Pagi hari kusapa dengan membongkar isi lemari pakaian. Rencana mengambil baju kerja tertunda, akibat mata yang tidak sengaja melihat paper bag dari toko Ruby. Teringat akan isinya yang merupakan gamis pakaian muslimah. Ada niat ingin memakainya. Namun, keraguan masih menelusup di dalam hati. Akankah terasa ganjal, kalau aku tiba-tiba pergi ke kantor menggunakan pakaian tersebut. Masih merasa insecure, takut dikatakan hijrah karena tersandung masalah. Padahal, niat itu muncul saat aku memang ingin berubah lebih baik lagi.
Kukeluarkan semua pakaian yang tampak kurang bahan, walaupun harganya mahal. Dari gaun hingga terusan biasa yang kupakai harian, karena pakaian tersebut menunjukkan aurat diatas lutut.
Ketukan pintu menghentikan gerakanku melempar pakaian ke atas tempat tidur.
"Masuk, Mbok! Nggak dikunci," teriakku dari dalam kamar. Tanganku masih asyik me
Aku tidak dapat fokus dalam bekerja. Perkataan dan pernyataan cinta Dilan telah mengusik pikiranku. Aku juga bingung kenapa aku menangis. Bahagia atau sedih ya tangisku waktu itu?"Aaargh!" Aku seketika frustasi.Laptop di depan mata terpaksa kumatikan dengan kasar karena seringnya aku membuat kesalahan.Kuambil lembar kertas dalam amplop yang telah diberikan Dilan dan membaca isinya. Dia bersungguh ingin mengundurkan diri. Ini nyata tidak sih? Aku masih tidak percaya. Kuremas kuat kertas tersebut dan melemparnya sembarang ke arah depan. Kutelungkupkan kepala di atas meja. Kesal. Selang tak berapa lama, bergegas kulangkahkan kaki keluar ruangan, berjalan dengan cepat. Tatapan heran Siska tidak kugubris sama sekali. Mulutnya seperti bergumam ingin mengatakan sesuatu tapi tertahan. Langkahku semakin cep
Sudah dua bulan berlalu, sejak pertemuan yang tidak disengaja dengan dokter Ryan dan ibunya, kami tidak pernah bertemu lagi. Sebenarnya banyak tanya dalam benakku, apa yang salah dan apa yang telah terjadi? hingga membuat suasana waktu itu berbeda. Biarlah … akhirnya kucoba melupakan kejadian waktu itu. Mencoba fokus ke hidupku. Masih banyak hal yang harus kulakukan. Masih banyak permasalahan yang harus kuselesaikan.Dilan pergi. Dia telah meninggalkan perusahaan ini. Sesuai yang dikatakannya padaku, bahwa dia akan mengundurkan diri. Sejak saat itu, aku seperti kehilangan. Kehilangan sahabat, dan partner kerja yang baik. Banyak suara sumbang di kantor, yang menuduhku sebagai penyebabnya resign dari perusahaan. Mereka menyebut aku jahat, kejam, dan hanya mementingkan diri sendiri, karena mengkambinghitamkan Dilan agar citraku tetap baik di perusahaan ini. Aku tidak peduli, jauh di depan, nasib perusahaanlah yang menjadi prioritas
"Argh …!" Dewi meringis saat pipinya dicubit gemas Ma Ira."Kalau ngomong tuh yang benar, Wi. Sembarangan bilang Ryan yang mau nikah. Calonnya aja belum ada, mau nikah sama siapa dia?" rutuk Ma Ira menggelengkan kepalanya."Aduh, sakit Ma." Dewi mengelus pelan pipinya. "Iya, tadi bercanda doang. Cepatan Ma, carikan dia pacar atau istri. Dewi lihat dari kemarin, itu anak galau mulu, kenapa ya? Lagi patah hati? tapi sama siapa? Dewi nggak pernah dengar dia punya pacar?" Cecarnya sambil mata menerawang."Iya, dia patah hati karena sempat Mama larang dekat sama perempuan," sahut Ma Ira melirik ke arahku. Aku melongo mendengarnya. Lalu seketika mencoba mengendalikan diri, dan bersikap sewajarnya. Entah kenapa aku merasa ucapan Mama Ira itu tertuju padaku.Namun hatiku lega juga mendengarnya. Itu artinya, bukan d
POV Ryan.Aku berada di dalam taksi menuju rumah sakit. Tidak mungkin berputar balik arah, menghampiri Mama dan Alisha ke mall, karena pasti mereka sudah pulang. Jadi kuputuskan ke rumah sakit melanjutkan dinas malamku.Mendesah berat saat kubuka ponsel, ada dua kali panggilan dari Mama, dan lima kali panggilan dari Alisha. Pasti Mama bingung dan khawatir karena aku pergi tanpa pamit. Apalagi panggilan darinya tidak kuangkat sama sekali. Ada satu pesan dari Alisha.["Kakak pergi kemana? Al sama Mama cemas."] Membaca pesan dari Alisha, membuat perasaanku semakin tidak nyaman.Kucoba segera menghubungi Mama. Memberikan kabar, bahwa anaknya baik-baik saja.***"Halo, Ryan. Kamu dimana?" Mama langsung bertanya tanpa mengucap
Gelas di depan mata hanya kuputar-putar pelan. Sesekali, mengelap embun di sisi gelas dengan jari. Air es di dalamnya masih tersisa setengah. Belum kuhabiskan. Pikiranku melayang, mengingat kejadian saat bertemu Alisha dan ucapan Ruby.***"Aku ingat, bukankah kamu ketemu dengannya waktu itu di toko-ku?" Ruby melirik ke arahku sekilas, lalu fokus kembali ke depan jalan.Aku mengangguk."Kamu sudah kenal dia 'kan sebelumnya?" tanyanya lagi."Cuma tahu namanya, nggak kenal dekat."Ruby membuang napas. "Aku nggak suka sama ucapannya. Dia memojokkanmu. Kukira dia alim." Ruby mendengkus dengan menarik sudut bibir ke atas.Aku mendesah. "Bukankah patokan kealiman dan ketakwaan seseorang bukan yang terlihat
"Sudah, jangan tegang begitu wajahnya. Santai. Sekarang kita lanjut makan dulu, setelah ini, baru kita bahas yang tadi," ucap Mama Ira tanpa beban. Dia sangat santai mengatakannya, sambil menikmati makan dengan lahapnya. Sedangkan aku, Masih dalam kebingungan. Beberapa kali melirik ke arah dokter Ryan. Dia hanya fokus ke makanan, tapi gerakannya tidak secepat tadi, lebih lambat dan kadang terhenti seperti ada yang dipikirkannya. Mungkinkah memikirkan ucapan Mamanya, sama sepertiku?Menikah? Apakah maksudnya aku dan dokter Ryan? Ah, itu tidak mungkin. Mama Ira sepertinya sedang mengerjai kami. Pasti dia sedang bercanda."Yan, sudah kenyang?" tanya Mama Ira. Matanya menyorot ke piring dokter Ryan yang masih menyisakan sedikit makanan, tapi sendok sudah diletakkannya di atas piring. Dokter Ryan mengangguk mengiyakan."Wah, sayang dong nggak dihabiskan. Pasti
"Alhamdulillah, Non. Mbok senang dengarnya." Senyum Mbok Yem mengembang, usai kuceritakan tentang lamaran tidak langsung dokter Ryan, tiga hari yang lalu."Menurut Mbok, apa yang saya lakukan itu benar atau salah?" Akhirnya aku curhat juga sama Mbok Yem. Aku merasa lebih enak ngobrol dengannya, karena Mbok Yem bisa memberikan masukan atau saran yang baik untukku. Mungkin pengalaman hidupnya yang jauh lebih banyak, membuatnya lebih bijak dalam menyikapi suatu masalah."Kalau dibilang salah, nggak juga. Kalau benar, harusnya sih nggak begitu." Jawaban ngambang Mbok Yem membuat mataku menyipit."Saya tidak mengerti, Mbok. Jangan bermain kata, kepala lagi puyeng, Mbok," rutukku dengan menyesap kopi hangat buatannya.Wanita paruh baya yang duduk di sebelahku hanya nyengir kuda.
POV Dr. Ryan. "Benar 'kan itu Delia, Ma?" Aku bertanya memastikan. Gegas kuhampiri Mama, setelah melihatnya selesai video call dengan seseorang."Menurutmu?" Mama malah balik bertanya. Matanya lekat menatapku balik."Ma, please …. Ryan serius." Dengan memelas aku menekan suaraku.Mama malah terkekeh pelan sambil mengusap rambutku."Kamu sangat mencintainya?" Aku terkesiap mendengar pertanyaan Mama. Dari raut wajahnya tidak ada kemarahan di sana. Cara bicaranya pun lembut.Dengan menganggukkan kepala, kuiyakan."Tunggulah sampai masa Iddahnya selesai, baru dekati dia.""A--apa, Ma?" ulangku. Aku tidak ingin salah dengar. Suara Mama terdengar pelan dan kecil di t