Ssrrkk...
Ssrrkk... Ssrrkk...Suara langkah kaki terdengar. Manusia ini—Diana terus menjejakkan kakinya ke tumpukan salju-salju yang sekarang tingginya hanya semata kaki di balik gerbang yang telah ia lewati.
Sejenak ia berhenti lalu kembali mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru arah. "Terlalu senyap...” batinnya. “Ini benar-benar senyap. Bahkan Haltz tidak sesenyap ini."
Diana mengingat bahwasanya Haltz tidak memiliki suasana seperti ini, mereka memiliki penjagaan di sudut mana pun, dan juga pelayan yang terkadang hilir mudik di luar kastel.
Wanita ini kemudian kembali berjalan diiring sikap waspada. Diana berjalan memutari kastel ini melalui sisi kanan. Namun, ia langsung merapatkan tubuhnya ke tembok secara tiba-tiba, bersembunyi dari bayangan seseorang yang tertangkap oleh kedua matanya.
Tik. Tok. Tik. Tok.
Hening…
Sementara itu, mantel Diana terus menerus ia sobek hingga akhirnya mantel ini berubah bentuk menjadi sebuah tudung. Diana terus melakukan apa yang ia bisa sampai ke pria terakhir.Diana menerawang, "Apa yang terjadi di sini? Kenapa mereka semua seperti ini? Ika... Iki... aku harap kalian baik-baik saja."BRAK...! BAM!!!Baru saja Diana menyelesaikan kata-katanya. Suara barang pecah dan barang terjatuh, cukup keras terdengar. Tepat setelah ia selesai mengobati pria yang terakhir. Refleks, Diana langsung menolehkan kepalanya ke arah sumber suara dengan ekspresi cemas. Diana kemudian langsung bangkit dan berlari ke arah suara.Larinya cukup kencang hingga tidak butuh waktu lama untuknya sampai tepat di bawah jendela tempat Kevin melemparkan kursi yang sebelumnya diduduki oleh Dominic. Namun, dibandingkan kursi ini. Diana lebih terkejut dengan apa yang dilihatnya.Di hadapannya terdapat hamparan para pria--vampir yang jumlahny
Diana yang terlihat sangat misterius ini langsung mengangkat wajahnya dan membuka tudungnya. Tanpa berkata apapun, dia langsung bangkit dan memeluk si kembar begitu saja."Ahh... Syukurlah... Kalian baik-baik saja?" tanyanya dengan wajah yang penuh kelegaan."A-a-ahh... ya... kami baik-baik saja," jawab Iki terkejut."Tapi sedang apa Kak Diana di sini?" tanya Ika bingung."Menjemput kalian, vampir bodoh itu tidak mendengarkanku. Jadi aku datang untuk menjemput kalian."Tap. Tap. Tap.Iki berdecak keras ketika telinganya menangkap suara langkah kaki para penjaga yang mendekat. "Ayo! Kita harus segera pergi dari sini!""Tunggu—" Ika menahan tangan saudaranya, "—manusia ini terluka," lanjutnya menoleh ke arah Pine yang melihat reuni mereka bertiga dalam diam.Diana menoleh ke arah yang di tunjuk, "S-si-siapa dia?" Pupil mata Diana membesar dan wajahnya tiba-tiba saja berubah menjadi pucat pasi
Tawa kencang terdengar dari mulut sang Komandan, "HAHAHAHAHAHA...!!!"Melihat Diana yang begitu berani menatap tajam anak buahnya bahkan mengabaikannya membuat dirinya tertawa terbahak-bahak, "Raltz tidak sembarangan memilih seorang manusia rupanya.”Ctak!Bunyi antara ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah terdengar beradu. Sang Komandan memberikan perintah melalui jentikan jarinya. Dalam hitungan detik, Iki dan Pine telah menjadi sandera tambahan, meninggalkan Diana seorang diri yang terbebas tanpa ada yang menyanderanya."Melihat wajahmu, sepertinya kau sangat marah. Hahaha…!" komentar sang Komandan melihat wajah Diana yang datar namun penuh guratan kemarahan yang amat besar."Lepaskan mereka!!!" seru Diana."Heee..." sang Komandan merasa geli dengan perkataannya. Baginya Diana yang seorang manusia sangat tidak mengetahui posisinya sekarang. Manusia ini terus saja memberikan perintah yang irasional.
Tap. Tap. Tap.Komandan melangkahkan kaki mendekati Diana. Lalu mengulurkan tangan, dan mengambil beberapa helai rambutnya. Diana hanya diam menatap manik mata sang Komandan intens.BAK!Komandan terhempas ke belakang akibat tendangan dadakan dari Diana. Di lain pihak Diana langsung menjatuhkan tudungnya dan mulai melawan satu per satu vampir yang menghalangi jalan Ika."Jangan menoleh! Terus berlari!" seru Diana ke Ika.Ika mengangguk. Dia juga menoleh ke arah Iki dan memberikan tatapan untuk menunggunya kembali. Ika pun mulai berlari sangat kencang tanpa sekalipun menoleh ke belakang, meninggalkan Diana dan mereka semua.Dalam pelariannya, Ika terus saja berteriak di dalam pikirannya, "Kak Rai! Kak Rai! Kak Rai!"Dia terus saja mengulang kata-kata tersebut berkali-kali di kepalanya, berharap suara yang tidak terdengar itu dapat terdengar oleh Rai. Fokusnya sangat ini hanya satu, berlari me
BAM!Sebuah tubuh melayang, itu adalah tubuh prajurit yang terhempas kencang menghantam tembok hingga tidak sadarkan diri seketika. Dari mulutnya langsung mengalir darah hitam pekat."Apa!? Kau berisik sekali!" sahut Rai yang tiba bersama dengan Al."KAK RAI!!!" tangis Ika pecah dan langsung memeluk Rai begitu saja.Di lain sisi, Al menghajar semua prajurit tersebut sendirian, membiarkan kedua vampir tersebut untuk saling berbicara. Vampir hibrida ini tidak memberikan satu celah pun untuk mereka menyerang.Rai melepaskan pelukan Ika dengan paksa dan melihat wajahnya yang penuh luka lebam. Wajahnya mengeras melihat luka-luka ini. "Al..." panggilnya.Al menoleh, "Apa!?" jawabnya masih dalam kekesalan."Bunuh mereka semua!" perintah Ria.Al tersenyum sinis, "Dengan senang hati."***Napas Diana sudah tersengal-sengal dengan tubuh yang penuh banyak luka, bahkan dar
"Kak Rai! Kak Rai!" seru Ika berulang kali. Ia merasa senang dan lega bertemu dengannya. Namun, ada hal yang lebih ia khawatirkan yaitu tentang Diana."Kau mau mulutmu aku jejal dengan salju?" respons Rai dingin."Tapi... Kak Diana—"Rai langsung memotongnya, "Aku tahu, jadi jangan berisik.”Al datang seraya mengibas-ngibaskan tangannya yang penuh darah hitam. Ia telah menghabisi semua para prajurit ini. Tubuh bagian dada mereka semua berlubang, dengan jantung yang sudah hancur, sementara tubuh lainnya tidak berkepala."Ugh... aku benci ini!" ujar Al. "Apa yang akan kita lakukan selanjutnya?"Kau akan berada di sini dan lindungi bocah ini. Aku akan masuk dan mengambil Iki," jelas Rai."Ba-bagaimana dengan Kak Diana?" tanya Ika khawatir."Huh? Manusia itu? Salahnya sendiri pergi ke wilayah Raltz," balas Al enteng.Ika mendorong Rai menjauh, "Kenapa kalian sangat membencinya!? Kak Diana
"Kau belum menjawab pertanyaanku,” kata Dominic.Diana mengangkat tangannya yang dicekal, "Apa aku harus menjawab pertanyaan dari orang kasar sepertimu? Lepaskan tanganmu sekarang!"Dominic hanya tersenyum sinis lalu melepaskan cekalannya. Namun, ia tidak benar-benar berniat melakukannya. Apa yang dilakukannya telah membuat Diana kini benar-benar berada di ambang batas kemarahannya.Bagaimana tidak? Dominic memang melepaskan tangannya namun dia langsung beralih ke Pine dan menempatkan tangannya di leher wanita ini. Mencekiknya dengan erat secara perlahan-lahan."Sangat mudah bagiku mematahkan lehernya. Kau tahu itu bukan?" ujar Dominic dengan senyum liciknya. Diana langsung mengepalkan tangannya dengan erat."Wanita ini membawa sesuatu yang berharga, dan aku harus mengembalikan apa yang dia bawa ke pemilik yang sebenarnya," sambung Dominic.Diana berteriak marah, "Apa lagi yang akan kalian lakukan!!! Tanpa sepengetahua
"Ada apa dengan wajah ini? Guratan kemarahan itu… aku pernah melihatnya di suatu tempat. Tidak! Aku bukan pernah melihatnya. Aku selalu melihatnya! Wajah ini tidak asing, tapi siapa dia!?" batin Pine."Mata biru dan rambut merah ini... Dulu aku mengenal orang yang memiliki warna mata dan rambut sepertimu," Dominic memandang intens Diana. "Tapi sayang, dia sekarang sudah tidak ada di dunia ini lagi.”“Kenapa setiap orang selalu mengomentari rambut dan mata ini? Aku benar-benar tidak mengerti dan tidak peduli!!” batin Diana.Manusia ini kemudian memperat cekikannya pada leher Dominic, “Aku tidak peduli dengan apa yang kau ucapkan.”"Nggg..." erang Pine ketika Dominic melakukan hal yang sama padanya."Kau yakin mau melakukan ini? Apa yang kau lakukan padaku akan berlaku sama dengan wanita ini,” Dominic menantang lalu tersenyum sinis.Sementara itu, Diana tidak b