Kembali ke dalam hutan, Putri Olivia kembali melangkahkan kakinya ketika mendengar suara samar-samar prajurit yang mencarinya. Dengan sangat pelan, dia berjalan diantara besarnya pepohonan yang mampu menyembunyikan dirinya. Tempat tujuannya memang belum jelas. Namun satu hal yang ada dipikirannya adalah menjauh sejauh mungkin dari istana.
“Cepat cari sebelah sana. Putri Olivia pasti belum jauh. Cepat!” pemimpin prajurit memerintahkan yang lainnya untuk memperluas pencarian.
“Tapi, sepertinya memang sudah sangat jauh,” prajurit yang bertugas membawa obor tidak bisa jauh dari prajurit lainnya karena dia yang bertugas menerangi sekitar.
“Hutan ini sangat menakutkan saat malam hari. Bagaimana jika kita mendirikan tenda dan melanjutkan pencarian besok?” satu prajurit menyisir semak-semak.
“Jangan banyak mengeluh! Cepat cari atau kita semua akan dibunuh!” teriak tegas pemimpin prajurit mengakhiri pembicaraan bawahannya. Tanpa diminta pun, dia ikut menyisir sekitarnya.
Di sisi lain, Putri Olivia menghentikan langkah, menyembunyikan dirinya di balik pohon. Dia meringkuk, menutup mulutnya bahkan menahan napasnya ketika salah seorang prajurit tepat berada di seberangnya. Prajurit tersebut beberapa kali menyibak semak-semak namun tidak juga membuahkan hasil.
“Dia tidak ada di sini!” teriaknya melaporkan pada pemimpinnya.
“Mungkin saja dia ke arah yang sebaliknya, karena sebentar lagi fajar jadi dia akan berjalan mendekati daerah yang lebih dulu pagi,” ucap prajurit lain.
Pemimpin prajurit berpikir sejenak, memikirkan kemungkinan hal itu bisa saja terjadi, “baiklah! Kita ke Timur! Cepat! Timur!”
Pemimpin prajurit berlari diantara gelapnya malam menuju ke arah Timur dan semakin menjauh dari Putri Olivia yang meringkuk ketakutan di balik pohon. Derap langkah semakin lama semakin hilang. Putri Olivia bisa bernapas lega untuk sementara. Dengan sempoyongan, dia bangkit kemudian kembali berjalan menuju ke arah Barat. Dia berniat untuk menuju ke perbatasan kerajaannya sendiri, Kerajaan Mandelein.
Perlahan namun pasti, langit gelap mulai memudar digantikan cahaya hangat dari matahari yang mengintip di balik pegunungan. Putri Olivia berhasil keluar dari hutan dan dia terus berjalan menyusuri jalan setapak yang biasanya digunakan untuk jalur kereta kuda. Putri Olivia memegang perutnya yang terus berbunyi dan kepalanya yang tak henti-hentinya berdenyut.
Di jalan yang sama, dari arah belakang Putri Olivia, sebuah kereta kuda yang membawa seseorang terhormat, berderap melewati jalanan. Kusir yang mengetahui adanya Putri Olivia yang berjalan di tepi jalan, memberitahukannya pada seseorang di dalam kereta yang ditariknya, “maaf, Yang Mulia William. Di depan ada seorang gadis yang terluka.”
Yang Mulia William dari Kerajaan Wisteria, mengangkat wajahnya kemudian melihat ke luar jendela, memeriksa orang yang dimaksud oleh kusirnya. Merasa mengenalnya, Raja William sontak menyuruh kusir menghentikan kereta, “stop!”
Sang kusir pun dengan sigap menghentikan laju kudanya. Dia berniat turun dan membuka pintu untuk raja, namun Yang Mulia William lebih dulu turun dari kereta dan melangkah cepat mendekati Putri Olivia.
“Putri, apa yang kau lakukan di sini?”
Putri Olivia bergidik takut mendengar suara di belakangnya. Dengan keragu-raguan, dia menoleh dan mendapati Yang Mulia William berdiri tidak jauh darinya. Merasa dirinya telah bertemu orang yang dikenal baik olehnya, Putri Olivia menangis tersedu-sedu. Dia bahkan tidak bisa lagi menyembunyikan kesedihannya.
Melihat reaksi Putri Olivia, Yang Mulia William mengulurkan tangannya, menariknya ke dalam dekapannya, “tenangkan dirimu, Putri.”
Kusir mengambilkan selimut dari dalam kereta, membawanya kepada Yang Mulia William. Dengan sigap, Yang Mulia William menyelimuti Putri Olivia dengan selimut tersebut, “kau sudah tenang? Bisa ceritakan padaku?”
Putri Olivia menyeka air matanya sembari berusaha mengatur napasnya. Dengan suara berat, Putri Olivia berusaha menjelaskan apa yang terjadi pada Raja William, “Kerajaan Thorn mengambil alih istana. Ayah dan ... Ibu ... sudah...” ucapan Putri Olivia terhenti, tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.
Mengerti apa yang ingin dikatakan oleh Putri Olivia, Yang Mulia William kembali memeluk Putri Olivia, berusaha menenangkannya, “sudah cukup. Aku mengerti sekarang. Kita pulang ya ke Kerajaan Wisteria.”
Putri Olivia mengangguk pelan.
Yang Mulia William menuntun pelan Putri Olivia ke kereta. Sang kusir pun dengan sigap membuka pintu untuk mereka berdua. Yang Mulia William menyuruh Putri Olivia masuk lebih dulu kemudian dia masuk terakhir.
Kusir kembali menutup pintu kemudian duduk di kereta depan dan mulai menjalankan kudanya. Putri Olivia duduk memeluk selimut yang menutupi tubuhnya. Dia merasa sangat bersyukur bisa bertemu dengan raja dan berhasil selamat.
Yang Mulia William hanya bisa mengusap pelan punggung Putri Olivia, berusaha menenangkannya. Dia masih tidak menyangka dengan kenyataan yang ada. Kerajaan Mandelein sudah tidak ada lagi karena ulah Kerajaan Thorn. Bahkan Raja Mandelein beserta istrinya sudah meninggal dunia, menyisakan putri malang yang sudah tidak memiliki siapapun.
“Aku akan membalaskan kematianmu, kawan. Aku berjanji,” sumpah Yang Mulia William.
Dua prajurit dengan tombak di tangan mereka menghentikan laju kereta kuda Yang Mulia William.
“Kalian dari mana?” tukas salah satu dari prajurit yang menghadang.
“Kerajaan Wisteria,” kusir menjawab dengan santai tanpa rasa takut sama sekali.
“Siapa yang ada di dalam kereta? Boleh kami memeriksanya?”
Mendengar suara prajurit di luar, Putri Olivia yang awalnya tenang, kini kembali memucat. Cepat-cepat dia menutupi tubuhnya dengan selimut yang dikenakannya, berusaha menyembunyikan dirinya sendiri.
Yang Mulia William pun dengan sigap menarik Putri Olivia hingga berbaring di pangkuannya. Dia pun menutupi seluruh tubuh Putri Olivia, menyembunyikannya, “jangan bersuara.”
Putri Olivia hanya bisa mengangguk pasrah, memegang erat selimut yang membungkusnya. Tubuhnya kembali bergetar ketakutan. Dia tidak ingin kembali ke sana, sekalipun tempat itu adalah rumahnya sendiri.
Jendela kereta dibuka dari luar dengan satu prajurit yang menengok ke dalam.
Yang Mulia William menanggapinya dengan santai, “apa mau kalian?”
Prajurit tersebut terfokus pada seseorang yang tertutup oleh selimut, “buka selimut itu. Siapa seseorang di baliknya?”
Mendengar perintah dari prajurit tersebut, Yang Mulia William terkekeh pelan, “kau siapa? Menyuruhku sesukamu. Apa kaum muda sekarang tidak memiliki tata krama?”
Prajurit yang mendengar tanggapan Yang Mulia William, spontan menendang kereta cukup kuat hingga menimbulkan guncangan pada kereta, “kau pikir kau siapa?! Lakukan saja apa yang kukatakan!”
Kemarahan prajurit justru mendatangkan gelak tawa Yang Mulia William, “kau bertanya aku siapa? Wawasanmu kurang luas, anak muda. Sebaiknya kau pulang dan belajar lagi.”
“Sialan!! Jangan banyak omong! Lakukan saja apa yang aku suruh!” prajurit tersebut semakin menaikkan nada bicaranya, tidak mengetahui dengan siapa dia sedang berbicara.
Yang Mulia William mengangkat bahunya acuh, “aku tidak menerima perintah darimu.”
“Sialan kau, pak tua! Kau me–” prajurit yang lain menghentikan kemarahan temannya kemudian mengalihkan pandangan menatap Yang Mulia William.
“Maaf atas kelancangan kami, Raja. Anda bisa pergi,” ucapnya.
Yang Mulia William berdecih pelan, “katakan pada temanmu. Nikmatilah hidupmu yang sesaat ini. Karena dalam beberapa hari ke depan dia tidak akan bisa lagi melihat dunia ini.”
Kereta kuda kembali berjalan, menjauh dari prajurit yang masih mengumpat kesal. Sedangkan Putri Olivia, mulai memberanikan diri kembali duduk di tempatnya sembari sesekali mengintip ke luar jendela, di mana sudah tidak ada prajurit yang menghadang mereka.
Putri Olivia menghela napas panjang. Prajurit yang mencarinya sudah tidak ada lagi.
“Tenang saja. Mereka tidak ada bisa menangkapmu, Putri. Setelah kita sampai di istana, penjagaan akan kuperketat,” ucap Yang Mulia William, menenangkan Putri Olivia.
Putri Olivia menoleh kemudian menganggukkan kepala, “t-terima kasih, Raja, karena sudah menolongku.”
Yang Mulia William tersenyum, “jika yang bertemu denganmu adalah Gavin, pasti dia akan melakukan hal yang sama.”
.
.
Di tempat lain, seorang pangeran tunggal dari Kerajaan Wisteria menunggang kuda dan bergerak menuju kembali ke istananya. Tugasnya bernegosiasi dengan Kerajaan Norn sudah selesai. Dia harus segera melapor. “Kita akan sampai di istana, tengah hari, Gavin,” ucap salah seorang penunggang kuda di samping kuda Pangeran Gavin. “Hm,” Pangeran Gavin menjawab singkat kemudian melajukan kudanya semakin cepat, membelah jalanan hutan. Suasana hatinya sedang buruk sepulangnya dari Kerajaan Norn. Astra, orang yang berkuda di samping Pangeran Gavin kembali bersuara setelah melihat raut masam Pangeran Gavin, “apa kau ingin ke suatu tempat dulu?” “Tidak,” jawaban keluar dengan nada dingin dari mulut Pangeran Gavin. Melihat hal itu, Astra tidak berani lagi berbicara ataupun bertanya. Dia tidak ingin memperburuk suasana hati pangeran. Astra merupakan salah satu dari tangan kanan Pangeran Gavin yang tugasnya adalah mengikuti kemanapun sang pangeran pergi. Dia sud
Di dalam ruangan milik Pangeran Gavin. Raja William membolak-balikkan buku catatan di depannya, “kau sudah memilah tugas yang belum selesai?” Astra melangkah mendekat sembari membawa tiga buku kemudian meletakkannya di atas meja, “sudah saya siapkan semuanya.” Yang Mulia William menutup buku yang dipegangnya kemudian menggantinya dengan buku dari Astra, “kau harus membantu Gavin di dalam kerajaan.” Astra menggangguk, “baik, Yang Mulia. Lalu bagaimana dengan anda?” “Aku memiliki penasehat, jadi jangan khawatirkan aku,” Yang Mulia William mengambil bolpen kemudian memberikan tanda pada buku catatan di depannya. Astra hanya berdiri di sebelah kursi. Dia masih kepikiran dengan keberadaan Putri Olivia yang berhasil membuat amarah Pangeran Gavin. Bahkan atmosfer di sekitarnya tiba-tiba berubah menjadi menakutkan. Astra bahkan merinding hanya berada di dekatnya. Dia ingin tahu, siapa itu Putri Olivia dan kenapa pangeran begitu marah. “Maaf, Y
Pangeran Gavin pun melangkah keluar kamar meninggalkan Azura. Langkah lebarnya menuju ke ruang bawah tanah di mana Astra dan semua pelayan berkumpul. Di ruang bawah tanah, Astra memborgol pelayan yang berniat menikam Putri Olivia di hadapan semua pelayan. “Jangan ada yang pergi dari tempat ini,” ujar Astra penuh penekanan. Beberapa pelayan berbisik, saling bertanya kenapa mereka semua dikumpulkan. Pelayan yang diborgol mulai tersadar dan kembali memberontak. “Lepaskan saya! Tolong, siapapun!” pekiknya. Plak! Sebuah tamparan keras dengan cepat mendarat di pipi pelayan tersebut membuatnya seketika membeku. Astra baru saja melayangkan tamparannya pada pelayan di sampingnya. Tangannya yang sudah gatal ingin memukul wanita di sampingnya karena berniat menikam orang yang paling berharga untuk pangeran, “berisik! Kau tidak sadar apa yang telah kau lakukan? Hah?!” Suara bariton Astra membuat mereka yang berada di sana bergidik ngeri. Untuk pertama kalinya mereka melihat Astra yang biasa
Di tempat lain, di dalam kamar Putri Olivia. Azura bersenandung pelan sembari bersandar di dinding menghadap Putri Olivia yang sedang terlelap. Detik berikutnya dia tersenyum lebar, “sepertinya malam ini akan menjadi malam dimana aku akan bersenang-senang.”Azura beranjak dari tempatnya, keluar dari kamar. Dia menutup pintu rapat-rapat lantas berdiri di depan pintu. Orang yang ditunggunya dari tadi sudah datang, membuat senyumnya semakin lebar.“Sebaiknya kalian keluar saja. Percuma juga sembunyi,” ujar Azura.Sepuluh ... tidak, 20 orang menampakkan dirinya di seberang Azura. Mereka semua memakai pakaian serba hitam dengan penutup mulut yang juga berwarna senada. Dua diantara mereka memiliki badan kekar dan tinggi. Dari postur tubuhnya, bisa dilihat kalau mereka merupakan prajurit atau mungkin pengawal.“Menyingkirlah, jika tidak ingin kepalamu terpenggal,” ucap salah satu dari mereka.Mendengar ucapannya justru
“Apa yang kau lakukan di sini?” laki-laki yang membawa buku itu mengeluarkan suara, bertanya pada orang tidak dikenal di depannya. Sontak orang itu langsung menoleh. Dengan penuh keterkejutan, dia memutar kepalanya menatap laki-laki di belakangnya. Merasa dirinya yang tertangkap, dia beranjak kemudian melangkah cepat menjauh. Nahas, laki-laki itu lebih dulu menendang kakinya membuatnya tersungkur ke tanah. Dengan sigap, laki-laki itu mengunci tangan orang di bawahnya ke belakang tubuhnya kemudian memaksanya untuk berdiri. “Lepaskan aku. Lepas,” orang itu memberontak, berusaha untuk melepaskan diri. Namun laki-laki itu tidak mengendorkan tangannya sedikitpun. Dia menarik orang itu masuk ke area kerajaan. Astra yang baru keluar dari ruang perawatan, mengetahui kedatangan mereka lantas berjalan mendekatinya, “ada apa ini, Leo? Siapa yang kau bawa?” Laki-laki bernama Leo, menatap sekilas ke arah orang yang diseretnya, “aku juga tidak tahu. Sepertinya dia mata-mata.” “Hm? Mata-mata? D
Dengan langkah senyap, Astra keluar dari kamar Putri Olivia meninggalkan Pangeran Gavin. Dia berjalan santai menyusuri koridor, memasuki sebuah lorong yang gelap kemudian masuk ke dalam sebuah ruangan.“Tidak biasanya kau datang terlambat, Astra,” seseorang yang duduk santai di kursi di paling ujung meja, menatap Astra yang berjalan ke tempat duduknya.Astra menarik kursi kemudian duduk. “Jangan samakan tugasku denganmu, Gabriel.”Laki-laki yang dipanggil Gabriel itu, tertawa kemudian menopang dagunya menatap Astra yang berseberangan dengannya, “aku dengar ada keributan tadi. Ditambah lagi, Azura menikmati semuanya sendirian.”Azura sudah duduk di kursinya dengan pakaian yang lebih bersih dibanding sebelumnya. “Pangeran yang memintanya. Jangan salahkan aku.”Gabriel beralih menatap Azura yang duduk di sampingnya. “Tapi, kau menikmatinya, kan?”Azura tersenyum lebar, “tentu saj
Jam 2 malam. Di dalam kamar Putri Olivia. Pangeran Gavin tidak mengistirahatkan tubuhnya sama sekali. Setelah dokter datang mengantarkan obat untuk Putri Olivia, dia senantiasa berjaga. Setiap satu jam sekali, dia akan mengganti kain kompres di dahi Putri Olivia. Dia selalu menjaga tubuh Putri Olivia untuk tetap hangat, sekalipun suhu tubuh Putri Olivia masih tinggi. Pangeran Gavin kembali duduk setelah mengganti kain kompres. Dia tidak kenal lelah untuk menjaga Putri Olivia. Pangeran Gavin menopang dagu, menatap lekat Putri Olivia. Tanpa sadar, matanya perlahan tertutup namun detik berikutnya dia tersadar dan kembali membuka matanya. Posisi duduk membuatnya sangat ngantuk. Pangeran Gavin berdiri sembari merenggangkan tubuhnya. Dia berjalan-jalan mengelilingi kamar, mencegahnya agar tidak tidur. Bahkan dia menyempatkan diri untuk melakukan push-up. Hingga pukul 4 pagi, Pangeran Gavin tertidur dengan posisi duduk. “Gavin... Pangeran Gavin.” Mendengar namanya disebut, Pangeran Gavin
Tok! Tok! Tok!Astra menoleh ke arah pintu, “masuk.”Pintu terbuka dengan Cora yang melangkah masuk, “permisi.”Semua orang menatap ke arahnya. Bahkan Pangeran Gavin menghentikan tangannya. Tidak ada yang memberitahunya kalau Cora akan datang ke kamar Putri Olivia.“Ada apa, Cora?” Pangeran Gavin menegakkan tubuhnya, tanpa mengalihkan pandangannya.“Aku yang memintanya ke sini,” Astra menjawab lantas mengeluarkan beberapa lembar uang kemudian menyerahkannya pada Cora.“Tolong siapkan gaun dan juga keperluan lainnya untuk Putri Olivia. Kau bisa membawa mereka berdua untuk membantumu,” sambung Astra sembari menunjuk Lucy dan Maya.Cora tersenyum sembari menerima uang tersebut, “oke. Serahkan saja padaku. Ayo berangkat, Lucy, Maya.”“Baik,” Lucy dan Maya menjawab serempak.Cora keluar dari kamar diikuti oleh Lucy dan Maya. Pintu pun kembali