Share

Putriku Kelaparan di Rumah Mewah Suaminya
Putriku Kelaparan di Rumah Mewah Suaminya
Penulis: Intan Resa

Kenyataan yang Menyakiti Seorang Ibu

Niat hati memberikan kejutan, tapi akulah yang harus terkejut setengah mati saat melihat kondisi putriku yang mengenaskan di rumah mewah suaminya.

 

Sejak Alina menikah, terhitung aku datang ke rumah suaminya. Lima bulan lalu, Alina mengabarkan kalau cucu pertamaku sudah lahir. Tapi sayangnya aku tak bisa langsung menjenguk, meskipun rasa rindu itu begitu menyiksa. Sesekali kami bertukar kabar melalui telpon. Itupun tak bisa lama karena aku harus membantu mengurus anak dari Raka dan menantuku, Sri. Cucu yang kunantikan sejak tiga tahun terpaksa lahir prematur karea suatu hal. Untung saja menantu dan cucuku selamat dan kini sudah sehat. Namun, tiga bulan terakhir, aku tak pernah menelpon lagi dengan Alina. Apa dia marah karena aku tak langsung menjenguknya?

 

Setelah perjalanan sekitar 12 jam, aku turun tepat di depan rumah menantuku yang mewah. Aku memencet bel yang terletak di sisi pagar. Lumayan lama hingga seseorang datang membukakan pintu. Seorang perempuan cantik, montok dan mengenakan pakaian yang ngepas di badannya. Mata tuaku merasa risih melihat penampilannya.

 

“Cari siapa, ya?” tanyanya, menatapku dari atas sampai bawah.

 

Aku jadi ragu, apakah Delon dan Alina sudah pindah dari rumah ini?

 

“Apa benar ini rumah Delon?”

 

“Iya, ini rumah Mas Delon. Ibu ini siapa, ya?”

 

Mas? Dia memanggil menantuku dengan sebutan mas? Setahuku Delon anak tunggal dan dia tak punya adik perempuan. Lalu siapa perempuan ini?

 

“Delonnya ada? Saya ini bibinya dari kampung.”

 

Terpaksa berbohong karena aku melihat gelagat tidak beres. Jika langsung jujur, aku takut kalau dia langsung mengusirku.

 

“Oh, Mas Delon gak pernah cerita kalau dia punya bibi. Mari masuk, Bi,” ujarnya ramah. Sedikit lebih lembut dari pertama kali dia melihatku tadi.

 

Perempuan berkulit putih itu membantu mebawa tas pakaianku. Sementara aku membawa beberapa dodol dan salak, penganan khas yang kubeli di Palsabolas. Aku memasuki rumah bercat putih itu dengan perasan tak menentu. Semua begitu hening, padahal ini sudah pukul 8 pagi. Apa putriku belum bangun jam segini?

 

“Silakan duduk, Bi. Aku panggilkan Mas Delon dulu.”

 

Aku mremas tangan dengan kuat saat melihat perempuan berlipstik merah menyala itu masuk ke kamar utama sambil memanggil nama menantuku. Bagaiman bisa dia masuk sembarangan ke kamar anak dan menantuku? Tidak sopan sekali.

 

Aku membalikkan badan, membelakangi arah pintu kamar itu. Menarik napas panjang dan membuanganya dengan kasar. Perasaanku mulai tak enak.

 

“Bibi siapa sih, Yang? Aku gak punya bibi deh. Kamu ini jangan sembarangan ngajak orang masuk. Bisa saja kan, komplotan perampok yang mau lihat-lihat suasana rumah ini.”

 

Aku meneguk ludah mendengar suara menantuku. Kubalikkan badan dan menatap tajam lelaki berusia 25 tahun itu, wajahnya langsung tegang.

 

“I-ibu.”

 

Suaranya tercekat, melepaskan tangan perempuan berambut sebahu yang bergelayut di lengannya.

 

“Kok ibu sih, Mas? Dia itu siapa sih?”

 

“Diam kamu, Maya. Sana ke belakang!” desis Delon. Dia langsung menghampiriku dan hendak meraih tangan ini, tapi kuabaikan.

 

“Dimana Alina?” sergahku.

 

“Di-dia.”

 

Ah, kenapa menantuku kaku seperti ini? Aku jadi semakin curiga kalau dia menyembunyikan sesuatu. Aku beranjak ke kamar dimana Delon tadi berada, tapi tidak ada putriku.

 

“I-Ibu, Alina tidak ada di sini.”

 

“Lalu dimana dia?”

 

“Alina mengkhianatiku, Bu. Setelah anak kami lahir, dia pergi dengan selingkuhannya. Dia belum siap punya anak.”

 

Omong kosong. Jelas-jelas Alina senang saat mengatakan anaknya lahir.

 

“Jangan bohong kamu! Putriku tak mungkin seperti itu.”

 

“Tapi itulah kenyataannya, Bu.”

 

“Lalu kenapa kamu tak cerita kalau Alina tak tinggal di rumah ini lagi, hah?” Aku meninggikan suara mendengar jawaban menantuku yang ikut melukai perasaan ini.

 

“A-aku hanya ingin menjaga perasan Ibu.”

 

Aku menggelengkan kepala, tidak percaya sama sekali dengan kata-kata menantuku, apalagi melihat perempuan tadi bergelayut manja di lengannya. Aku berjalan cepat ke kamar utama, tapi tidak ada orang. Kamar sebelah juga tidak ada, hanya ada cucuku di sana yang sedang tertidur pulas. Aku berkeliling lagi dan mencari Alina ke seluruh sudut rumah yang luas ini.”

 

“Tidak ada dia di sini, Bu.” Delon mencegahku saat mau membuka kamar dekat dapur. Biasanya itu kamar pembantu rumah tangga mereka.

 

“Kalau memang tidak ada dan semua ucapanmu benar, jangan menghalangi Ibu,” bentakku. Kuputar kunci dan menekan gagang pintu. Begitu terbuka, aroma tak sedap langsung menyeruak.

 

Aku menghidupkan senter ponsel dan mencari saklar lampu kamar itu. Cahaya lampu remang-remang, tapi aku bisa melihat kondisi kamar yang mirip sarang tikus. Banyak sampah dimana-mana, tapi tak terlihat Alina.

 

“Alina! kamu dimana, Nak!” seruku. Ah, aku tak berharap kalau dia ada di kamar ini. Tapi dimana kamu, Nak?

 

“Sudah kubilang, dia tidak ada di sini, Bu. Ayolah ke depan. Kamar ini belum sempat dibersihkan.” Delon menyentuh punggungku dan sedikit mendorong.

 

Tapi kenapa kamar itu bisa kotor sekali? Pasti ada yang tak beres. Tapi apa?

 

“Buuu ...!”

 

Suara lemah seorang perempuan membuatku menahan langkah. Aku kembali masuk kamar dan mencari sudut ruangan dan sendi-sendiku langsung lemas melihat seorang perempuan duduk bersandar di belakang pintu. Pantas saja aku tak melihatnya tadi. Rambut perempuan berbadan kurus kerempeng itu acak-acakan, tapi aku masih bisa mengenalinya. Dia pernah menghuni rahimku selama kurang lebih 9 bulan.

 

“Alina, Sayang. Kenapa kamu bisa begini, Nak?” Aku meraung-raung disertai bulir mata yang meluncur bebas. Kukira akan memberikan Alina kejutan, tapi akulah yang terkejut melihat kondisinya yang miris.

 

“A-ku la-par, Bu.”

 

Suaranay terbata-bata, seperti tak punya tenaga. Aku mengusap wajah dengan kasar, memapah putriku dengan sekuat tenaga. Kakinya yang kurus seolah tak punya tenaga untuk berdiri.

 

Aku tak meminta bantuan Delon yang kelihatan pucat. Meskipun aku tak muda lagi, tapi karena tubuh Alina sangat kurus, aku berhasil membawanya keluar dari kamar pengap itu. Kuambil air dari dapur, mencuci wajahnya saja, lalu memberikan minum. Dengan tergesa membuka mengambil kue bolu yang kubuat tadi malam, menyuapkannya ke mulut putriku yang bergetar.

 

Darahku mendidih. Siapa pun yang membuat putriku seperti ini, dia akan mendapat balasannya.

 

 

 

 

 

 

Komen (3)
goodnovel comment avatar
nurdianis
ada yang ndak beres ni
goodnovel comment avatar
Mhd
Hi yang cantik
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Hallo author ijin baca ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status