Tiba-tiba gelap. Ada tangan yang menutup kedua mataku. Kusentak kasar tangan tersebut.
"Dokter Ryan," gumamku.
"Nggak usah dilihat, takut patah hati." Aku mengernyit mendengarnya.
"Siapa yang patah hati?" Dokter Ryan malah menatapku lekat.
"Awww." Aku menjerit karena kaget. Dokter Ryan menyentil keningku. Lagi. Apa ini kebiasaannya? Jelek sekali. Kuusap keningku pelan.
"Apaan sih, Dok, pake disentil segala. Sakit," keluhku dengan masih mengusap bekas sentilannya.
"Cuma mau ngetes aja, ada isinya nggak tuh otak. Masa nggak ngerti apa yang kumaksud. Bukankah kamu cerdas, apalagi waktu SMA, masuk sebagai siswa berprestasi, masa mencerna apa yang kukatakan barusan nggak bisa?"
Waktu SMA?
Aku segera meluncur ke rumah sakit Bunda Asih tempat Lastri berada. Kata Pak Darwin, Lastri tertangkap di terminal bus. Sepertinya dia memang ingin melarikan diri, karena dari tiket yang dipesannya adalah tempat yang jauh dari kota ini. Aku membenarkan informasi dari Pak Darwin, karena setahuku, keluarganya pun tidak ada yang tinggal di sana."Jadi Lastri sudah ketemu Bu?" Tanya Bani. Dia yang sekarang menemaniku. Melajukan mobil ini ke rumah sakit tempat Lastri dirawat. Sedangkan Yanto kuminta di rumah saja. Menurutku situasi juga sudah aman. Selain Lastri, dua orang teman Pak Rustam juga sudah tertangkap. Pak Edi dan Pak Karsa. Mereka berdua ketangkap atas informasi dari keluarga mereka masing-masing. Syukurlah keluarga mereka kooperatif tidak berniat sama sekali untuk melindungi keberadaan mereka."Iya." Aku menjawab singkat.
Sekarang kita kemana, Bu?" Bani yang sedang menyetir di depan mencoba bertanya padaku. Mungkin dia bingung melihatku yang gegas masuk ke dalam mobil tanpa mengatakan kemana tujuan pergi.Hm … ke kantor polisi," jawabku tanpa menoleh ke depan. Aku asyik menatap jalanan yang ramai oleh kendaraan roda empat maupun roda dua. Bukan menikmatinya tapi hanya mengalihkan pikiran dari sekelumit permasalahan yang ditimbulkan Lastri. Masih terngiang permintaan ibunya di benakku. Mengingatnya, selalu membuatku menghela napas panjang.Kuraih ponsel dari dalam tas yang berada di sampingku duduk. Mencoba menghubungi seseorang."Sis, bagaimana jadwalku hari ini?" Aku menghubungi Siska--sekretarisku. Langsung bertanya tanpa berbasa-basi mengucap salam."Hari ini ada yang ingin membuat janji ketemu sama Ibu. Mereka klien
POV. Dr. Ryan"Delia?" Aku bergumam sendiri."Kenapa Dok, kamu kenal?" Ternyata dokter Richard mendengar gumamanku.Aku kaget saat membaca rekam medis seseorang bernama Delia. Apalagi saat melihat nama ayahnya. Sangat kukenal, bukan kenal lagi, tapi hafal sampai di luar kepala."Namanya seperti familiar, Dok," jawabku tersenyum."Tahu Angkasa group, pasti pernah dengar kan?" Aku mengangguk."Nah, Delia ini anak dari pemilik perusahaan tersebut," jelas dokter Richard."Oh," balasku.Berarti aku tidak salah, ini benar Delia.Di SMA Tunas Bangsa, siapa yang tidak kenal Delia. Gadis cantik berambut panjang lurus, d
"Sore Pak, dengan Bapak Yudhatama?" Siska bertanya saat kami sudah berada di depan meja atas nama Yudhatama.Aku hanya diam saja. Kubiarkan Siska yang berbicara memulai percakapan. Mataku fokus menatap sosok yang kukenal berada di depanku. Dia tidak membalas tatapanku, padahal aku menatapnya terus tanpa berkedip.Ada yang berbeda dari penampilan dokter Ryan saat ini. Dia memakai jas menutupi kemeja putihnya. Pakaiannya terlihat lebih formal. Apa yang dilakukannya di sini? Siapa yang dia temui sehingga pakaiannya begitu formal?"Ya sudah, gue pergi dulu Bro, ntar kita sambung lagi," ucap dokter Ryan bangun dari duduknya, sambil merangkul laki-laki di sampingnya, yang kuduga pasti Pak Yudhatama. Mereka tampak seumuran, teman atau ada hubungan keluarga, aku tidak tahu."Sip, bisa diatur," balas Pak Yudhatama.
"dokter Ryan?" Aku berseru pelan."Dunia ini terlalu sempit ya sampai harus ketemu kamu lagi," tuturnya membuatku menautkan alis."Kamu pikir aku sengaja ngikutin Dokter sampai ke sini? Dokter kepedean," jawabku mencebik kesal padanya tidak mau kalah."Lalu ngapain kamu ke sini?" Netranya menatapku dari bawah ke atas. Seperti sedang menguliti penampilanku. "Nggak mungkin 'kan kamu sholat," imbuhnya lagi mematahkan keberadaanku di sini.Apa sesempit itu pemikirannya tentangku? Apa orang kayak aku mudah ditebak tingkat ibadahnya? Hingga dari penampilan saja dia bisa menilainya."Kenapa diam? Benar 'kan?" Tudingnya lagi tanpa rasa bersalah.Entah kenapa ada rasa sesak saat komentar itu keluar dari mulutnya. Bibirku terkatup rapat. Tenggo
Kuhampiri Pak Darwin dengan sorot mata bertanya. Namun dibalas oleh Pak Darwin dengan gelengan kepala."Jadi kamu yang namanya Delia? Selingkuhannya Dilan?" Wanita berkerudung cokelat yang duduk sebelah kiri langsung bertanya kepadaku dengan tudingan yang tidak kumengerti.Keningku berkerut dengan menatap tajam Dilan. Apa maksud pertanyaan orang tua ini, kenapa dia menyebutku begitu?"Saya Fatimah, Tantenya Dilan. Sejak ayah Dilan meninggal, maka saya yang bertanggung jawab mengurus Dilan," lanjutnya menjelaskan, dengan nada ketus."Tunggu, apa maksud anda menuding saya begitu? Selingkuhannya Dilan. Siapa? Saya? Sepertinya terjadi kesalahpahaman di sini," elakku membantahnya."Alah, jangan sok polos, kemarin Dilan membatalkan pertunangan kami dan meminta putus, apa coba kalau
"Mbak!" Panggil Pak Darwin ke pramusaji. Perempuan muda mengenakan seragam khas berlogokan cafe yang kami datangi ini, bergerak maju ke arah meja kami."Maaf, bisa minta air mineral? Keponakan saya tersedak," pinta Pak Darwin pada pramusaji yang berdiri di hadapannya. Pramusaji itu mengangguk dan segera pergi mengambilkan."Ehem." Kucoba berdehem beberapa kali, menetralisir ketidaknyamanan di dalam tenggorokanku. Rasa kopi yang kuminum sangat terasa di tengah tenggorokan. "Ini, cepat minum!" Pak Darwin memberikan segelas air mineral kepadaku yang telah tersedia di depan meja. Kumbil dan kuteguk segera."Om, apa-apaan sih. Delia aja belum cerai dari Mas Heru sudah diminta nikah sama dokter jutek," protesku tidak setuju setelah bisa berbicara."Iya nanti kalau ka
Aku menjadi gugup dengan dada berdebar, ketika melihat Lastri turun dari tempat tidur dengan mata nyalang menatapku. Kugenggam erat tangan ibunya Lastri."Delia, dimana Delia? Aku benci nama itu, kamu!" Jari telunjuknya mengarah ke diriku. "Kamu siapa? Kamu Delia?" Lastri maju dengan pelan menghampiriku.Aku diam. Sepertinya Lastri tidak mengenalku. Namun aku tetap berdiri di belakang ibunya seolah mencari perlindungan. Aku tidak tahu kenapa jadi ketakutan begini. Mungkin karena momok orang gila di benakku sudah tertanam menakutkan."Sayang, Lastri …, dia bukan Delia, dia teman kamu." Ibunya Lastri mencoba menenangkannya dengan berbohong.Aku terkesiap saat tangan Lastri menarik lenganku dengan kuat."Kamu bukan Delia 'kan? Aku benci Delia. Dia mengambil semua yang kui