Share

#4 Tragedi Penikaman

Di dalam ruangan milik Pangeran Gavin. Raja William membolak-balikkan buku catatan di depannya, “kau sudah memilah tugas yang belum selesai?”

Astra melangkah mendekat sembari membawa tiga buku kemudian meletakkannya di atas meja, “sudah saya siapkan semuanya.”

Yang Mulia William menutup buku yang dipegangnya kemudian menggantinya dengan buku dari Astra, “kau harus membantu Gavin di dalam kerajaan.”

Astra menggangguk, “baik, Yang Mulia. Lalu bagaimana dengan anda?”

“Aku memiliki penasehat, jadi jangan khawatirkan aku,” Yang Mulia William mengambil bolpen kemudian memberikan tanda pada buku catatan di depannya.

Astra hanya berdiri di sebelah kursi. Dia masih kepikiran dengan keberadaan Putri Olivia yang berhasil membuat amarah Pangeran Gavin. Bahkan atmosfer di sekitarnya tiba-tiba berubah menjadi menakutkan. Astra bahkan merinding hanya berada di dekatnya. Dia ingin tahu, siapa itu Putri Olivia dan kenapa pangeran begitu marah.

“Maaf, Yang Mulia. Boleh saya bertanya sesuatu?” Astra bertanya pelan, takut raja tidak suka ataupun tersinggung.

Yang Mulia William mengalihkan pandangan menatap Astra, “apa? Tanyakan saja.”

“Siapa Putri Olivia? Kenapa pangeran begitu marah?” tanya Astra, menanyakan hal yang mengganjal dipikirannya.

Yang Mulia William kembali menurunkan pandangannya menatap buku di depannya, “kau belum tahu? Jadi Gavin tidak memberitahumu, ya.”

Astra menggeleng, “Pangeran tidak pernah bercerita apapun tentang kehidupan pribadinya.”

“Begitu, ya. Kau sudah bekerja di sini berapa lama, Astra?” Yang Mulia William mendongak menatap Astra.

Astra diam sejenak, berpikir lantas menjawab, “sekitar 10 tahun.”

“Hm, begitu. Ini juga bukan rahasia, jadi akan kuberitahukan padamu. Dulu saat Gavin berumur 13 tahun, apa kau bisa menebak bagaimana sikapnya waktu itu?”

Astra menggelengkan kepala.

“Gavin diumur 13 tahun atau bahkan sejak umur 10 tahun, banyak orang yang takut terhadapnya. Dia tidak memiliki teman. Ketika semua menjauhinya, hanya satu orang yang sama sekali tidak takut padanya. Dia adalah Putri Olivia. Gavin bertemu dengannya ketika aku mengajaknya berkunjung ke Kerajaan Mandelein. Kala itu, Putri Olivia berumur 10 tahun ketika kami datang, dia sangat bersuka cita menyambut kami. Aku bahkan selalu begitu disenangi ketika ke sana. Bahkan Putri Olivia tidak takut pada Gavin yang selalu menatap siapapun dengan tatapan tajamnya. Putri Olivia selalu mengajak Gavin berbicara, terkadang mengajaknya bermain bersama. Sejak saat itu, Gavin mulai membuka dirinya pada Putri Olivia. Bahkan Gavin sering mengendari kudanya sendirian ke Kerajaan Mandelein hanya untuk bertemu Putri Olivia yang notabenenya tidak pernah keluar dari istananya sendiri. Dia mulai menganggap Kerajaan Mandelein sebagai rumah keduanya. Sudah jelas itu karena Putri Olivia, kan? Karena Putri Olivia-lah Gavin bisa seperti saat ini. Gavin menjadi pendengar dan pembicara yang baik, namun di sisi lain dia sangat menakutkan jika sedang marah,” Yang Mulia William tertawa pelan mengingat betapa lucunya Gavin yang marah-marah karena dilarang ke Kerajaan Mandelein dalam kondisi hujan deras.

“Jadi karena itu, Pangeran Gavin sangat acuh dengan putri kerajaan manapun?” Astra mulai memahami bagaimana perasaan Pangeran Gavin pada Putri Olivia.

“Begitulah. Kalian tadi dari Kerajaan Norn, kan? Pasti Gavin kesal pada Putri Sophia. Dari raut wajahnya sudah terlihat,” Yang Mulia William menebak apa yang terjadi di Kerajaan Norn.

Astra mengangguk membenarkan, “Pangeran sangat tidak menyukai Putri Sophia. Bahkan menjaga jarak dengannya.”

Yang Mulia William tertawa pelan, “sudah jelas, kan? Kalau Gavin lebih memilih Putri Olivia.”

Pukul enam sore, seorang pelayan masuk ke dalam kamar sembari membawa nampan berisikan makanan dan minuman untuk Putri Olivia. Sedangkan di dalam kamar, Pangeran Gavin masih senantiasa menemani Putri Olivia, sesekali mengajaknya berbicara.

“Waktunya makan. Makan yang banyak, ya,” Pangeran Gavin membantu Putri Olivia duduk bersandar di sandaran tempat tidur.

Pelayan menyerahkan semangkuk bubur pada Putri Olivia.

Dengan perlahan, Putri Olivia menerimanya kemudian memakannya perlahan. Ini makanan pertama yang dimakannya sejak semalam. Walaupun saat ini dia tidak merasa lapar.

“Permisi, Pangeran,” Astra berdiri di samping Pangeran Gavin.

Pangeran Gavin menoleh ke arahnya kemudian mengisyaratkan untuk berbicara di luar kamar. Astra pun mengangguk kemudian keluar kamar.

“Aku keluar sebentar ya,” Pangeran Gavin mengusap pelan puncak rambut Putri Olivia kemudian beranjak dari tempat tidurnya menuju ke luar kamar.

Astra sudah menunggu di luar, tidak jauh dari pintu kamar.

Pangeran Gavin menutup pintu kamar dengan pandangan terfokus pada Astra, “apa yang ingin kau bicarakan?”

“Aku akan menyelesaikan semua berkas yang belum terselesaikan. Kau fokus saja menemani Putri Olivia. Ohya, Raja meminjam buku catatanmu,” jelas Astra.

Pangeran Gavin mengangguk mengerti, “Ayah akan berangkat besok?”

“Ya. Beliau akan pergi ke Kerajaan Western,” jawab Astra.

Pangeran Gavin berdehem. Dia teringat kalau dia masih belum mengetahui dalang dibalik kejadian malam tadi di Kerajaan Mandelein. “omong-omong, kau tahu siapa yang merebut Kerajaan Mandelein?” tanyanya.

“Ya. Pelakunya adalah Kerajaan Thron,” Astra menjawab singkat.

Hal yang tidak terduga kembali didengarnya. Kerajaan Thron yang dipimpin oleh Pangeran Louis adalah sesuatu yang sangat dibenci oleh Pangeran Gavin. Karena Pangeran Louis pernah memaksa Putri Olivia untuk ikut dengannya berunjung ke kerajaannya.

Tar!!!

Suara sesuatu yang pecah membuat Pangeran Gavin seketika menoleh dan bergegas masuk ke dalam kamar. Hal yang tidak disangkanya, Putri Olivia terjatuh dari tempat tidurnya dengan pelayan yang berusaha menikamnya dengan sebuah belati.

Pangeran Gavin pun bergerak cepat dengan menarik Putri Olivia ke dalam dekapannya. Dia menggunakan punggungnya untuk melindungi Putri Olivia. Astra yang melihat hal itu bergegas melindungi keduanya dan menahan belati itu dengan telapak tangannya.

Pelayan yang tersadar sasarannya salah berniat kabur, namun Astra dengan sigap menendang kaki pelayan tersebut membuatnya tersungkur ke lantai. Hanya dengan satu tangan, Astra mengunci tangan pelayan tersebut ke punggungnya.

Melihat pelaku penikaman sudah diamankan, Pangeran Gavin melepas pelukannya, menatap Putri Olivia yang bergetar ketakutan, “kau baik-baik saja? Ada yang terluka?”

Putri Olivia menggeleng pelan. Dia tidak sanggup berbicara, bibirnya seakan membeku.

“Lepaskan saya. Tolong, lepaskan saya,” pelayan berusaha memberontak melepaskan diri.

Namun Astra dengan cepat memukul kepala belakangnya dan membuatnya seketika tidak sadarkan diri. Dengan sigap, Astra menarik paksa belati yang menancam di tangannya lantas mengikatkan kain ke telapak tangannya untuk menghentikan pendarahan.

“Bawa pelayan itu ke ruang bawah tanah. Sekalian kumpulkan semua pelayan di kerajaan ini,” ucap Pangeran Gavin penuh penekanan dan intimidasi.

“Dimengerti,” Astra segera menggotong tubuh pelayan kemudian membawanya keluar kamar.

Putri Olivia masih diam. Dia mulai merasakan sesuatu yang aneh di tubuhnya. Sesuatu ingin keluar dari tenggorokannya membuat Putri Olivia membungkam mulutnya namun jutru sesuatu itu keluar melalui hidungnya.

Melihat Putri Olivia mimisan, Pangeran Gavin dilanda kepanikan. Dia segera bangkit mengambil kain dari lemari kemudian membantu Putri Olivia menyeka darah yang mengalir keluar dari hidungnya. Kini bahkan dia muntah darah.

“Azura! Panggil dokter!” pekik Pangeran Gavin, memerintahkan salah satu anak buahnya untuk memanggil dokter.

Seorang laki-laki remaja berpakaian kasual lengkap dengan jaket favoritnya muncul di dalam kamar bersama dengan seorang dokter kerajaan. Dokter tersebut bergegas mendekat dan memeriksa keadaan Putri Olivia yang masih muntah darah.

“Putri keracunan makanan. Sepertinya racun yang sangat kuat. Saya akan menyuntikkan obat agar racunnya tidak dengan cepat menyebar,” dokter membuka koper yang dibawanya, mengambil jarum suntik dan segera menyiapkan obat.

Pangeran Gavin menatap ke arah dokter di sampingnya. Dia tidak ingin kejadian yang sama terulang lagi. Dengan gerakan cepat, Pangeran Gavin mencekik leher dokter di sampingnya, menatapnya dengan tatapan membunuh, “kau tidak mencoba untuk membunuhnya, kan?”

Dokter tersebut spontan menjatuhkan jarum suntik lantas menggunakan tangannya untuk menahan cekikan tangan pangeran di lehernya. Dengan susah payah dia berucap, “ti – dak, Pangeran. Sungguh ... saya tidak berniat melakukannya.”

Mendengar jawaban darinya, Pangeran Gavin melepas cengkramannya, “cepat obati dia.”

Sekalipun masih terbatuk-batuk, dokter tetap melakukan apa yang diperintahkan oleh Pangeran Gavin. Dia mengambil kembali jarum suntik kemudian menyuntikkan obat di dalamnya ke lengan kanan Putri Olivia.

Perlahan namun pasti darah yang keluar dari hidung dan mulut Putri Olivia mulai berkurang. Putri Olivia pun jatuh tidak sadarkan diri.

Melihat obat yang diberikannya bekerja, dokter pun mengemasi jarum suntiknya, “saya akan segera membuatkan obat untuk Tuan Putri. Malam nanti akan saya berikan kepada Anda. Dengan obat yang saya berikan, Tuan Putri akan mengalami demam dan kemungkinan malam ini yang paling tinggi.”

Pangeran Gavin menyimak sembari membersihkan darah dari hidung dan mulut Putri Olivia. Dia menatap nanar putri malang yang saat ini nyawanya sedang terancam. Apa yang dilakukan oleh pelayan tadi, menjadi petunjuk bagi Pangeran Gavin bahwa akan ada seseorang yang akan datang ke kerajaannya untuk mengambil kembali Putri Olivia.

“Aku akan mengantar dokter,” ucap Azura.

Pangeran Gavin berdehem, “setelah itu kembalilah ke sini.”

“Oke, siap,” Azura menghilang bersamaan dengan dokter.

Dengan hati-hati, Pangeran Gavin mengangkat tubuh Putri Olivia, membawanya ke tempat tidur, membaringkannya perlahan di atas kasur. Dia pun menarik selimut hingga leher Putri Olivia kemudian duduk di tepi tempat tidur.

“Seharusnya aku tidak meninggalkanmu sendirian sekalipun ada pelayan. Maaf, Oliv,” Pangeran Gavin berujar pelan, sangat pelan. Dia tidak ingin Putri Olivia terbangun. Dia tidak habis pikir, pelayan yang biasanya bekerja di kerajaan ini melakukan hal keji seperti itu. Bahkan pelayan itu berniat membunuh Putri Olivia. Di samping lain, dia juga memberikan racun pada makanan yang dimakan oleh Putri Olivia.

“Aku kembali~” suara riang khas Azura memecah keheningan. Untuk pertama kalinya, dia melihat Pangeran Gavin dengan raut sedih bercampur marah. Satu hal yang membuatnya yakin adalah Putri Olivia merupakan orang yang berharga untuk Pangeran Gavin. Sebelumnya,  pangeran tidak pernah seposesif ini pada seorang gadis.

Pangeran Gavin beranjak dari duduknya kemudian melangkah mendekati Azura, menatapnya dengan tatapan intimidasi, “lindungi dia dengan nyawamu. Jangan biarkan seseorang menyentuhnya. Juga, jangan membuatnya terbangun. Kau mengerti?”

Azura tersenyum lebar, “oke. Serahkan saja padaku.”

.

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status