Teriakan memilukan, tanpa bisa melakukan apapun. Tangan kanan Dean terpotong hingga bahu. Masih dalam keadaan terikat, tangan itu terpisah dari tubuh pemiliknya. Dean meraung-raung melampiaskan rasa sakit yang dirasakan di tubuh bagian kanannya. Darah pun keluar tiada henti. Rasa sakit yang membuat siapapun ingin menangis.
“Sudah kukatakan sebelumnya, bukan? Tapi kau malah tidak mau percaya padaku. Bagaimana rasanya? Sakit, bukan? Apa yang kulakukan padamu tidak ada apa-apanya dengan apa yang kalian lakukan pada orang tua Puteri Olivia. Kau sendiri sadar akan hal itu, kan?” Azura menyimpan belatinya seraya menjaga jarak dari Dean. Dia membiarkan Dean berteriak-teriak kesakitan. Sudah cukup baginya untuk saat ini menyiksa laki-laki di depannya, hanya sekedar untuk membuktikan dengan siapa dia berhadapan.
Tak lama kemudian, Dean tidak sadarkan diri. Azura pun mengambil kain panjang yang selalu dibawanya untuk berjaga jika terluka. Kali ini dia akan menggunaka
Crash!“Maaf terlambat. Kau baik-baik saja?” Gabriel muncul di samping Palte, memaksanya untuk kembali membuka mata.Siapa? Aku belum pernah bertemu dengannya.Gabriel berjongkok dan membantu Palte untuk berdiri. “Kita harus mengobati lukamu.” Sekalipun dia mendengar apa yang dipikirkan oleh Palte, namun Gabriel memilih untuk lebih dulu mengobati lukanya.Di seberang mereka, Azura pun sudah berhasil menyelamatkan Alex dan rekan-rekannya dengan memenggal kepala prajurit yang berada di sekitar mereka. Beruntung tidak ada luka parah pada mereka, jadi mereka bisa segera meninggalkan arena pertempuran.“Palte! Kau terluka! Astaga!” Noir panik ketika melihat Gabriel yang menyandarkan Palte di samping gudang.Gabriel melangkah mundur, membiarkan Noir mengobati Palte. Pandangannya pun beralih menatap Azura yang baru datang bersama Alex dan rekan-rekannya.“Tetaplah di sini. O
Hari silih berganti. Puteri Olivia dan Pangeran Gavin masih senantiasa menginap di Kerajaan Gambera. Hal yang berbeda hanyalah Norman yang sudah kembali ke Kerajaan Wisteria, membawa laporan terkait ucapan terima kasih dari Yang Mulia Geld yang ditujukan kepada Yang Mulia William. Panglima Murr pun sudah kembali, menyisakan Panglima Sam dengan beberapa pasukannya untuk mengamankan Kerajaan Mandelein. Berita kebenaran kejadian di dalam istana, sudah terdengar sampai ke telinga rakyat Kerajaan Mandelein. Di hari pertama, bahkan mereka berbondong-bondong mengunjungi istana untuk menanyakan kebenaran terkait berita tersebut. Beberapa dari mereka mengasihani keadaan Puteri Olivia, sedangkan yang lainnya menginginkan Pangeran Louis dihukum mati. Berakhirnya peperangan juga menjadikan akhir bagi Kelompok Mawar Hitam. Palte selaku pemimpin kelompok tersebut, diam-diam menemui Panglima Sam di Kerajaan Mandelein. Mencoba mengutarakan maksudnya. “Siapa kau? Dan apa tujuanmu datang padaku?” tany
“Serang!!” Suara bariton mengintruksi puluhan pasukan untuk segera bergerak maju. Derap langkah cepat membuat tanah yang dipijaknya bergetar. Sebuah istana yang megah menjadi incaran puluhan pasukan. Kedatangan mereka membuat seisi istana gaduh dan berusaha untuk melarikan diri. Istana diserang, itulah yang mereka ketahui. Banyak yang melarikan diri keluar istana, namun ada juga yang berusaha untuk menghalang pasukan itu masuk ke ruangan utama istana. "Tetaplah disini,” seorang laki-laki dan seorang perempuan berusaha membujuk anaknya untuk tetap bersembunyi sebelum pasukan itu mengetahui keberadaan mereka. Seorang gadis 20 tahun menahan tangan kedua orang tuanya dan berusaha untuk menolak perintah dari mereka, “kalian mau kemana? Aku ikut.” Seulas senyum tercetak di bibir wanita paruh baya, “tidak, sayang. Kau harus tetap hidup. Jaga dirimu. Kami menyanyangimu,” wanita itu menyerahkan sebuah kotak kecil padanya kemudian menarik anaknya dan memeluknya erat. Begitupun dengan laki-l
Kembali ke dalam hutan, Putri Olivia kembali melangkahkan kakinya ketika mendengar suara samar-samar prajurit yang mencarinya. Dengan sangat pelan, dia berjalan diantara besarnya pepohonan yang mampu menyembunyikan dirinya. Tempat tujuannya memang belum jelas. Namun satu hal yang ada dipikirannya adalah menjauh sejauh mungkin dari istana. “Cepat cari sebelah sana. Putri Olivia pasti belum jauh. Cepat!” pemimpin prajurit memerintahkan yang lainnya untuk memperluas pencarian. “Tapi, sepertinya memang sudah sangat jauh,” prajurit yang bertugas membawa obor tidak bisa jauh dari prajurit lainnya karena dia yang bertugas menerangi sekitar. “Hutan ini sangat menakutkan saat malam hari. Bagaimana jika kita mendirikan tenda dan melanjutkan pencarian besok?” satu prajurit menyisir semak-semak. “Jangan banyak mengeluh! Cepat cari atau kita semua akan dibunuh!” teriak tegas pemimpin prajurit mengakhiri pembicaraan bawahannya. Tanpa diminta pun, dia ikut menyisir
Di tempat lain, seorang pangeran tunggal dari Kerajaan Wisteria menunggang kuda dan bergerak menuju kembali ke istananya. Tugasnya bernegosiasi dengan Kerajaan Norn sudah selesai. Dia harus segera melapor. “Kita akan sampai di istana, tengah hari, Gavin,” ucap salah seorang penunggang kuda di samping kuda Pangeran Gavin. “Hm,” Pangeran Gavin menjawab singkat kemudian melajukan kudanya semakin cepat, membelah jalanan hutan. Suasana hatinya sedang buruk sepulangnya dari Kerajaan Norn. Astra, orang yang berkuda di samping Pangeran Gavin kembali bersuara setelah melihat raut masam Pangeran Gavin, “apa kau ingin ke suatu tempat dulu?” “Tidak,” jawaban keluar dengan nada dingin dari mulut Pangeran Gavin. Melihat hal itu, Astra tidak berani lagi berbicara ataupun bertanya. Dia tidak ingin memperburuk suasana hati pangeran. Astra merupakan salah satu dari tangan kanan Pangeran Gavin yang tugasnya adalah mengikuti kemanapun sang pangeran pergi. Dia sud
Di dalam ruangan milik Pangeran Gavin. Raja William membolak-balikkan buku catatan di depannya, “kau sudah memilah tugas yang belum selesai?” Astra melangkah mendekat sembari membawa tiga buku kemudian meletakkannya di atas meja, “sudah saya siapkan semuanya.” Yang Mulia William menutup buku yang dipegangnya kemudian menggantinya dengan buku dari Astra, “kau harus membantu Gavin di dalam kerajaan.” Astra menggangguk, “baik, Yang Mulia. Lalu bagaimana dengan anda?” “Aku memiliki penasehat, jadi jangan khawatirkan aku,” Yang Mulia William mengambil bolpen kemudian memberikan tanda pada buku catatan di depannya. Astra hanya berdiri di sebelah kursi. Dia masih kepikiran dengan keberadaan Putri Olivia yang berhasil membuat amarah Pangeran Gavin. Bahkan atmosfer di sekitarnya tiba-tiba berubah menjadi menakutkan. Astra bahkan merinding hanya berada di dekatnya. Dia ingin tahu, siapa itu Putri Olivia dan kenapa pangeran begitu marah. “Maaf, Y
Pangeran Gavin pun melangkah keluar kamar meninggalkan Azura. Langkah lebarnya menuju ke ruang bawah tanah di mana Astra dan semua pelayan berkumpul. Di ruang bawah tanah, Astra memborgol pelayan yang berniat menikam Putri Olivia di hadapan semua pelayan. “Jangan ada yang pergi dari tempat ini,” ujar Astra penuh penekanan. Beberapa pelayan berbisik, saling bertanya kenapa mereka semua dikumpulkan. Pelayan yang diborgol mulai tersadar dan kembali memberontak. “Lepaskan saya! Tolong, siapapun!” pekiknya. Plak! Sebuah tamparan keras dengan cepat mendarat di pipi pelayan tersebut membuatnya seketika membeku. Astra baru saja melayangkan tamparannya pada pelayan di sampingnya. Tangannya yang sudah gatal ingin memukul wanita di sampingnya karena berniat menikam orang yang paling berharga untuk pangeran, “berisik! Kau tidak sadar apa yang telah kau lakukan? Hah?!” Suara bariton Astra membuat mereka yang berada di sana bergidik ngeri. Untuk pertama kalinya mereka melihat Astra yang biasa
Di tempat lain, di dalam kamar Putri Olivia. Azura bersenandung pelan sembari bersandar di dinding menghadap Putri Olivia yang sedang terlelap. Detik berikutnya dia tersenyum lebar, “sepertinya malam ini akan menjadi malam dimana aku akan bersenang-senang.”Azura beranjak dari tempatnya, keluar dari kamar. Dia menutup pintu rapat-rapat lantas berdiri di depan pintu. Orang yang ditunggunya dari tadi sudah datang, membuat senyumnya semakin lebar.“Sebaiknya kalian keluar saja. Percuma juga sembunyi,” ujar Azura.Sepuluh ... tidak, 20 orang menampakkan dirinya di seberang Azura. Mereka semua memakai pakaian serba hitam dengan penutup mulut yang juga berwarna senada. Dua diantara mereka memiliki badan kekar dan tinggi. Dari postur tubuhnya, bisa dilihat kalau mereka merupakan prajurit atau mungkin pengawal.“Menyingkirlah, jika tidak ingin kepalamu terpenggal,” ucap salah satu dari mereka.Mendengar ucapannya justru