Haahhh... haahhh... haahhh...
Terdengar napas yang saling memburu, kemudian menguap menjadi asap berwarna putih transparan. Diana beberapa kali menarik napasnya dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan, ia berusaha untuk menormalkan frekuensi bernapasnya.
Di sisi lain, hamparan salju luas dengan tanpa adanya pepohonan menyambut dirinya. Diana berdiri memandang ke arah kastel yang cukup besar di hadapannya. Seraya memegang tangannya yang mulai membeku kedinginan, ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
"Apa ini Raltz...?" tanyanya dalam hati.
Diana mulai melangkahkan kakinya melewati tebalnya salju, membuat jejak-jejak langkahnya tercipta dengan jelas. Selain itu, Diana juga kesulitan melewatinya karena tinggi salju ini sudah menyentuh betisnya, tapi ia terus menggerakkan kakinya. Rasa dingin yang menusuk tubuhnya sama sekali tidak ia rasakan.
Sesampainya di depan gerbang yang tidak ad
Al mendengus keras lalu melihat ke arah Diana yang tadi sedang berdiri diam, "Huh...? Ke mana dia?"Rai bukannya menjawab, ia malah memberikan pertanyaan. "Bukankah dia semakin aneh, Al?""Tentu saja. Sejak awal pun dia juga sudah aneh, itu sebabnya aku menyuruhmu untuk membunuhnya," jelas Al, “Tapi ke mana dia?”"Dia mirip seseorang," ujar Rai berusaha mengingat sesuatu hingga kedua alisnya menekan ke dalam."Hah...? Maksudmu?" Namun, Rai malah membungkam mulutnya.Al akhirnya menyerah dengan pertanyaan keberadaan Diana karena dia rasa vampir di sebelah ini memang benar-benar sudah gila, dan bertanya pertanyaan normal padanya hanya membuang-buang energi."Entah, aku juga tidak yakin. Tapi kepribadiannya dan juga sikapnya. Dia seperti orang yang aku kenal," jawab Rai kemudian.Al menarik napasnya dalam-dalam, "Baiklah... wanita itu aneh, kau juga aneh. Hanya aku yang normal di sini," ujarnya tidak peduli l
Raja berbalik dan melihat ke sudut ruangan, di sana terdapat dua orang prajurit bersandar ke dinding dengan penuh darah hitam di tubuhnya. Tidak ada rasa bersalah yang tergambar di wajahnya, ia malah terlihat sangat tenang."Maksudnya mereka?" tanya Dominic. "Atau mereka?" lanjutnya melihat ke arah luar jendela dan menatap para prajurit yang terkapar di salju dengan kondisi yang mengenaskan."SEMUANYA!" teriak Kevin.Dominic hanya tersenyum, "Siapa yang menyangka mereka akan tumbang hanya dengan beberapa kali serangan? Kau memberontak, tapi hanya ini kemampuanmu?""DIAM!" teriak Kevin tidak bisa lagi menahan emosinya.Dominic tidak merespons, ia malah berbicara pada Rena, memberikannya perintah. "Bereskan semuanya.”Rena mengangguk dan langsung mengarahkan prajurit. Para pasukan prajurit khusus Raja kemudian mulai menerjang maju, berniat menahan semuanya. Namun mereka tiba- tiba saja terdiam, seraya memegang leher yang
Ssrrkk... Ssrrkk... Ssrrkk...Suara langkah kaki terdengar. Manusia ini—Diana terus menjejakkan kakinya ke tumpukan salju-salju yang sekarang tingginya hanya semata kaki di balik gerbang yang telah ia lewati.Sejenak ia berhenti lalu kembali mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru arah. "Terlalu senyap...” batinnya. “Ini benar-benar senyap. Bahkan Haltz tidak sesenyap ini."Diana mengingat bahwasanya Haltz tidak memiliki suasana seperti ini, mereka memiliki penjagaan di sudut mana pun, dan juga pelayan yang terkadang hilir mudik di luar kastel.Wanita ini kemudian kembali berjalan diiring sikap waspada. Diana berjalan memutari kastel ini melalui sisi kanan. Namun, ia langsung merapatkan tubuhnya ke tembok secara tiba-tiba, bersembunyi dari bayangan seseorang yang tertangkap oleh kedua matanya.Tik. Tok. Tik. Tok.Hening…
Sementara itu, mantel Diana terus menerus ia sobek hingga akhirnya mantel ini berubah bentuk menjadi sebuah tudung. Diana terus melakukan apa yang ia bisa sampai ke pria terakhir.Diana menerawang, "Apa yang terjadi di sini? Kenapa mereka semua seperti ini? Ika... Iki... aku harap kalian baik-baik saja."BRAK...! BAM!!!Baru saja Diana menyelesaikan kata-katanya. Suara barang pecah dan barang terjatuh, cukup keras terdengar. Tepat setelah ia selesai mengobati pria yang terakhir. Refleks, Diana langsung menolehkan kepalanya ke arah sumber suara dengan ekspresi cemas. Diana kemudian langsung bangkit dan berlari ke arah suara.Larinya cukup kencang hingga tidak butuh waktu lama untuknya sampai tepat di bawah jendela tempat Kevin melemparkan kursi yang sebelumnya diduduki oleh Dominic. Namun, dibandingkan kursi ini. Diana lebih terkejut dengan apa yang dilihatnya.Di hadapannya terdapat hamparan para pria--vampir yang jumlahny
Diana yang terlihat sangat misterius ini langsung mengangkat wajahnya dan membuka tudungnya. Tanpa berkata apapun, dia langsung bangkit dan memeluk si kembar begitu saja."Ahh... Syukurlah... Kalian baik-baik saja?" tanyanya dengan wajah yang penuh kelegaan."A-a-ahh... ya... kami baik-baik saja," jawab Iki terkejut."Tapi sedang apa Kak Diana di sini?" tanya Ika bingung."Menjemput kalian, vampir bodoh itu tidak mendengarkanku. Jadi aku datang untuk menjemput kalian."Tap. Tap. Tap.Iki berdecak keras ketika telinganya menangkap suara langkah kaki para penjaga yang mendekat. "Ayo! Kita harus segera pergi dari sini!""Tunggu—" Ika menahan tangan saudaranya, "—manusia ini terluka," lanjutnya menoleh ke arah Pine yang melihat reuni mereka bertiga dalam diam.Diana menoleh ke arah yang di tunjuk, "S-si-siapa dia?" Pupil mata Diana membesar dan wajahnya tiba-tiba saja berubah menjadi pucat pasi
Tawa kencang terdengar dari mulut sang Komandan, "HAHAHAHAHAHA...!!!"Melihat Diana yang begitu berani menatap tajam anak buahnya bahkan mengabaikannya membuat dirinya tertawa terbahak-bahak, "Raltz tidak sembarangan memilih seorang manusia rupanya.”Ctak!Bunyi antara ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah terdengar beradu. Sang Komandan memberikan perintah melalui jentikan jarinya. Dalam hitungan detik, Iki dan Pine telah menjadi sandera tambahan, meninggalkan Diana seorang diri yang terbebas tanpa ada yang menyanderanya."Melihat wajahmu, sepertinya kau sangat marah. Hahaha…!" komentar sang Komandan melihat wajah Diana yang datar namun penuh guratan kemarahan yang amat besar."Lepaskan mereka!!!" seru Diana."Heee..." sang Komandan merasa geli dengan perkataannya. Baginya Diana yang seorang manusia sangat tidak mengetahui posisinya sekarang. Manusia ini terus saja memberikan perintah yang irasional.
Tap. Tap. Tap.Komandan melangkahkan kaki mendekati Diana. Lalu mengulurkan tangan, dan mengambil beberapa helai rambutnya. Diana hanya diam menatap manik mata sang Komandan intens.BAK!Komandan terhempas ke belakang akibat tendangan dadakan dari Diana. Di lain pihak Diana langsung menjatuhkan tudungnya dan mulai melawan satu per satu vampir yang menghalangi jalan Ika."Jangan menoleh! Terus berlari!" seru Diana ke Ika.Ika mengangguk. Dia juga menoleh ke arah Iki dan memberikan tatapan untuk menunggunya kembali. Ika pun mulai berlari sangat kencang tanpa sekalipun menoleh ke belakang, meninggalkan Diana dan mereka semua.Dalam pelariannya, Ika terus saja berteriak di dalam pikirannya, "Kak Rai! Kak Rai! Kak Rai!"Dia terus saja mengulang kata-kata tersebut berkali-kali di kepalanya, berharap suara yang tidak terdengar itu dapat terdengar oleh Rai. Fokusnya sangat ini hanya satu, berlari me
BAM!Sebuah tubuh melayang, itu adalah tubuh prajurit yang terhempas kencang menghantam tembok hingga tidak sadarkan diri seketika. Dari mulutnya langsung mengalir darah hitam pekat."Apa!? Kau berisik sekali!" sahut Rai yang tiba bersama dengan Al."KAK RAI!!!" tangis Ika pecah dan langsung memeluk Rai begitu saja.Di lain sisi, Al menghajar semua prajurit tersebut sendirian, membiarkan kedua vampir tersebut untuk saling berbicara. Vampir hibrida ini tidak memberikan satu celah pun untuk mereka menyerang.Rai melepaskan pelukan Ika dengan paksa dan melihat wajahnya yang penuh luka lebam. Wajahnya mengeras melihat luka-luka ini. "Al..." panggilnya.Al menoleh, "Apa!?" jawabnya masih dalam kekesalan."Bunuh mereka semua!" perintah Ria.Al tersenyum sinis, "Dengan senang hati."***Napas Diana sudah tersengal-sengal dengan tubuh yang penuh banyak luka, bahkan dar