3 tahun yang lalu
Koper besar berisi pakaian sudah disiapkan Asri. Dia bertekad untuk pergi. Satu hal yang pasti ia akan merindukan kamar ini. Kamar yang menemaninya dari kecil sampai dewasa. Ia juga akan rindu dengan sobat kecilnya yang berada di dalam kotak kaca. Seekor tokek atau bunglon atau mungkin iguana, Asri tak bisa memastikannya. Namun, yang pasti hewan tersebut sudh jinak, karena dipelihara selama beberapa bulan. Setiap hari dia memberinya makan dan rasa sayang mulai tumbuh di hati Asri. Dia beri nama hewan kecil itu Damar.
Perjuampaannya dengan Damar memang unik. Saat itu sedang ada kegiatan naik gunung di Lereng Gunung Lawu. Dia menemukan reptil ini nyaris terluka di sekujur tubuhnya. Asri menolong reptil itu tanpa takut, sedangkan teman-teman yang lainnya merasa jijik. Dia langsung tertarik dengan hewan itu, selain bentuknya yang unik, Asri juga memang penyayang binatang. Reptil itu memiliki sisik kulit berwarna biru kemerahan dan ada tanduk kecil di kepalanya. Hampir semua binatang disukai Asri, kecuali kecoak. Entah mengapa binatang itu terlihat begitu menakutkan. Dia sangat histeris apabila ketemu hewan satu itu. Reptil ini makan apa saja yang dia berikan, termasuk kecoak. Mungkin itu salah satu alasan Asri menyukainya.
Dia menamakannya Damar, karena teringat dengan salah satu kakak kelasnya yang bernama Damar. Seniornya itu sangat mempesona. Dia dan teman-teman pernah berandai-andai kalau seniornya itu jadi hewan peliharaan saja di rumah. Fantasi yang absurd, tetapi toh Asri tetap menamainya Damar.
Damar tidak sulit untuk dipelihara, hampir semua makanan yang dimakan Asri juga dimakan oleh hewan ini. Hampir setiap hari Asri mengajak bicara hewan peliharaannya itu. Nyaris setiap kejadian di sekolah, pasti diceritakan kepada kadal itu. Dari curhat tentang sekolah, juga curhat tentang teman atau pun cowok.
“Maafkan aku ya kawan kecil. Aku akan melepaskanmu sekarang. Sebab aku tak bisa lagi memeliharamu. Jangan khawatir kalau berjodoh kita nanti akan ketemu kok,” gumam Asri. Dia lalu membuka tutup kaca kotak tersebut. Diambilnya hewan itu dengan tangan kanan, lalu dia masukan ke sebuah kandang kecil. Hewan itu menurut begitu saja dimasukkan ke dalam kandang kecil yang terbuat dari plastik.
Asri keluar dari kamar sambil menyeret kopernya. Saat pintu dibuka, suasana rumah menjadi suram. Wajah-wajah muram, sedih, marah bercampur menjadi satu. Satu yang tidak bisa dilupakan oleh Asri adalah wajah merah Romo. Lelaki itu benar-benar telah sampai di taraf yang tak bisa diajak kompromi.
“Awakmu iki cah wadon sing ora iso dituturi. Wis wani ngelunjak, kepingin dadi opo kowe nduk? (Kamu ini anak perempuan yang tidak bisa dinasehati. Sudah berani melunjak, ingin jadi apa nanti kamu)” ucap Romo.
“Dalem nyuwun pangapuran ingkang kathah Romo, tapi dalem mboten saget patuh kalihan pituturipun panjenengan (Saya minta maaf sebanyak-banyaknya Romo, tapi saya sudah tidak bisa lagi patuh dengan nasihat Romo),” kata Asri dengan bahasa yang sopan.
“Asri, cah ayu. Ojo lunga, ya? Ibu kudu piye ben sliramu ora minggat, Nduk? (Asri, anakku yang cantik. Jangan pergi, ya? Ibu harus bagaimana agar kamu tidak pergi?)” Sang Ibu mengiba. Sebenarnya Asri tidak tega melihat air mata Ibu, tetapi tekadnya sudah bulat. Ia ingin pergi dan tak ada yang bisa menghalangi.
“Kalau keluarga ini masih teguh pada pendirian memaksakan perjodohan anaknya, mengekang kebebasan anak-anaknya, lebih baik aku lepas gelar bangsawanku. Lagipula setiap manusia dilahirkan sama. Adik-adikku, kalian dengar kata-kata Mbakmu ini. Mbakmu, bukan Siti Nurbaya.”
“Dadi ngono kowe, Asri? Luwih milih uwong sing ora ngerti unggah-ungguh iku tinimbang Tumenggung? (Jadi begitu kamu, Asri? Lebih memilih orang yang tidak mengerti aturan itu daripada Tumenggung)”
“Kenapa? Romo ragu aku tak bisa hidup mandiri tanpa sokongan keluarga ini? Aku akan buktikan aku bisa. Asri mboten badhe mbalik ngantos dalem dados tiyang enggal. (Asri tidak akan kembali sampai aku menjadi orang yang berhasil),” kata Asri mengakhiri percakapan. Dia segera menyeret kopernya. Sang ibu ingin menyusul.
“Bune! Jarne! (Bu! Biarkan!) Anak tidak tahu diuntung seperti itu lebih baik tidak perlu dipelihara. Biarkan dia pergi!” ujar Romo.
Asri tersenyum simpul. Hewan peliharaannya menoleh ke Asri, lalu menoleh ke arah lain, terutama ke adik-adik Asri yang menatap kepergian Kakak mereka. Wajah-wajah mereka diliputi kesedihan. Asri tanpa beban keluar dari rumah. Ia pun terus berjalan hingga menghilang dari pandangan keluarganya. Sang ibu pun menangis karena peristiwa itu.
Asri pergi dengan tujuan yang pasti, yaitu menuju ke tempat kekasihnya sekarang ini. Selama ini ia punya hubungan dengan seorang yang sudah menjadi pacarnya selama dua tahun. Namanya Edo Susantyo, seorang yang sudah bekerja menjadi karyawan swasta di salah satu perusahaan di kota Madiun. Hubungan keduanya tak disetujui oleh keluarga Asri.
Uang yang ada di dompet Asri cuma beberapa lembar seratus ribuan. Dia tak punya banyak. Cukuplah untuk bisa sampai di rumahnya Edo. Edo berjanji akan menampungnya, hanya itu yang ia bisa andalkan. Percaya kepada Edo.
Asri melewati pekarangan kosong. Dia menaruh kandang Damar di atas rumput, lalu membuka pintu kadangnya. Damar tampak menatapnya kebingungan, seolah-olah hewan itu paham apa yang sedang terjadi.
“Kamu pergi ya, sekarang. Aku nggak bisa lagi melihara kamu. Udah sana!” ucap Asri sambil memberi isyarat dengan tangannya seperti mengusir.
Damar berjalan dengan malas keluar dari kandang lalu menjauh. Asri hanya bisa berharap Damar bisa bertemu dengan hewan sejenisnya, atau kalau toh tidak ketemu mungkin perutnya akan kenyang dengan memakan hewan-hewan kecil lainnya. Asri melanjutkan perjalan setelah Damar menghilang di balik semak-semak.
“Sampai jumpa kawan kecil,” ucapnya.
Sebuah bus jurusan Jogja–Surabaya melintas, Asri segera melambai ke bus tersebut. Bus itu berhenti beberapa meter di depannya. Asri berlari-lari kecil sambil menyeret kopernya. Sang kernet buru-buru turun untuk membantu Asri naik ke dalam bus dengan cara ikut mengangkat koper berat tersebut. Setelah Asri sudah ada di dalam bus, barulah bus tadi melaju.
* * *
Malang, sekarangPonsel Asri berbunyi, ia terbangun. Matanya masih setengah terbuka sambil ia meraih-raih ponselnya yang ada di ranjang. Ada telepon dari nomor tak dikenal. Asri mengernyit. Dilihat jam sudah menunjukkan pukul 07.00. Dia terlambat bangun.“Halo, siapa ya?” sapa Asri.“Aku Aryanaga,” jawab suara di teleponnya.Asri terkejut. Dia menatap layar ponselnya. Dari mana cowok itu tahu nomor teleponnya. “Kok kamu tahu nomor teleponku?”“Dari aplikasi taksi online,” jawab Aryanaga. “Aku kemarin belum minta nomor teleponmu. Jadinya kebetulan aku lihat di aplikasi ada nomormu.”“Ehm... begitu,” ucap Asri sambil menggeliat.“Mau sarapan gratis?” tawar Aryanaga.“Hah? Sa
Gunung Lawu, beberapa tahun yang laluMimpi itu kembali lagi. Aryanaga berubah dengan wujud hybrid-nya. Dia berlari dengan kecepatan luar biasa menembus rimba. Dari belakang terdengar suara gemerisik dedaunan dan patahan ranting. Suara geraman dan auman terdengar jelas. Mata naganya menembus kegelapan, memancarkan cahaya yang bisa membuatnya melihat dalam kegelapan.Kabut dari atas gunung mulai turun menghalangi jarak pandang, sementara itu suara yang mengikutinya sedari tadi terasa makin dekat. Dia tak tahu Bandi ada di mana sekarang. Di saat ia sangat membutuhkan bantuan pembantunya itu, yang terjadi malah sebaliknya. Dia sendirian menghadapi para goblin yang mengejarnya.Ada sesuatu yang tiba-tiba menghantam punggungnya. Hal itu membuatnya tersungkur dan berguling-guling beberapa kali sebelum tubuhnya menghantam sebuah pohon besar. Terlihat sesosok bayangan hitam gelap d
Kota Malang, sekarangAryanaga membuka mata. Dia terjaga saat matahari masih belum sempurna. Di luar embun masih menyelimuti daerah Tidar. Tidak ada ayam berkokok, karena tempat tinggalnya jauh dari perkampungan, apalagi di sekitar tempat itu tak ada yang memelihara ayam jantan. Aryanaga menggeliat di atas kasurnya yang empuk. Ia enggan untuk segera bangun. Berkali-kali Bandi selalu menasihatinya untuk tidak bermalas-malasan, latihan tiap hari dan jangan tidur terlalu nyenyak. Namun, apa yang dilakukan oleh Aryanaga ini lebih baik daripada dirinya dulu, sebelum peristiwa yang nyaris mencelakainya di Lereng Gunung Lawu.Pemuda itu beranjak dari tempat tidur menuju ke jendela. Dari atas, ia mengintip bangunan kos yang ada di samping rumah. Dia sangat merindukan Asri, lebih dari apa yang diketahui. Dia juga terkejut bertemu dengan gadis itu di kota ini. Ia sama sekali tak pernah men
“Mau sarapan?” ajak Aryanaga.“Kalau kau mengajakku makan pagi di rumah, nggak deh.”“Kenapa?”“Nggak enak.”“Jangan begitu. Aku dan kamu sudah sama-sama kenal. Kenapa tidak enak? Anggap saja rumahku adalah rumahmu sendiri.”“Meskipun kamu bilang begitu, tetap aja rasanya aneh. Masuk rumahmu saja ada perasaan merinding gitu.”Aryanaga bisa memahaminya. Memang di rumahnya terkadang makhluk-makhluk tak kasat mata mampir atas izinnya. Mereka diperbolehkan Aryanaga dan Bandi untuk masuk ke dalam rumah asalkan tidak berbuat onar. Aryanaga bisa melihat mereka. Asri bisa merasakan keberadaan makhluk-makhluk tersebut, tetapi tak bisa melihatnya. Biasanya keturunan bangsawan sudah ada bawaan sejak dari lahir memiliki panca indera yang lebih peka daripada manusia biasa p
Yogyakarta, beberapa tahun yang lalu“Astaghfirullah! Mbak, bawa apa itu?” seru Rah Wito, adiknya Asri saat melihat kakaknya membawa kandang kecil berisi kadal besar.“Kadal. Kenapa?” tanya Asri yang baru datang dari acara naik gunung bersama pecinta alam. Dia menurunkan ransel besarnya lalu kadang kecil berisi kadal besar itu diletakkannya begitu saja di atas meja.“Mbak, geli, Mbak!” ucap Rah Wito. “Darimana dapetnya?”“Pas naik gunung kemarin nemu ini. Kok ya lulut sama aku, akhirnya aku bawa aja deh.”“Mbak nggak takut?”Asri menggeleng. “Ngapain takut? Nggak gigit kok. Aku malah seneng dia seneng banget makan kecoak.”“Ih, jijik mbak. Aku gilo ndelok e (aku geli melihatnya).”
Malang, sekarangHari Minggu ini rencananya Aryanaga ingin jalan-jalan ke Pasar Buku Wilis, untuk mencari buku-buku yang menarik baginya. Sebenarnya pemuda berambut jabrik ini tak suka membaca buku. Dia lebih suka menonton film. Namun, kebiasaan berubah setelah ia tahu Asri lebih suka dengan pria yang gemar membaca buku. Demi untuk bisa suka membaca buku, akhirnya ia berusaha mati-matian untuk tidak bosan ketika membaca satu buku. Ia menarget seratus buku berbeda dia baca selama tiga bulan lamanya. Awalnya berat. Lama kelamaan akhirnya ia berhasil juga dengan hobi barunya itu.Untuk buku-buku baru sebenarnya bisa dengan mudah didapatkan di toko-toko buku besar. Tapi untuk buku-buku lama perlu mencarinya di toko-toko buku bekas. Di Malang ada dua tempat, pertama di Pasar Buku Wilis. Kedua, ada di toko buku-buku bekas Velodrome. Kedua tempat ini sangat terkenal. Mahasiswa dan pelaj
Asri memesan pia cokelat dan secangkir americano, sedangkan Tyas memesan pisang goreng keju dan machiato. Mereka sibuk dengan akun instagram dan diskusi soal perkuliahan. Besok mereka ada tugas yang harus dikumpulkan.“Kita kurang kelompok, kamu ama aku, trus Icus. Kan butuh empat orang,” ucap Tyas.Asri menoleh ke Aryanaga, “Arya? Kamu sudah ada kelompok belum?”Aryanaga tak menjawab. Dia masih fokus membaca.“Idih, kalau sudah membaca fokus sekali,” kekeh Tyas, “idolamu tuh.”Asri menggeleng-gelengkan kepala. “Arya!” Asri lalu menyentuh bahu Arya.Arya langsung tersadar, “Eh, iya? Ada apa?”“Yee, dipanggil dari tadi nggak nyahut,” ucap Tyas sambil mengerucutkan bibirnya.“Kamu sudah ada kelompok
Aryanaga menyandarkan punggungnya di kursi. Dia memperhatikan kondisi Asri yang masih belum sadar. Ia cepat-cepat membawa Asri ke klinik dengan kekuatan naganya. Semoga saja tak ada orang yang menyadarinya. Tentunya kecepatan larinya sambil menggendong orang bukanlah kecepatan lari manusia biasa. Tyas masih belum datang. Setidaknya sudah satu jam setelah dokter menangani Asri dari masa kritisnya.Tak berapa lama kemudian pintu kamar terbuka dan Tyas terlihat masuk. Barang bawaannya cukup banyak, ada tas milik Asri dan satu tas kresek besar. Ia langsung menghampiri Aryanaga, “Bagaimana kondisinya?”“Sementara sih sudah baikan. Tinggal nunggu siuman aja,” jawab Aryanaga.Tyas mendesah lega. Dia lalu mencari kursi untuk duduk. “Syukurlah. Aku khawatir banget. Terus terang aku tak tahu kalau dia alergi kacang. Pantas saja ia tak pernah mau diajak makan pecel.”