan kopi yang disediakan di kafe tersebut, namun pelayanan yang diberikan memberikan kesan tersendiri bagi para pengunjung. “Jane?” Suara yang nampak familiar, membuat Jane yang tadinya fokus pada beberapa laporan di tabletnya kini beralih fokus. Suara bicang di sekitar membuatnya sadar jika ia sedari tadi tak terlalu memperhatian apa yang terjadi di sekitarnya. Sampai kemudian panggilan itu ia terima. Shopia, wanita itu berdiri di sampingnya dengan satu gelas kopi di tangan. Alis kanan Jane terangkat, menatap bingung pada wanita yang dulu pernah hampir merebut kekasihnya atau bisa juga dikatakan wanita yang merusak hubungannya dengan Vincent. Mendapatkan tatapan datar dari Jane, Shopia hanya tersenyum kecil. Tanpa tahu malu, ia malah duduk di kursi depan Jane. “Aku tidak menya
Jane hanya diam, memandang sesuatu yang sungguh baru kali ini ia lihat dalam hampair tiga puluh tahun hidupnya. Jam menunjukkan pukul enam sore hari ketika datang dan secara kebetulan itu adalah jam di mana waktu besuk dibuka. Ayahnya datang, masih dengan wajah yang nampak arogan. Namun, ia tidak buta jika ada duka yang menyelimutinya. Ia tidak bisa berbohong jika rasa kehilangan itu juga ia rasakan, meskipun sudah ia simpan dengan sangat rapat dan baik dari siapapun. Kini, di depannya, sang ayah tengah menikmati makan siang yang ia buatkan di kafe Vincent. Momen langka yang bahkan dulu tidak pernah sudi ia bayangkan akan terjadi di dalam hidupnya. “Apa makanannya enak, Paman?” tanya Vincent. Ayah Jane yang mendengarnya mendongak. Mata sayu yang menunjukkan jika umur priaitu sudah tidak muda lagi. “Ya, sangat enak. Apa kau seorang koki?” tanya ayah Jane sebelum kembali menikmati makananya dengan lahap. Vincent yang mendengarnya terkekeh kecil. Ujung matanya melirik Jane yang namp