Pangeran Gavin pun melangkah keluar kamar meninggalkan Azura. Langkah lebarnya menuju ke ruang bawah tanah di mana Astra dan semua pelayan berkumpul. Di ruang bawah tanah, Astra memborgol pelayan yang berniat menikam Putri Olivia di hadapan semua pelayan.
“Jangan ada yang pergi dari tempat ini,” ujar Astra penuh penekanan.
Beberapa pelayan berbisik, saling bertanya kenapa mereka semua dikumpulkan. Pelayan yang diborgol mulai tersadar dan kembali memberontak.
“Lepaskan saya! Tolong, siapapun!” pekiknya.
Plak!
Sebuah tamparan keras dengan cepat mendarat di pipi pelayan tersebut membuatnya seketika membeku.
Astra baru saja melayangkan tamparannya pada pelayan di sampingnya. Tangannya yang sudah gatal ingin memukul wanita di sampingnya karena berniat menikam orang yang paling berharga untuk pangeran, “berisik! Kau tidak sadar apa yang telah kau lakukan? Hah?!”
Suara bariton Astra membuat mereka yang berada di sana bergidik ngeri. Untuk pertama kalinya mereka melihat Astra yang biasanya tenang, kini terlihat begitu marah. Tidak ada dari mereka yang berani mengangkat wajah mereka.
“Sudah. Sudah. Tenangkan dirimu, Astra. Jadilah tenang seperti biasanya,” seorang wanita dewasa menghampiri Astra, berusaha menenangkannya.
Astra berdecak kesal, kembali menyimpan tangannya, “kau tidak tahu masalahnya, Cora. Jika tahu, kau juga pasti akan melakukan hal yang sama.”
Cora mengangguk-anggukkan kepala, “aku memang tidak tahu. Aku hanya ingin menasehatimu, kendalikan dirimu. Sebentar lagi pangeran akan datang.”
“Semua sudah terkumpul?” suara datar dengan aura menakutkan terdengar dari tangga.
Astra dan Cora langsung bertekuk lutut, menyambut kedatangan Pangeran Gavin. Atmosfer ruang bawah tanah mulai berubah menjadi mencekam. Derap langkah Pangeran Gavin menggema di seluruh sudut ruangan. Tidak ada yang berani mengangkat wajah mereka. Semuanya tertunduk takut. Bahkan pelayan yang diborgol pun mulai pucat karena takut.
Astra berdiri kemudian mendekat pada Pangeran Gavin, “semuanya sudah terkumpul, Pangeran.”
Pangeran Gavin berdehem, menatap satu persatu pelayan yang berjongkok di depannya, “jawab pertanyaanku, diantara kalian semua yang ada di sini, adakah yang bersekongkol dengan Kerajaan Thorn?”
Tidak ada yang berani menjawab.
Pangeran Gavin menunggu beberapa saat, namun tak kunjung ada jawaban. Dia pun mengalihkan pandangan menatap pelayan yang diborgol, “katakan padaku, kau bersekutu dengan Kerajaan Thron?”
Merasakan aura intimidasi dari Pangeran Gavin membuat pelayan tersebut tidak berani berbicara. Dia sadar kalau hidupnya terancam dan bahkan dia tidak menyangka akan berakhir seperti ini.
“Jawab,” tegas Astra yang mulai tidak tahan dengan pelayan itu.
“Saya ... terpaksa melakukannya. Sungguh, saya tidak bermaksud. Saya hanya dipaksa,” pelayan tersebut berusaha menjawab sekalipun lidahnya bergetar ketakutan.
Manik hitam Pangeran Gavin menatap dingin ke arah pelayan tersebut, “siapa yang memaksamu?”
Pelayan tersebut kembali diam. Dia tidak berani mengatakan kebenarannya. Wajahnya pun semakin pucat.
“Katakan saja. Agar hukumanmu lebih ringan,” sahut Cora.
Pelayan tersebut mengangkat wajahnya menatap Cora, kemudian beralih menatap teman-temannya. Namun dia kembali menundukkan kepala, tidak berani berbicara.
Melihat pelayan itu yang kembali bungkam, Cora memutuskan untuk mendekatinya kemudian berjongkok di depannya, mensejajarkan wajahnya dengan wajah pelayan di depannya, “jika tidak sanggup berbicara, katakan padaku.”
Pelayan tersebut mengumpulkan keberanian, kemudian dengan suara sangat pelan, dia mengatakannya pada Cora. Berhasil mengetahui orangnya, Cora berdiri kemudian menatap satu persatu pelayan yang berjongkok menundukkan kepala di depannya.
Dengan langkah pelan, Cora mengelilingi barisan pelayan. Matanya memicing menatap punggung para pelayan yang bahkan tidak berani menegakkan punggungnya. Di sisi lain, Pangeran Gavin hanya diam, membiarkan Cora melakukan hal yang ingin dilakukannya.
Astra, Azura, dan Cora, merupakan tiga dari lima pengawal pribadi dari Pangeran Gavin. Mereka bekerja secara langsung di bawah kepemimpinan pangeran. Pengawal yang sering terlihat adalah Astra selaku penasehat dan Cora yang bertugas mengawasi para pelayan. Sedangkan yang lainnya, hanya Pangeran yang tahu. Konon kabarnya, mereka sengaja tidak menampakkan diri dan selalu bersembunyi di balik bayangan untuk melindungi Pangeran Gavin. Siapapun yang memancing masalah dengan mereka, dipastikan tidak ada hari esok.
Cora menepuk pundak salah seorang pelayan, “berdiri.”
Pelayan tersebut enggan untuk berdiri, “maaf, saya tidak melakukan apapun, Nona.”
Tanpa mendengar jawabannya, Cora menarik paksa pelayan di depannya kemudian menyeretnya ke depan. Astra pun dengan sigap memborgol tangan pelayan itu.
“Kau memaksa dia untuk melakukan hal buruk pada Putri Olivia?” tanya Pangeran Gavin yang mulai jengah dengan semua ini.
“Maaf, Pangeran. Saya tidak melakukan apapun. Saya bahkan baru tahu kalau Putri Olivia ada di kerajaan ini,” pelayan itu menjawab dengan tenang.
Namun, Pangeran Gavin tidak semudah itu untuk dibujuk. Pandangannya beralih menatap pelayan lainnya yang masih senantiasa bertekuk lutut di depannya, “diantara kalian semua, ada yang melihat mereka melakukan hal aneh?”
Tak butuh waktu lama, salah seorang pelayan memberanikan diri mengangkat tangan, namanya Maya, “saya ijin berbicara, Pangeran. Seminggu yang lalu, saya melihat dia bertemu dengan seseorang di pusat kota. Dia menerima semacam botol kecil, diminta untuk memasukkannya ke dalam makanan.”
Kebenaran demi kebenaran mulai terkumpul. Amarah Pangeran Gavin pun semakin memuncak. Dia marah karena tidak menyadari hal kecil yang terjadi di kerajaannya sendiri. Bahkan kejadian mengerikan yang dialami Putri Olivia sudah direncanakan sejak awal.
“Botol apa yang kau terima? Botol racun?” Astra membuka suara, bertanya pada pelayan yang dibawa Cora.
“Saya tidak menerima apapun, Tuan. Mungkin Pelayan Maya salah lihat,” dengan ketenangan yang masih sama, pelayan itu menjawab dengan tenang.
Satu pelayan kembali mengangkat tangan, namanya Lucy, “saya ingin mengatakan apa yang saya lihat. Siang tadi, dua pelayan itu berbicara buruk mengenai Putri Olivia. Hingga akhirnya satu diantara mereka memutuskan untuk menuangkan sesuatu ke dalam makanan Putri Olivia. Sedangkan yang lainnya keluar dari kerajaan dan baru kembali sore tadi.”
Dua pelayan tidak bisa berkutik lagi. Pelayan di samping Cora yang awalnya terlihat tenang, kini perlahan wajahnya mulai memucat.
“S-Saya tidak mencampurkan apapun, Pangeran. Sungguh,” ucapnya sembari menatap penuh pengharapan pada Pangeran Gavin.
Pangeran Gavin balas menatapnya dengan tatapan tajam, “aku tidak peduli denganmu.” Pangeran Gavin beralih menatap Cora, “bawa mereka ke tempat eksekusi.”
Cora mengangguk kemudian menarik borgol keduanya untuk mengikutinya.
“Maafkan saya, Pangeran. Saya berjanji tidak akan melakukannya lagi. Sungguh,” dua pelayan itu masih saja berusaha untuk membujuk sang pangeran, namun semua kalimatnya tidak ada satupun yang masuk ke dalam telinga Pangeran Gavin.
Suara mereka semakin mengecil hingga akhirnya menghilang. Pangeran Gavin menatap Maya dan Lucy bergantian kemudian berucap, “Lucy dan Maya, tetap tinggal di sini. Yang lain, bisa pergi.”
“Baik, Pangeran,” semua pelayan menjawab serempak dan dengan rapi, mereka berjalan ke tangga menuju ke luar, menyisakan Maya dan Lucy.
Baik Maya dan Lucy mendekat kemudian berlutut di hadapan Pangeran Gavin.
“Mulai hari ini, aku tugaskan kalian berdua untuk menjadi pelayan pribadi Putri Olivia. Kalianlah yang mengurus semua keperluannya,” tegas Pangeran Gavin.
“Dimengerti,” jawab Maya dan Lucy serempak.
.
.
CERITA INI AKAN SEGERA DITERBITKAN DALAM BENTUK CETAK. PANTAU TERUS DI AKUN INSTAGRAM DI VAELAVEY DAN NANTIKAN KABAR TERBARU.
Di tempat lain, di dalam kamar Putri Olivia. Azura bersenandung pelan sembari bersandar di dinding menghadap Putri Olivia yang sedang terlelap. Detik berikutnya dia tersenyum lebar, “sepertinya malam ini akan menjadi malam dimana aku akan bersenang-senang.”Azura beranjak dari tempatnya, keluar dari kamar. Dia menutup pintu rapat-rapat lantas berdiri di depan pintu. Orang yang ditunggunya dari tadi sudah datang, membuat senyumnya semakin lebar.“Sebaiknya kalian keluar saja. Percuma juga sembunyi,” ujar Azura.Sepuluh ... tidak, 20 orang menampakkan dirinya di seberang Azura. Mereka semua memakai pakaian serba hitam dengan penutup mulut yang juga berwarna senada. Dua diantara mereka memiliki badan kekar dan tinggi. Dari postur tubuhnya, bisa dilihat kalau mereka merupakan prajurit atau mungkin pengawal.“Menyingkirlah, jika tidak ingin kepalamu terpenggal,” ucap salah satu dari mereka.Mendengar ucapannya justru
“Apa yang kau lakukan di sini?” laki-laki yang membawa buku itu mengeluarkan suara, bertanya pada orang tidak dikenal di depannya. Sontak orang itu langsung menoleh. Dengan penuh keterkejutan, dia memutar kepalanya menatap laki-laki di belakangnya. Merasa dirinya yang tertangkap, dia beranjak kemudian melangkah cepat menjauh. Nahas, laki-laki itu lebih dulu menendang kakinya membuatnya tersungkur ke tanah. Dengan sigap, laki-laki itu mengunci tangan orang di bawahnya ke belakang tubuhnya kemudian memaksanya untuk berdiri. “Lepaskan aku. Lepas,” orang itu memberontak, berusaha untuk melepaskan diri. Namun laki-laki itu tidak mengendorkan tangannya sedikitpun. Dia menarik orang itu masuk ke area kerajaan. Astra yang baru keluar dari ruang perawatan, mengetahui kedatangan mereka lantas berjalan mendekatinya, “ada apa ini, Leo? Siapa yang kau bawa?” Laki-laki bernama Leo, menatap sekilas ke arah orang yang diseretnya, “aku juga tidak tahu. Sepertinya dia mata-mata.” “Hm? Mata-mata? D
Dengan langkah senyap, Astra keluar dari kamar Putri Olivia meninggalkan Pangeran Gavin. Dia berjalan santai menyusuri koridor, memasuki sebuah lorong yang gelap kemudian masuk ke dalam sebuah ruangan.“Tidak biasanya kau datang terlambat, Astra,” seseorang yang duduk santai di kursi di paling ujung meja, menatap Astra yang berjalan ke tempat duduknya.Astra menarik kursi kemudian duduk. “Jangan samakan tugasku denganmu, Gabriel.”Laki-laki yang dipanggil Gabriel itu, tertawa kemudian menopang dagunya menatap Astra yang berseberangan dengannya, “aku dengar ada keributan tadi. Ditambah lagi, Azura menikmati semuanya sendirian.”Azura sudah duduk di kursinya dengan pakaian yang lebih bersih dibanding sebelumnya. “Pangeran yang memintanya. Jangan salahkan aku.”Gabriel beralih menatap Azura yang duduk di sampingnya. “Tapi, kau menikmatinya, kan?”Azura tersenyum lebar, “tentu saj
Jam 2 malam. Di dalam kamar Putri Olivia. Pangeran Gavin tidak mengistirahatkan tubuhnya sama sekali. Setelah dokter datang mengantarkan obat untuk Putri Olivia, dia senantiasa berjaga. Setiap satu jam sekali, dia akan mengganti kain kompres di dahi Putri Olivia. Dia selalu menjaga tubuh Putri Olivia untuk tetap hangat, sekalipun suhu tubuh Putri Olivia masih tinggi. Pangeran Gavin kembali duduk setelah mengganti kain kompres. Dia tidak kenal lelah untuk menjaga Putri Olivia. Pangeran Gavin menopang dagu, menatap lekat Putri Olivia. Tanpa sadar, matanya perlahan tertutup namun detik berikutnya dia tersadar dan kembali membuka matanya. Posisi duduk membuatnya sangat ngantuk. Pangeran Gavin berdiri sembari merenggangkan tubuhnya. Dia berjalan-jalan mengelilingi kamar, mencegahnya agar tidak tidur. Bahkan dia menyempatkan diri untuk melakukan push-up. Hingga pukul 4 pagi, Pangeran Gavin tertidur dengan posisi duduk. “Gavin... Pangeran Gavin.” Mendengar namanya disebut, Pangeran Gavin
Tok! Tok! Tok!Astra menoleh ke arah pintu, “masuk.”Pintu terbuka dengan Cora yang melangkah masuk, “permisi.”Semua orang menatap ke arahnya. Bahkan Pangeran Gavin menghentikan tangannya. Tidak ada yang memberitahunya kalau Cora akan datang ke kamar Putri Olivia.“Ada apa, Cora?” Pangeran Gavin menegakkan tubuhnya, tanpa mengalihkan pandangannya.“Aku yang memintanya ke sini,” Astra menjawab lantas mengeluarkan beberapa lembar uang kemudian menyerahkannya pada Cora.“Tolong siapkan gaun dan juga keperluan lainnya untuk Putri Olivia. Kau bisa membawa mereka berdua untuk membantumu,” sambung Astra sembari menunjuk Lucy dan Maya.Cora tersenyum sembari menerima uang tersebut, “oke. Serahkan saja padaku. Ayo berangkat, Lucy, Maya.”“Baik,” Lucy dan Maya menjawab serempak.Cora keluar dari kamar diikuti oleh Lucy dan Maya. Pintu pun kembali
Tidak jauh darinya melangkah, Azura berdiri bersandar di tiang sembari melipat tangannya. Senyumnya selalu secerah matahari, namun dia bagaikan bunga indah yang berduri.“Ada apa, Azura?” Pangeran Gavin menghentikan langkahnya, ketika beberapa langkah dari Azura.“Kau ingin ke kamar Nona, kan? Aku ikut,” ucap Azura penuh semangat.Pangeran Gavin menatap Azura cukup lama, hingga akhirnya dia mengangguk menyetujui, “boleh. Jangan lakukan hal aneh.”“Oke~” Azura bersorak senang kemudian berjalan mengikuti Pangeran Gavin.Di dalam kamar, Putri Olivia duduk santai menyesap teh di dalam cangkir yang dipegangnya. Lucy dan Maya masih senantiasa menemaninya. Sesekali mereka bercerita mengenai beberapa hal menarik yang terjadi di kerajaan. Baik Lucy maupun Maya tidak berani menyinggung ataupun bertanya mengenai kehidupan Putri Olivia ketika di kerajaannya. Mereka tidak ingin Putri Olivia kembali bersedih.
Astra menoleh dan mendapati Putri Olivia berjalan mendekat ditemani Maya dan Lucy. Astra memperbaiki posisi berdirinya kemudian sedikit membungkukkan tubuhnya, “sore, Putri. Ada yang bisa saya bantu?”“Apa kau melihat Gavin?” Putri Olivia berdiri tidak jauh dari Astra.Astra kembali menegakkan tubuhnya, “Pangeran sedang ada di ruangannya. Apa anda ada perlu dengannya?”“Aku hanya ingin berbicara dengannya. Boleh aku masuk?” tanya Putri Olivia, meminta ijin.Astra terdiam. Putri Olivia jauh lebih ramah dibanding apa yang dibayangkannya. Suaranya begitu lembut seakan dengan suara itu tidak bisa melukai siapapun yang mendengarnya. Hal itu merubah pemikirannya mengenainya.Astra mengangguk, “silakan, Putri.” Astra melangkah mendekat ke pintu kemudian membukanya untuk Putri Olivia.Putri Olivia tersenyum, “terima kasih.”“Kami akan tunggu di sini, Nona,” uc
“Kau datang juga, Gavin. Sudah beberapa malam kau melewatkan pertemuan kita,” Gabriel membuka suara.Astra, Azura, Cora, dan Leo sudah duduk di kursi mereka, menatap ke arah Pangeran Gavin yang juga menarik kursi lantas duduk.“Apa tuan putri sudah tidur? Aku ingin menyapanya,” Azura membuka suara dengan ciri khas periangnya.Pangeran Gavin menoleh ke arahnya, “dia tidur. Jangan mengganggunya.”Mendengar jawaban dari Pangeran Gavin membuat Azura mengeluh pelan sembari tertunduk malas di atas meja.“Malam ini tidak ada penjagaan untuknya?” Astra membuka pembicaraan.“Kau ingin melakukannya untukku?” Pangeran Gavin balik bertanya pada Astra.Astra diam sejenak kemudian mengangguk, “sepertinya memang harus begitu. Kau juga butuh istirahat.”Mendengar adanya kesempatan, Azura mengangkat tangannya semangat, “aku saja yang melakukannya.”&ldquo