Share

Bab 5.2 | Dua Nasib

Malang, sekarang

Ponsel Asri berbunyi, ia terbangun. Matanya masih setengah terbuka sambil ia meraih-raih ponselnya yang ada di ranjang. Ada telepon dari nomor tak dikenal. Asri mengernyit. Dilihat jam sudah menunjukkan pukul 07.00. Dia terlambat bangun.

“Halo, siapa ya?” sapa Asri.

“Aku Aryanaga,” jawab suara di teleponnya.

Asri terkejut. Dia menatap layar ponselnya. Dari mana cowok itu tahu nomor teleponnya. “Kok kamu tahu nomor teleponku?”

“Dari aplikasi taksi online,” jawab Aryanaga. “Aku kemarin belum minta nomor teleponmu. Jadinya kebetulan aku lihat di aplikasi ada nomormu.”

“Ehm... begitu,” ucap Asri sambil menggeliat.

“Mau sarapan gratis?” tawar Aryanaga.

“Hah? Sarapan gratis?”

“Bandi masak banyak hari ini, kalau kau tak keberatan masuk aja ke rumahku. Jangan sungkan-sungkan!” ajak Aryanaga.

Asri terkesiap. “Sebentar!” Dia mencari-cari tempat bedaknya, lalu ia melihat bayangannya sendiri di cermin itu. Rambutnya acak-acakan, bahkan mulutnya masih bau, karena belum gosok gigi.

“Tenang saja, aku tunggu di meja makan,” ucap Aryanaga yang seolah-olah tahu apa yang dipikirkannya.

Asri ingin menolak, tetapi perutnya keroncongan. Dia menghela napas. “Baik, aku akan ke sana.”

Buru-buru dia turun dari ranjang, setelah itu mencuci muka, menggosok gigi, menyisiri rambut, kemudian mencari baju yang tepat. Setidaknya bukan piyama berantakan, apalagi ia sekarang tak memakai daleman. Bisa-bisa ia jadi salting lagi seperti kemarin.

Setelah merasa cukup dengan penampilannya, Asri keluar dari kamarnya. Dia baru sadar kalau ternyata halaman rumah tempat kosnya ini cukup luas. Ada banyak tanaman-tanaman, mulai dari bunga, sampai pohon mangga. Beberapa tetes embun terlihat menggantung di pucuk-pucuk daun, membuat suasana tempat ini begitu asri. Asri bergegas menuju ke dalam rumah Aryanaga. Dia sedikit ragu saat membuka pintu.

“Masuk saja, tak dikunci,” ucap Bandi. Dia sedang menyirami tanaman.

“Eh, Pak Bandi,” Asri terkejut.

“Aku tadi sudah memasak banyak, kau bisa mencicipinya. Silakan komentar, baik atau buruk aku akan menerimanya,” kata Bandi sambil tersenyum.

Asri cuma nyengir saja. Ia tak perlu berlama-lama di luar, segera saja ia masuk. Pintu rumah dibuka dan betapa terkejutnya ia melihat isi rumah milik Aryanaga. Sangat mewah. Baru kali ini Asri melihat rumah semewah itu.

Sang pemilik pastinya seorang yang sangat menghargai karya seni dengan lukisan-lukisan fantasi bergambar prajurit, naga dan pemandangan. Di salah satu almari terdapat piala-piala yang berdiri kokoh memamerkan dirinya sebagai bukti kalau pemilik rumah ini punya prestasi. Satu-satunya benda elektronik yang cukup mencolok hanyalah TV LCD besar yang ada di tengah ruangan sangat kontras dengan segala benda seni artistik yang memenuhi populasi ruangan tersebut.

Berikutnya rak berisi buku-buku yang membuat mata Asri gatal untuk bisa membaca isinya. Beberapa kali ia membenarkan kacamatnya sebagai bentuk rasa keingin tahuannya terhadap jilid-jilid menarik berisi pengetahuan tersebut.

Ada tangga menuju ke lantai atas, mungkin kamar Aryanaga ada di atas. Asri kebingungan kemana ia harus melangkah, sebab ia benar-benar seperti berada di ruang pergelaran seni. Namun, tak lama baginya untuk tahu kemana tujuannya setelah melihat Aryanaga sedang berdiri di dapur menuangkan kopi ke cangkirnya.

“Mau kopi?” tanya Aryanaga.

Asri sebenarnya mulai kecanduan kopi semenjak bekerja di kantor berita. Dia awalnya tak suka, hanya saja karena terpaksa akhirnya ia pun mulai membiasakan diri. Asri mengangguk.

Aryanaga mengambil satu cangkir lagi, setelah itu menuangkan ke cangkir tersebut. Dia lalu membawa dua cangkir itu lalu meletakkannya di atas meja makan. Dia mempersilakan Asri untuk mengambilnya. Perlahan-lahan Asri mendekat ke meja makan. Dia menelan ludah melihat beberapa menu tersaji di sana. Ada berbagai macam sayuran, ada pula perkedel, tempe goreng, sayur bening, sup, ayam, semuanya dimasak oleh Bandi.

“Yuk, makan,” ajak Aryanaga, “tak perlu sungkan-sungkan. Kau boleh kok makan di meja ini sepuasnya. Tinggal bilang saja ke Bandi.”

“Meskipun dibilang boleh, tetap saja aku sungkan,” ucap Asri.

“Kenapa sungkan?”

“Kenapa kau baik kepadaku? Maksudku, kita kan baru kenal?”

Aryanaga mengangkat bahunya. “Kenapa memangnya? Tak boleh orang yang baru kenal baik?”

“Biasanya yang seperti itu lebih terkesan mencurigakan,” ujar Asri.

“Aku bisa mengerti. Kalau begitu aku akan tinggalkan kamu makan sendirian,” ucap Aryanaga sambil melangkah pergi.

“Tunggu!” cegah Asri.

Aryanaga menoleh kepadanya. “Ada apa?”

“Temani aku!” pinta Asri.

Kadang pikiran wanita emang tak masuk akal. Tadi curiga, sekarang minta ditemani. Aryanaga duduk. Asri di seberang meja, berhadapan dengan Aryanaga. Dia mengambil secangkir kopi yang tadi dibuat oleh cowok itu, kemudian menyeruput isinya. Mata Asri masih menatap Aryanaga tanpa berkedip. Ada yang menarik dari pemandangan yang ada di hadapannya, bisa jadi inilah yang membuat dia tak mau beranjak. Aryanaga memakai kaos abu-abu ketat, memperlihatkan betapa atletisnya badan cowok itu. Terlihat susunan otot-otot pemuda yang ada di depannya ini terlihat jelas. Mulai dari lengan, dada dan perut yang rata. Asri menelan ludah bersamaan dengan kopi yang masuk ke kerongongannya. Ia berharap tak mimisan pagi ini.

“Silakan ambil makanannya, aku akan temani,” kata Aryanaga.

“Terima kasih,” ucap Asri. Ia kini tak malu-malu mengambil makanannya. Sebenarnya hal ini ia lakukan agar Aryanaga tak sadar kalau dia diperhatikan olehnya selama ini. Ekor mata Asri masih mencuri-curi pandang ke arah cowok itu.

Anjir, padahal tadi malem aku mimpi ketemu Damar. Eh, malah sekarang dikasih pemadangan begini. Bisa mimisan beneran, nih. Asri bergelut dengan pikirannya sendiri.

Mereka menyantap sarapan pagi dalam diam. Harus diakui masakan Bandi sangat enak. Jarang ada pembantu lelaki bisa masak seenak ini dan Asri baru mengetahuinya. Di Jogja, Asri punya pembantu wanita paruh baya bernama Mbok Siti. Masakannya juga enak dan sudah mengabdi selama yang Asri ingat. Asri sangat malu untuk mengakui ia benar-benar kenyang. Setelah meneguk air putih, Asri mengucapkan terima kasih.

“Makasih sudah berkenan mengajakku sarapan bersama. Aku harus pergi,” ucap Asri.

“Kau tak ada kuliah pagi bukan?” tanya Aryanaga.

Asri mengangguk.

“Ingat yah, kalau kamu ingin sarapan, makan siang ataupun makan malam, tinggal bilang ke Bandi,” ucap Aryanaga.

“K-kenapa kau sebaik ini?” tanya Asri tiba-tiba. Tentu saja ia penasaran.

“Anggap saja ini fasilitas kos,” jawab Aryanaga. “Aku akan kasih kamu kos gratis kalau kau bisa mengajak siapapun untuk jadi penghuninya juga. Bagaimana?”

Asri mengernyit. Ada sesuatu yang diinginkan Aryanaga, tapi entah apa. “Aku tak bisa janji.”

“Ini penawaran yang menarik lho. Tapi kalau kamu nggak mau, tak apa-apa kok. Santai saja,” kata Aryanaga.

“Baiklah, aku mau pergi. Masih ada urusan,” ucap Asri sambil meninggalkan Aryanaga. Aryanaga hanya tersenyum melihatnya pergi meninggalkan ruangan.

* * *

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status