Hari pernikahan itu tinggal hitungan jari, tentu seluruh anggota keluarga mulai sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk hari sakral itu, tak terkecuali sang calon mempelai wanita.Evelyn berada di dalam kamar seorang diri, sedang menata baju-bajunya untuk ia masukkan ke dalam koper besar. Ia memang akan segera pindah dari rumah Arjuna setelah ia resmi menikah nanti, untuk tinggal bersama sang suami.Namun, gerakan tangan berjari lentik itu terhenti saat ketukan di pintunya menyapa telinga. Tanpa perlu beranjak dari tempatnya, ia berucap cukup lantang pada seseorang di balik pintu kamarnya. "Masuk."Daun pintu terbuka. Adalah Karenina yang berdiri di baliknya. Wanita yang tengah berbadan dua itu tersenyum ke arahnya. "Eve, apa aku mengganggumu?""Tidak sama sekali, Kak." Evelyn membalas senyum itu. "Ada apa?""Tidak apa-apa, aku hanya sedang merasa kesepian. Paman dan Bibi melarangku membantu mereka." Karenina menjawabnya sambil memutus ruang kemudian duduk di sisi Evelyn, di tepian r
Sebuah kantong plastik kecil berwarna putih ia genggam erat di atas pangkuan, sedangkan tatapannya kosong ke sisi kaca. Ia sedang dalam perjalanan pulang dengan menaiki taksi sekarang, meninggalkan si pria diam-diam. Evelyn sengaja pergi sebelum Damian terjaga dari mimpi. Ia tidak bisa tidur semalaman, berbanding terbalik dengan si pria yang begitu nyenyak dibuai impian. Tubuhnya terasa begitu pegal, lengkap dengan mata membengkak sebab tangisan. Ia meratapi kebodohannya dalam diam. Ia merasa tak memiliki harga diri sekarang. Bagaimana mungkin dirinya dengan begitu mudah menyerahkan diri pada pria itu?! Apakah karena dirinya masih memendam cinta yang begitu besar? Sebelum perjalanan pulang, ia telah menyempatkan diri mampir ke apotek terdekat untuk membeli after sex pills. Ya, tentu saja dirinya tidak ingin jika kegiatan intim mereka semalam kembali membuahkan kehamilan. Terlebih Evelyn akan dipersunting oleh Aksa Wijaya keesokan harinya. 'Kumohon batalkan pernikahanmu, Eve. S
Hari pernikahan itu pada akhirnya tiba. Hari yang paling tidak diinginkan oleh Damian Alexander. Pria berdarah Jerman itu telah terlihat tampan dan rapi sekarang, mengenakan sebuah Vest warna cream yang membalut kemeja putih berlengan pendek pas badan lengkap dengan celana bahan hitam; seragam Groomsmen yang diberikan oleh si pengantin pria. Rambut pirang yang ter-pomade membuat penampilannya kian sempurna, berbanding terbalik dengan ekspresi wajahnya.Dengan kedua tangan terselip di saku celana, pria bertubuh tegap itu mengayunkan langkah menuju sebuah ruangan di mana si pengantin pria berada. Damian akan menemui Aksa terlebih dahulu untuk memberikan sepatah-dua patah kata, sebelum ... melancarkan rencananya.Ya, pria itu memang memiliki tujuan lain selain menjadi Groomsmen di acara pernikahan wanita yang ia cintai. Meski beresiko sangat besar, namun ia tak akan mampu jika hanya berpangku tangan melihat si pemilik hati dimiliki pria lain di depan mata kepalanya sendiri. Sampai di ru
Rasa berdenyut di kepala adalah sesuatu yang perlahan membuat kedua mata indah wanita itu membuka. Evelyn terbangun dengan keadaan pusing dan bingung. Ketika tangannya akan bergerak naik untuk mengurut dahi, sesuatu menahan gerakannya. Ah, Evelyn baru sadar jika kedua tangannya terikat oleh seutas tali yang terhubung pada dua tiang penyangga kelambu. Dengan posisi terlentang di atas ranjang, ia menoleh ke kanan dan kiri. Ternyata ia berada di ruangan asing, sebuah kamar mewah bercat cream. Secara refleks ia bergerak gusar dan panik, ingin melepaskan diri.Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa ia bisa berada di sini?"Akhirnya kau bangun juga. Bagaimana tidurmu? Apakah nyenyak?" Ketika sosok si pria berambut pirang muncul dari pintu kamar, pun menyapanya dengan senyuman, ingatan wanita itu kembali seutuhnya. Damian, pria itu telah menculik dirinya di hari pernikahannya!"Kau gila!" Evelyn menyalak ketika mereka bertemu tatap. Gaun pengantin yang semula membungkus tubuhnya, kini telah b
Mobil berwarna silver itu melaju di tengah fajar yang masih kelam. Aksa ada di dalamnya, di balik kemudi, sedang berkendara dengan tak fokus akibat dari begitu banyaknya alkohol yang ia tenggak semalam. Kemeja serta rambut yang acak-acakan dengan bau alkohol yang menyengat melengkapi betapa kacaunya si pria. Sembari mengemudi, salah satu tangannya memegang ponsel, pun fokusnya terbagi ke sana. Ia kembali mencoba menelepon Evelyn, menempelkan alat komunikasi itu di salah satu daun telinga. Satu detik, dua detik, hingga lipatan detik berlalu, namun tak ada jawaban apa pun dari seberang telepon. Lagi-lagi yang ia dapatkan hanya kecewa, nomor wanita itu tak pernah aktif lagi setelah menghilang."Sialan!" umpatan itu teralun secara spontan dengan penuh emosi nan putus asa. Akibatnya, ia tidak menyadari jika ada belokan tajam di depan sana. Ban berdecit dan Aksa refleks membanting setir ke kanan. Ah, hampir saja pria itu terjun bebas ke dalam jurang di sisi jalan. Maka, ia memilih menepik
"Dan pada akhirnya Sang Putri bersama Pangeran pun hidup bahagia selamanya. Tamat. Sekarang Luna bobo, ya?" permintaan itu teralun dari mulut Evelyn Adhitama seiring ia menutup buku dongeng Cinderella di pangkuannya. Pandangan menenangkan penuh kasih itu berpindah pada paras menggemaskan gadis kecil yang berbaring di sisinya."Tapi, Luna belum ngantuk, Kak." Balita berusia 5 tahun itu menggeleng kecil seraya menatap polos pada kedua mata Evelyn.Meskipun ucapan balita cantik bermata biru itu terdengar seperti kalimat penolakan biasa, namun hal tersebut nyatanya berhasil membuat senyuman wanita itu berubah pedih. Selalu saja begitu setiap kali Luna memanggilnya 'Kakak', karena faktanya Luna adalah anak kandungnya, janin yang selama kurang lebih 9 bulan lamanya telah bersemayam di rahimnya.Tanpa terasa sudah 5 tahun berlalu setelah ia melahirkan, melewati lembah kematian seorang diri di atas meja operasi tanpa pasangan. Dan kini, bayi kecilnya sudah semakin besar. Selama itu pula ia me
"Mama serius, besok kita semua akan pergi berlibur?" setelah menutup pintu kamar Luna, Evelyn bertanya pada sang ibunda. Di benaknya penuh tanda tanya, sebab Arini belum pernah membicarakan perihal liburan sebelumnya."Kau lupa? Besok hari pernikahan Juna, Sayang. Sepupumu yang di Jakarta itu." Arini menelengkan kepala, menjawab seraya melangkah beriringan bersama putrinya menuju kamarnya di lorong paling ujung. Kamar di rumah mereka memang saling bersebelahan dan berurutan."Oh, astaga!" Evelyn menepuk jidatnya saat mengingat tentang hal yang ibunya katakan, namun senyumannya mengurva lebar. "Jadi, Kak Juna benar akan menikah besok?!""Begitulah. Kau tampak sering melamun akhir-akhir ini. Memikirkan apa, hm?" Arini berdiri di depan pintu kamarnya. Urung membuka pintu, ia justru tampak bersedekap menatap sang putri.Evelyn tersentak mendengar pertanyaan Arini. Ternyata ibunya begitu peka terhadapnya, tetapi untuk jujur pun terlalu sukar bagi wanita itu. "... tidak ada." Pada akhirnya
Sepotong baju yang terlipat rapi sekali lagi masuk ke dalam koper pink milik Luna. Itu adalah baju-baju yang akan si gadis kecil kenakan selama mereka di Jakarta. Memang tidak banyak, sebab mereka memang berencana untuk segera kembali ke Surabaya setelah acara pesta pernikahan telah selesai.Terkecuali Evelyn.Ya, wanita itu memang akan tinggal di ibu kota dalam waktu yang cukup lama. Ia ingin melanjutkan kuliah di kampus impiannya di sana, tentu saja sekaligus untuk mencari pengalaman kerja. Selama tinggal di Surabaya ia merasa begitu terkekang, kedua orang tuanya terlalu over protektif padanya, selalu saja melarangnya untuk lebih mengenal dunia luar. Dan kini Evelyn ingin keluar dari zona nyamannya selama ini. Biar bagaimanapun, ia ingin bekerja dan bisa hidup mandiri."Nah, sudah siap. Sekarang Luna bisa beristirahat sebentar sebelum mandi. Masih merasa dingin, bukan?" Evelyn berucap seraya menarik risleting koper Luna, sedangkan atensinya telah tercurah penuh pada wajah menggemas