Share

#3 Pangeran Gavin

Di tempat lain, seorang pangeran tunggal dari Kerajaan Wisteria menunggang kuda dan bergerak menuju kembali ke istananya. Tugasnya bernegosiasi dengan Kerajaan Norn sudah selesai. Dia harus segera melapor.

“Kita akan sampai di istana, tengah hari, Gavin,” ucap salah seorang penunggang kuda di samping kuda Pangeran Gavin.

“Hm,” Pangeran Gavin menjawab singkat kemudian melajukan kudanya semakin cepat, membelah jalanan hutan. Suasana hatinya sedang buruk sepulangnya dari Kerajaan Norn.

Astra, orang yang berkuda di samping Pangeran Gavin kembali bersuara setelah melihat raut masam Pangeran Gavin, “apa kau ingin ke suatu tempat dulu?”

“Tidak,” jawaban keluar dengan nada dingin dari mulut Pangeran Gavin.

Melihat hal itu, Astra tidak berani lagi berbicara ataupun bertanya. Dia tidak ingin memperburuk suasana hati pangeran. Astra merupakan salah satu dari tangan kanan Pangeran Gavin yang tugasnya adalah mengikuti kemanapun sang pangeran pergi. Dia sudah bekerja lebih dari 10 tahun di Kerajaan Wisteria. Sekalipun umurnya lebih tua dibandingkan umur Pangeran Gavin, namun dia tetap sopan dan patuh padanya.

Di Kerajaan Mandelein, Pangeran Louis mengumpat kesal sembari memaki-maki prajuritnya yang kembali dengan tangan kosong. Putri Olivia sudah lolos dari kejaran prajurit dan sekarang tidak diketahui di mana keberadaannya.

“Kalian semua tidak becus!! Menangkap satu gadis saja kalian tidak bisa!! Jumlah kalian jauh lebih banyak dibanding dengan satu orang!! Dasar sampah! Tidak berguna!” kata-kata kasar mulai keluar memekakkan telinga para prajurit yang bertekuk lutut di hadapan sang pangeran.

Untuk yang kedua kalinya, mereka membuat pangeran marah besar. Tidak ada yang bisa dikatakan ataupun dilakukan. Satu-satunya yang dapat menenangkan pangeran adalah keberadaan Putri Olivia.

“Maaf mengganggu, Pangeran. Saya mendapatkan laporan dari salah satu prajurit di dekat perbatasan, yang mengatakan ada kereta kuda milik Raja William yang melintas. Jika saya tidak salah mengira, kemungkinan Putri Olivia diselamatkan oleh Raja William dan dibawa ke kerajaannya,” Dean berusaha menjelaskan mengenai informasi yang didapatnya. Sekaligus berusaha menenangkan emosi dari pangeran.

Pangeran Louis seketika berhenti berbicara dengan tatapan tajam ke arah Dean, “kuharap kau tidak memberiku informasi palsu.”

“Tidak, Pangeran. Informasi ini didapat tadi pagi. Kemungkinan Putri Olivia berhasil melewati perbatasan dan sekarang berada di Kerajaan Wisteria,” Dean menjawab dengan nada tenang.

Sebuah seringai lebar terlihat jelas di wajah Pangeran Louis dan dengan tegas dia berucap, “cepat! Kerahkan prajurit elitku untuk menerobos dan menculik Putri Olivia di Kerajaan Wisteria!”

Di siang hari yang sangat panas. Matahari bersinar sangat terik, menahan siapapun untuk keluar dari rumah mereka. Dua penjaga gerbang bergegas membuka gerbang begitu mengetahui sang pangeran telah tiba. Dua kuda masuk ke dalam gerbang dan sudah disambut oleh petugas kuda yang bertugas membawa kuda-kuda kembali ke kandangnya.

Pangeran Gavin turun dari kuda dan menyerahkan kudanya pada penjaga kuda. Sekilas dia melihat ke arah kereta kuda milik ayahnya yang sudah terparkir di depan istana. Dengan langkah lebar, Pangeran Gavin berjalan meninggalkan Astra masuk ke dalam istana.

Kerajaan Wisteria terdiri dari dua bangunan megah. Bangunan pertama yang menjadi bangunan utama kerajaan, ditinggali oleh Raja William dan Almh. Ratu William. Sedangkan bangunan yang kedua, ditinggali oleh Pangeran Gavin beserta anak buahnya.

Pangeran Gavin terus melangkah melewati koridor kerajaan menuju ke ruangan miliknya yang berada di seberang koridor. Beberapa pelayan berlalu-lalang melewati Pangeran Gavin. Sapaan yang dilontarkan hanya dibalas dengan deheman dingin. Perhatian Pangeran Gavin teralihkan pada ruangan yang terlihat sangat sibuk. Ruangan tersebut tepat berada di samping ruang kerjanya.

“Kenapa ramai sekali?” Pangeran Gavin bertanya dengan nada tajam nan menusuk membuat mereka yang berdiri di depan pintu segera membungkuk kemudian berlalu begitu saja.

Karena tidak ada yang menjawab pertanyaannya, Pangeran Gavin memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan. Orang yang dilihatnya pertama adalah Raja William yang tengah duduk menghadap seseorang yang berbaring di tempat tidur.

“Apa yang Ayah lakukan di sini dan siapa ya–” ucapan Pangeran Gavin terhenti begitu melihat siapa yang tidur di atas kasur di sebelahnya.

Sebelum Pangeran Gavin bersuara, Raja William lebih dulu membungkam mulut anaknya kemudian menariknya keluar dari kamar, “kita bicara di luar.”

Pintu kamar ditutup. Raja William berdiri berseberangan dengan Pangeran Gavin yang mulai menunjukkan raut cemas dan bingung. Astra yang baru datang ikut bergabung. Dia berdiri tidak jauh dari Pangeran Gavin.

“Katakan padaku, Ayah. Kenapa Olivia ada di sini?” Pangeran Gavin bersuara, mengeluarkan pertanyaan yang mencuat dipikirannya.

Raja William menarik napas kemudian menghembuskannya pelan. Matanya menatap lurus ke arah putra semata wayangnya, “Ayah akan ceritakan semuanya. Tapi, berjanjilah untuk tidak mengamuk. Janji?”

Pangeran Gavin mengangguk, “aku mengerti.”

“Kerajaan Mandelein sudah tidak ada lagi, termasuk orang tua Putri Olivia,” Raja William mengucapkan satu kalimat untuk mempermudah penyampaian informasi pada Pangeran Gavin.

Hanya dengan satu kalimat, sudah berhasil menyulut api kemarahan di dalam hati Pangeran Gavin. Suasana hatinya sudah buruk ditambah dengan informasi yang baru saja diterimanya, membuatnya merasa ingin menghancurkan apapun yang ada di sekitarnya.

“Kau sudah berjanji untuk tidak mengamuk. Tenangkan pikiranmu,” Raja William menepuk-nepuk pundak anaknya berusaha membantunya untuk mengendalikan emosinya.

Pangeran Gavin sudah mengepalkan tangannya dengan sorot mata penuh kebencian dan amarah. Merasakan tepukan di bahunya, Pangeran Gavin berusaha mengatur emosinya. Berulang kali, dia menarik napas kemudian menghembuskannya perlahan. Dia harus tenang. Setidaknya Putri Olivia masih selamat.

Melihat anaknya berhasil mengendalikan emosinya, Raja William tersenyum senang, “untuk saat ini, semua tugasmu yang berada di luar kerajaan akan Ayah selesaikan. Tugasmu untuk sekarang adalah menemani Putri Olivia hingga dia tidak lagi trauma dan juga menyelesaikan tugas yang ada di dalam kerajaan. Kau mengerti?”

Pangeran Gavin mengangguk, “aku mengerti, Ayah.”

“Bagus. Astra, tunjukkan padaku tugas yang belum diselesaikan,” Raja William berjalan meninggalkan Pangeran Gavin menuju ke ruangan milik anaknya.

“Baik, Yang Mulia,” Astra menunduk patuh kemudian mengikuti Raja William.

Pangeran Gavin berbalik dan masuk ke dalam kamar. Dengan langkah pelan, dia mendekat ke tempat tidur kemudian duduk di kursi tepat di samping tempat tidur. Dia masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Kerajaan Mandelein merupakan rumah kedua baginya. Namun sekarang sudah tidak ada lagi. Hal yang terlupakan adalah pangeran tidak sempat bertanya siapa yang melakukan hal keji itu pada anggota keluarga Kerajaan Mandelein.

Pangeran Gavin menatap lekat wajah Putri Olivia di mana terlihat luka lebam di rahang, pipi, bahkan pelipisnya terdapat bercak darah. Dalam hatinya, dia mengutuk siapapun yang melukai Putri Olivia.

Perlahan namun pasti Putri Olivia membuka matanya. Kelelahannya perlahan mulai menghilang namun traumanya masih selalu terngiang-ngiang di kepalanya. Dan itu sangat menakutkan baginya.

“Kau sudah bangun?” Pangeran Gavin bertanya pelan.

Bahkan dengan suara sepelan itu masih mengagetkan Putri Olivia. Dengan raut ketakutan, Putri Olivia menoleh ke samping kanannya dan mendapati Pangeran Gavin duduk di samping tempat tidurnya.

“Gavin...” Putri Olivia mulai berkaca-kaca dan perlahan mulai menangis.

Melihat hal itu, Pangeran Gavin beralih duduk di tepi tempat tidur kemudian menarik Putri Olivia ke dalam pelukannya. Tidak ada kalimat yang diucapkan olehnya. Pangeran Gavin hanya diam, membiarkan Putri Olivia menangis dipelukannya. Hatinya kembali tersayat-sayat melihat Putri Olivia menangis.

“Aku akan menghabisi siapapun yang membuatmu seperti ini. Aku bersumpah,” batin Pangeran Gavin.

Putri Olivia menarik dirinya, berusaha untuk menghentikan tangisannya.

Pangeran Gavin mengulurkan tangannya, menyeka air mata Putri Olivia, “maafkan aku karena tidak ada di sana semalam. Kau pasti mengalami hal buruk sendirian. Maafkan aku.”

Putri Olivia menggeleng pelan, “semua ini bukan salahmu.”

“Tapi... aku tidak ada ketika kau membutuhkanku adalah hal yang menyakitkan untukku,” Pangeran Gavin mengusap pelan punggung tangan Putri Olivia. Kepalanya menunduk, merasa bersalah atas ketidakmampuannya ada di sana waktu itu.

“Jangan salahkan dirimu, Gavin. Aku berhasil selamat dan ada di sini adalah sebuah keajaiban. Jadi, berhenti menyalahkan dirimu sendiri,” Putri Olivia berujar pelan. Seluruh tubuhnya masih terasa sakit. Ditambah lagi, perut sebelah kirinya yang terasa sangat nyeri. Kedua kakinya pun masih perih karena luka sayatan semak-semak.

Pangeran Gavin kembali menarik Putri Olivia ke dalam pelukannya, “aku tidak akan membiarkan mereka menyentuhmu lagi. Aku akan selalu ada di sini menemanimu.”

Putri Olivia tersenyum, “terima kasih. Kau memelukku terlalu erat, Gavin. Tubuhku masih sakit.”

Spontan Pangeran Gavin melepas pelukannya, “maaf. Aku tidak sengaja.” Dia membantu Putri Olivia kembali berbaring lantas merapikan selimut yang membungkus tubuhnya.

“Bagian mana yang sakit? Sudah diobati?” Pangeran Gavin menatap dengan sorot mata sedih.

“Bagian kiri perutku sakit dan kakiku sepertinya terluka. Tadi juga sudah diobati,” Putri Olivia menjawab lirih.

Sekali lagi, Pangeran Gavin merasa hatinya tersayat-sayat mengetahui bahkan Putri Olivia terluka, “istirahatlah. Aku akan menjagamu di sini.”

.

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status