Malang, sekarang
Ponsel Asri berbunyi, ia terbangun. Matanya masih setengah terbuka sambil ia meraih-raih ponselnya yang ada di ranjang. Ada telepon dari nomor tak dikenal. Asri mengernyit. Dilihat jam sudah menunjukkan pukul 07.00. Dia terlambat bangun.
“Halo, siapa ya?” sapa Asri.
“Aku Aryanaga,” jawab suara di teleponnya.
Asri terkejut. Dia menatap layar ponselnya. Dari mana cowok itu tahu nomor teleponnya. “Kok kamu tahu nomor teleponku?”
“Dari aplikasi taksi online,” jawab Aryanaga. “Aku kemarin belum minta nomor teleponmu. Jadinya kebetulan aku lihat di aplikasi ada nomormu.”
“Ehm... begitu,” ucap Asri sambil menggeliat.
“Mau sarapan gratis?” tawar Aryanaga.
“Hah? Sarapan gratis?”
“Bandi masak banyak hari ini, kalau kau tak keberatan masuk aja ke rumahku. Jangan sungkan-sungkan!” ajak Aryanaga.
Asri terkesiap. “Sebentar!” Dia mencari-cari tempat bedaknya, lalu ia melihat bayangannya sendiri di cermin itu. Rambutnya acak-acakan, bahkan mulutnya masih bau, karena belum gosok gigi.
“Tenang saja, aku tunggu di meja makan,” ucap Aryanaga yang seolah-olah tahu apa yang dipikirkannya.
Asri ingin menolak, tetapi perutnya keroncongan. Dia menghela napas. “Baik, aku akan ke sana.”
Buru-buru dia turun dari ranjang, setelah itu mencuci muka, menggosok gigi, menyisiri rambut, kemudian mencari baju yang tepat. Setidaknya bukan piyama berantakan, apalagi ia sekarang tak memakai daleman. Bisa-bisa ia jadi salting lagi seperti kemarin.
Setelah merasa cukup dengan penampilannya, Asri keluar dari kamarnya. Dia baru sadar kalau ternyata halaman rumah tempat kosnya ini cukup luas. Ada banyak tanaman-tanaman, mulai dari bunga, sampai pohon mangga. Beberapa tetes embun terlihat menggantung di pucuk-pucuk daun, membuat suasana tempat ini begitu asri. Asri bergegas menuju ke dalam rumah Aryanaga. Dia sedikit ragu saat membuka pintu.
“Masuk saja, tak dikunci,” ucap Bandi. Dia sedang menyirami tanaman.
“Eh, Pak Bandi,” Asri terkejut.
“Aku tadi sudah memasak banyak, kau bisa mencicipinya. Silakan komentar, baik atau buruk aku akan menerimanya,” kata Bandi sambil tersenyum.
Asri cuma nyengir saja. Ia tak perlu berlama-lama di luar, segera saja ia masuk. Pintu rumah dibuka dan betapa terkejutnya ia melihat isi rumah milik Aryanaga. Sangat mewah. Baru kali ini Asri melihat rumah semewah itu.
Sang pemilik pastinya seorang yang sangat menghargai karya seni dengan lukisan-lukisan fantasi bergambar prajurit, naga dan pemandangan. Di salah satu almari terdapat piala-piala yang berdiri kokoh memamerkan dirinya sebagai bukti kalau pemilik rumah ini punya prestasi. Satu-satunya benda elektronik yang cukup mencolok hanyalah TV LCD besar yang ada di tengah ruangan sangat kontras dengan segala benda seni artistik yang memenuhi populasi ruangan tersebut.
Berikutnya rak berisi buku-buku yang membuat mata Asri gatal untuk bisa membaca isinya. Beberapa kali ia membenarkan kacamatnya sebagai bentuk rasa keingin tahuannya terhadap jilid-jilid menarik berisi pengetahuan tersebut.
Ada tangga menuju ke lantai atas, mungkin kamar Aryanaga ada di atas. Asri kebingungan kemana ia harus melangkah, sebab ia benar-benar seperti berada di ruang pergelaran seni. Namun, tak lama baginya untuk tahu kemana tujuannya setelah melihat Aryanaga sedang berdiri di dapur menuangkan kopi ke cangkirnya.
“Mau kopi?” tanya Aryanaga.
Asri sebenarnya mulai kecanduan kopi semenjak bekerja di kantor berita. Dia awalnya tak suka, hanya saja karena terpaksa akhirnya ia pun mulai membiasakan diri. Asri mengangguk.
Aryanaga mengambil satu cangkir lagi, setelah itu menuangkan ke cangkir tersebut. Dia lalu membawa dua cangkir itu lalu meletakkannya di atas meja makan. Dia mempersilakan Asri untuk mengambilnya. Perlahan-lahan Asri mendekat ke meja makan. Dia menelan ludah melihat beberapa menu tersaji di sana. Ada berbagai macam sayuran, ada pula perkedel, tempe goreng, sayur bening, sup, ayam, semuanya dimasak oleh Bandi.
“Yuk, makan,” ajak Aryanaga, “tak perlu sungkan-sungkan. Kau boleh kok makan di meja ini sepuasnya. Tinggal bilang saja ke Bandi.”
“Meskipun dibilang boleh, tetap saja aku sungkan,” ucap Asri.
“Kenapa sungkan?”
“Kenapa kau baik kepadaku? Maksudku, kita kan baru kenal?”
Aryanaga mengangkat bahunya. “Kenapa memangnya? Tak boleh orang yang baru kenal baik?”
“Biasanya yang seperti itu lebih terkesan mencurigakan,” ujar Asri.
“Aku bisa mengerti. Kalau begitu aku akan tinggalkan kamu makan sendirian,” ucap Aryanaga sambil melangkah pergi.
“Tunggu!” cegah Asri.
Aryanaga menoleh kepadanya. “Ada apa?”
“Temani aku!” pinta Asri.
Kadang pikiran wanita emang tak masuk akal. Tadi curiga, sekarang minta ditemani. Aryanaga duduk. Asri di seberang meja, berhadapan dengan Aryanaga. Dia mengambil secangkir kopi yang tadi dibuat oleh cowok itu, kemudian menyeruput isinya. Mata Asri masih menatap Aryanaga tanpa berkedip. Ada yang menarik dari pemandangan yang ada di hadapannya, bisa jadi inilah yang membuat dia tak mau beranjak. Aryanaga memakai kaos abu-abu ketat, memperlihatkan betapa atletisnya badan cowok itu. Terlihat susunan otot-otot pemuda yang ada di depannya ini terlihat jelas. Mulai dari lengan, dada dan perut yang rata. Asri menelan ludah bersamaan dengan kopi yang masuk ke kerongongannya. Ia berharap tak mimisan pagi ini.
“Silakan ambil makanannya, aku akan temani,” kata Aryanaga.
“Terima kasih,” ucap Asri. Ia kini tak malu-malu mengambil makanannya. Sebenarnya hal ini ia lakukan agar Aryanaga tak sadar kalau dia diperhatikan olehnya selama ini. Ekor mata Asri masih mencuri-curi pandang ke arah cowok itu.
Anjir, padahal tadi malem aku mimpi ketemu Damar. Eh, malah sekarang dikasih pemadangan begini. Bisa mimisan beneran, nih. Asri bergelut dengan pikirannya sendiri.
Mereka menyantap sarapan pagi dalam diam. Harus diakui masakan Bandi sangat enak. Jarang ada pembantu lelaki bisa masak seenak ini dan Asri baru mengetahuinya. Di Jogja, Asri punya pembantu wanita paruh baya bernama Mbok Siti. Masakannya juga enak dan sudah mengabdi selama yang Asri ingat. Asri sangat malu untuk mengakui ia benar-benar kenyang. Setelah meneguk air putih, Asri mengucapkan terima kasih.
“Makasih sudah berkenan mengajakku sarapan bersama. Aku harus pergi,” ucap Asri.
“Kau tak ada kuliah pagi bukan?” tanya Aryanaga.
Asri mengangguk.
“Ingat yah, kalau kamu ingin sarapan, makan siang ataupun makan malam, tinggal bilang ke Bandi,” ucap Aryanaga.
“K-kenapa kau sebaik ini?” tanya Asri tiba-tiba. Tentu saja ia penasaran.
“Anggap saja ini fasilitas kos,” jawab Aryanaga. “Aku akan kasih kamu kos gratis kalau kau bisa mengajak siapapun untuk jadi penghuninya juga. Bagaimana?”
Asri mengernyit. Ada sesuatu yang diinginkan Aryanaga, tapi entah apa. “Aku tak bisa janji.”
“Ini penawaran yang menarik lho. Tapi kalau kamu nggak mau, tak apa-apa kok. Santai saja,” kata Aryanaga.
“Baiklah, aku mau pergi. Masih ada urusan,” ucap Asri sambil meninggalkan Aryanaga. Aryanaga hanya tersenyum melihatnya pergi meninggalkan ruangan.
* * *
Gunung Lawu, beberapa tahun yang laluMimpi itu kembali lagi. Aryanaga berubah dengan wujud hybrid-nya. Dia berlari dengan kecepatan luar biasa menembus rimba. Dari belakang terdengar suara gemerisik dedaunan dan patahan ranting. Suara geraman dan auman terdengar jelas. Mata naganya menembus kegelapan, memancarkan cahaya yang bisa membuatnya melihat dalam kegelapan.Kabut dari atas gunung mulai turun menghalangi jarak pandang, sementara itu suara yang mengikutinya sedari tadi terasa makin dekat. Dia tak tahu Bandi ada di mana sekarang. Di saat ia sangat membutuhkan bantuan pembantunya itu, yang terjadi malah sebaliknya. Dia sendirian menghadapi para goblin yang mengejarnya.Ada sesuatu yang tiba-tiba menghantam punggungnya. Hal itu membuatnya tersungkur dan berguling-guling beberapa kali sebelum tubuhnya menghantam sebuah pohon besar. Terlihat sesosok bayangan hitam gelap d
Kota Malang, sekarangAryanaga membuka mata. Dia terjaga saat matahari masih belum sempurna. Di luar embun masih menyelimuti daerah Tidar. Tidak ada ayam berkokok, karena tempat tinggalnya jauh dari perkampungan, apalagi di sekitar tempat itu tak ada yang memelihara ayam jantan. Aryanaga menggeliat di atas kasurnya yang empuk. Ia enggan untuk segera bangun. Berkali-kali Bandi selalu menasihatinya untuk tidak bermalas-malasan, latihan tiap hari dan jangan tidur terlalu nyenyak. Namun, apa yang dilakukan oleh Aryanaga ini lebih baik daripada dirinya dulu, sebelum peristiwa yang nyaris mencelakainya di Lereng Gunung Lawu.Pemuda itu beranjak dari tempat tidur menuju ke jendela. Dari atas, ia mengintip bangunan kos yang ada di samping rumah. Dia sangat merindukan Asri, lebih dari apa yang diketahui. Dia juga terkejut bertemu dengan gadis itu di kota ini. Ia sama sekali tak pernah men
“Mau sarapan?” ajak Aryanaga.“Kalau kau mengajakku makan pagi di rumah, nggak deh.”“Kenapa?”“Nggak enak.”“Jangan begitu. Aku dan kamu sudah sama-sama kenal. Kenapa tidak enak? Anggap saja rumahku adalah rumahmu sendiri.”“Meskipun kamu bilang begitu, tetap aja rasanya aneh. Masuk rumahmu saja ada perasaan merinding gitu.”Aryanaga bisa memahaminya. Memang di rumahnya terkadang makhluk-makhluk tak kasat mata mampir atas izinnya. Mereka diperbolehkan Aryanaga dan Bandi untuk masuk ke dalam rumah asalkan tidak berbuat onar. Aryanaga bisa melihat mereka. Asri bisa merasakan keberadaan makhluk-makhluk tersebut, tetapi tak bisa melihatnya. Biasanya keturunan bangsawan sudah ada bawaan sejak dari lahir memiliki panca indera yang lebih peka daripada manusia biasa p
Yogyakarta, beberapa tahun yang lalu“Astaghfirullah! Mbak, bawa apa itu?” seru Rah Wito, adiknya Asri saat melihat kakaknya membawa kandang kecil berisi kadal besar.“Kadal. Kenapa?” tanya Asri yang baru datang dari acara naik gunung bersama pecinta alam. Dia menurunkan ransel besarnya lalu kadang kecil berisi kadal besar itu diletakkannya begitu saja di atas meja.“Mbak, geli, Mbak!” ucap Rah Wito. “Darimana dapetnya?”“Pas naik gunung kemarin nemu ini. Kok ya lulut sama aku, akhirnya aku bawa aja deh.”“Mbak nggak takut?”Asri menggeleng. “Ngapain takut? Nggak gigit kok. Aku malah seneng dia seneng banget makan kecoak.”“Ih, jijik mbak. Aku gilo ndelok e (aku geli melihatnya).”
Malang, sekarangHari Minggu ini rencananya Aryanaga ingin jalan-jalan ke Pasar Buku Wilis, untuk mencari buku-buku yang menarik baginya. Sebenarnya pemuda berambut jabrik ini tak suka membaca buku. Dia lebih suka menonton film. Namun, kebiasaan berubah setelah ia tahu Asri lebih suka dengan pria yang gemar membaca buku. Demi untuk bisa suka membaca buku, akhirnya ia berusaha mati-matian untuk tidak bosan ketika membaca satu buku. Ia menarget seratus buku berbeda dia baca selama tiga bulan lamanya. Awalnya berat. Lama kelamaan akhirnya ia berhasil juga dengan hobi barunya itu.Untuk buku-buku baru sebenarnya bisa dengan mudah didapatkan di toko-toko buku besar. Tapi untuk buku-buku lama perlu mencarinya di toko-toko buku bekas. Di Malang ada dua tempat, pertama di Pasar Buku Wilis. Kedua, ada di toko buku-buku bekas Velodrome. Kedua tempat ini sangat terkenal. Mahasiswa dan pelaj
Asri memesan pia cokelat dan secangkir americano, sedangkan Tyas memesan pisang goreng keju dan machiato. Mereka sibuk dengan akun instagram dan diskusi soal perkuliahan. Besok mereka ada tugas yang harus dikumpulkan.“Kita kurang kelompok, kamu ama aku, trus Icus. Kan butuh empat orang,” ucap Tyas.Asri menoleh ke Aryanaga, “Arya? Kamu sudah ada kelompok belum?”Aryanaga tak menjawab. Dia masih fokus membaca.“Idih, kalau sudah membaca fokus sekali,” kekeh Tyas, “idolamu tuh.”Asri menggeleng-gelengkan kepala. “Arya!” Asri lalu menyentuh bahu Arya.Arya langsung tersadar, “Eh, iya? Ada apa?”“Yee, dipanggil dari tadi nggak nyahut,” ucap Tyas sambil mengerucutkan bibirnya.“Kamu sudah ada kelompok
Aryanaga menyandarkan punggungnya di kursi. Dia memperhatikan kondisi Asri yang masih belum sadar. Ia cepat-cepat membawa Asri ke klinik dengan kekuatan naganya. Semoga saja tak ada orang yang menyadarinya. Tentunya kecepatan larinya sambil menggendong orang bukanlah kecepatan lari manusia biasa. Tyas masih belum datang. Setidaknya sudah satu jam setelah dokter menangani Asri dari masa kritisnya.Tak berapa lama kemudian pintu kamar terbuka dan Tyas terlihat masuk. Barang bawaannya cukup banyak, ada tas milik Asri dan satu tas kresek besar. Ia langsung menghampiri Aryanaga, “Bagaimana kondisinya?”“Sementara sih sudah baikan. Tinggal nunggu siuman aja,” jawab Aryanaga.Tyas mendesah lega. Dia lalu mencari kursi untuk duduk. “Syukurlah. Aku khawatir banget. Terus terang aku tak tahu kalau dia alergi kacang. Pantas saja ia tak pernah mau diajak makan pecel.”
Asri terbangun, melihat Tyas di sisinya. Tyas sangat bahagia melihat sahabatnya sudah siuman. Tyas terus menceritakan semua kejadian yang menimpanya dan juga fakta kalau dia baru tahu Asri alergi terhadap kacang. Dia memarahi Asri karena sahabatnya itu tak menceritakan kalau dia selama ini alergi kacang.“Maaf, ya. Merepotkanmu,” ucap Asri. Matanya masih menatap kosong. Ia teringat bagaimana Aryanaga bertindak. Misteri besarnya, kenapa cowok itu tahu tentang alerginya. Hanya dia dan keluarganya saja yang tahu tentang permasalahan itu. Siapa sebenarnya Aryanaga sampai tahu tentang kehidupannya?Dokter yang menangani Asri masuk. Dia seorang wanita dengan senyuman yang ramah. “Mbak Asri, sudah baikan? Lupa tidak bawa obat anti alerginya ya?”“Bukan lupa sih, Dok. Memang sengaja tidak membawa,” jawab Asri.