Balik lagi pov Ibu. -_- Semangat membaca -_-Entah apa yang terjadi dengan dokter Rian, setelah bicaranya yang ngelantur siang itu, dia tak mau lagi berbicara lama-lama denganku. Hanya seperlunya saja. Tapi dia tetap rutin memeriksa keadaan Alina. Aku yang merasa terkesan dihindari jadi segan mau mengajaknya bicara duluan. Aku yakin dia hanya bercanda, tapi kenapa dokter Rian jadi kelihatan canggung pada wanita tua ini?Ah, mungkin perasaanku saja kalau dokter muda itu sedang berusaha menghindar dariku. Tak mungkin juga dia ada niatan ijab qobul denganku. Astagfirulloh. Pikiran apa ini? Tak mungkinlah kalau sampai dokter Rian suka pada nenek tua yang masih bersuami ini. Gak selevel dan tak pantas untuk dibayangkan. Aku memukul-mukul pelan keningku agar bisa diajak bepikir jernih.Tadi malam, Raka yang menemani adiknya di rumah sakit dan sekarang gantian suamiku pergi ke rumah sakit untuk menjaga Alina dan Cici yang ada jadwal pemeriksaan kesehatan juga. Hanya ada aku dan putraku di si
Aku meninggalkan Raka di kosan dan berjalan menuju rumah sakit. Biarlah dia video call dengan keluarga kecilnya tanpa harus malu padaku. Namanya mereka masih mudah, lagi romantis-romantisnya. Sejak Delon mengatakan kalau alasannnya menyakiti putriku karena kecewa takl bisa bersatiu dengan Sri, putraku tetap bersikap biasa. Tidak uring-uringan sama sekali. Apa Raka memang tak ingin bahas tentang itu? Atau dia menunggu momen yang tepat setelah kemi pulang? Entahlah. Yang jelas aku bikut bahagia jika mereka masih akur.“Bu, akhirnya kamu datang juga.”Aku menautkan alis melihat suamiku berdiri di bawah pohon jambu air dekat gapura selamat datang ke rumah sakit ini. Sepertinya menungguku, padahal belum sampai satu jam duluan ke sini“Apa ada masalah dengan Alina atau bayinya, Pak?” pikiranku langsung ke sana.Bapak dari anak-anakku itu menggeleng dan menarik tanganku agar mendekat. Berteduh di bawah pohon yang sedang berbuah itu.“Bapak lihat kalau ada orang yang mirip papanya Delon kelu
“Kenapa wajahnya kelihatan sedih, Pak, Bu? Adek bayi juga kenapa digendong lagi tidur begini?”Aku menghapus sudut mata yang menghangat, berusaha menghilangkan jejak kesedihan di sana. Tersenyum tipis menatap dokter Rian yang berdiri di depan kami. Saking sibuknya pikiran berkelana, aku tak sadar kalau sudah ada lelaki tinggi putih itu di sini. Aku yakin dia mau menyapa duluan karena ada suamiku juga di sini. “Gini Nak Dokter, ....”Suamiku menjelaskan apa yang terjadi di dalam tadi. Dokter Rian terlihat serius mendengarkanya, lalu tersenyum dan meminta bayi dalam pangkuan suamiku.“Saya kira kamu akan jadi penyemangat buat ibumu, tapi rupanya yang terjadi adalah sebaliknya. Maaf kalau kamu harus terpisah dulu dengan ibumu, ya, Adek manis?” Dokter Rian bicara sambil becandain cucuku. Bayi itu menggerak-gerakkan tangannya sambil mengoceh, seolah mengerti kalau ada orang yang mengajaknya mengobrol. Coba saja Delon sebaik Rian, maka tak mungkin putriku menderita hingga hampir dijemput
Adakah di dunia ini saudara yang bisa diam saja jika adik perempuannya dikhianati serta disiksa dengan sadis? Delon, lelaki bermoral minus itu dengan sengaja membuat adikku agar meninggal perlahan, menikmati rasa sakit yang terus menggerogoti badan hingga dia tak bisa menegakkan punggungnya sendiri.Dan lebih bikin naik darah, adikku tak melakukan kesalahan apa-apa dan Delon melakukan itu untuk balas dendam padaku. Pecundang sekali. Aku yakin, dia tak mengarang cerita kalau alasannya karena cinta bertepuk sebelah tangan pada istriku, mengingat Sri pernah kuliah di kota ini. Jika tujuannya agar aku ikut sakit hati melihat kondisi Alina, ya, dia telah berhasil melakukannya.Tapi jika Sri memilih menerima cintaku, apa aku harus memaklumi alasannya? Tidak akan bisa. Sampai kapan pun tak akan bisa. Adikku yang tak tahu apa-apa harus menanggung akibat dari dendam suaminya.Aku sewa motor untuk untuk memudahkan mau kemana-mana. Rian menawarkan agar aku memakai mobilnya, tapi kutolak. Dia lebi
“Astaga, motorku ketinggalan dan hapeku juga gak ada.”Aku menepuk dahi setelah sadar tidak ada ponselku di kantong, sedangkan dompet dan isinya aman. Aku tadi ke sana naik motor dan pulang malah naiuk mobil Rian. Pastinya harus ganti rugi jika sampai hilang. Aku gak bisa menjamin kalau motor itu tetap aman di halaman rumah Delon sampai besok pagi. “Haduh, Raka. Udah hampir modar, kamu masih sempat mikirin motor. Kalaupun mereka jual, gak apa-apalah ganti rugi ke tempat penyewaan motor. Berapalah itu? Kamu kan sudah pegang uang Delon. Yang penting sekarang, hapemu. Ada yang penting gak di sana?” cecar Rian, melirikku dari spion tengah.Ah iya, aku baru ingat kalau menyimpan uang Delon yang kuambil dari m-bankingnya. Aku tak perlu merogoh uang tabunagn sendiri untuk masalah itu.“Bener juga. Untung kamu ingatin,” kekehku. Aku memang pernah menceritakan hal itu pada Rian. Untung saja di ponselku tidak ada foto-foto istri dan anak kami. Aku lebih suka mengambil foto atau video pakai pon
“Ngapain ngendap-ngendap gitu, Bang?”Astagfirulloh. Aku mengusap-usap dada. Bagaimana bisa tiba-tiba Hamdan ada di belakangku dan menepuk pundak ini? Untung saja aku tak punya riwayat penyakit jantung.“Kalau aku jantungan, Bang Hamdan mau tanggung jawab? Gak boleh ngagetin gitu loh,” protesku. Dia menautkan alis, memandangiku dari kepala sampai kaki.“Perasaan gak ngangetin kok. Berarti pikiran Abang terlalu fokus sampai kaget begitu. Kalaupun jantungan, gampang kok. Kan udah di rumah sakit,” balasnya santai, lalu tertawa sekilas setelah aku memelotot. Dia pun ketularan menyebalkan kayak Rian.Aku berjalan mendahului, mengintip dari balik kaca pintu kamar. Aku tersenyum bahagia dan juga merasa terasing. Bapak dan Ibu sedang makan di sana. Sedangkan Alina disuapi Rian. Lalu aku? Di sini dalam keadaan masih lapar.Aku mengucapkan salam seraya membuka pintu dan menghampiri mereka. Ibu terlihat berbinar bahagia melihatku datang. “Kamu sudah pulang, Nak? Sini duduk!” Ibu menepuk lantai
“Tidak bisa. Ini tidak bisa dibiarkan. Papa jangan terpengaruh dengan kata-kata orang kampung yang ngebet pengin kaya ini. Sudah minta uang banyak, malah ngelunjak menyuruh kita untuk memenjarakan Delon. Memangnya dia siapa sampai harus dituruti kata-katanya,” sergah Bu Nugroho. Wajahnya begis dan angkuh, menatapku tajam. Aku mengusap-usap dagu sambil memperhatikan wajah lelaki paruh baya di hadapanku. Wajahnya masih kelihatan syok, menutup mulut dengan tangan kanan. Aku beralih menatap istrinya yang sedang berdiri dengan napas memburu. “Saya tidak memaksa kok, Bu. Ini hanya syarat yang saya ajukan. Kalau merasa sanggup, terima saja. Kalau tidak, ya enggak usah,” balasku dengan santai. “Biarkan hukum yang berbicara. Jika publik ikut mengawal kasus ini, maka hampir bisa dipastikan hukuman akan semakin berat.”Papanya Delon menyugar rambut dengan kasar, belum menerima syaratku, tapi juga tak membenarkan ucapan istrinya. Mungkin saat ini dia sedang dilema. Mungkin dia terlalu berekspek
Sejak Raka membawa kabar baik tentang keadilan buat Alina, hatiku lebih tenang dan merasa aman. Ini semua tak lepas dari bantuan banyak pihak yang mempermudah prosesnya. Seperti kata dokter Rian, Alina ibarat setangkai lidi, tapi kalau semua sudah bersatu, kami bisa menumpas sampah masyarakat seperti Delon.Aku baru bisa ke rumah sakit setelah memandikan cucuku dan juga memberikan susu. Setelah kenyang dan badannya segar, dia akan mulai ceria. Suamiku sedang membawanya ke luar, cari angin segar.“Ibuuuu.” Alina membentangkan tangan seraya tersenyum begitu aku memasuki ruangannya. Wajahnya terlihat ceria, meskipun badannya yang kurus tak bisa menyembunyikan kalau dia pernah menderita. “Kayaknya kamu lebih segar hari ini, Nak. Kamu mau diajak jalan-jalan?” tanyaku seraya mencium keningnya.“Iya, Bu. Mana Bang Raka? Katanya dia mau ajak aku jalan-jalan ke luar.” Bibirnya mengerucut, menatap ke arah pintu dan tak ada yang muncul lagi dari sana.“Abangmu lagi ada sedikit urusan. Ibu saja