Oma …." Rendy berteriak ketika melihat Mama mertuaku. Dia menghamburkan pelukan kepada wanita tua itu."Gantengnya cucu Oma.""Oma …." Seketika mama berhenti mengusap rambut Rendy. Aku yang tengah tersenyum lantas menoleh ke arah Bian. Anak itu berani memanggil Oma dihadapanku dan juga Randy.****Tatapan Mama penuh keheranan dan juga kebingungan. Begitu juga aku. Aku bingung harus berkata apa.Senyum Bian semakin terlihat begitu mengerikan. Persis apa yang ditunjukkan ibunya, Maura.Rendy yang sudah selesai mencium tangan Omanya terlihat memperhatikan Bian. Menatap teman sebayanya itu dengan tatapan jengah. Ah, apa yang kau rasakan, Nak? Maaf, Mama belum sempat mencari tahu keadaanmu. "Kamu siapa?" tanya Mama mertua tangannya langsung di raih Bian kemudian dicium punggungnya. Persis seperti apa yang dilakukan dengan Rendy putraku tadi."Saya Fabian, Oma. Putra dari-""Dia anak Maura, Ma.""Siapa Maura?""Pembantu baru kita!" Aku langsung menyela ucapan Bian. Bagaimanapun Mama tidak
Aku menjatuhkan bokong di kursi. Lalu mengambil nasi dan beberapa lauk. Meletakkannya pada piring kosong lalu memberikan kepada Rendy. Remaja itu menerimanya dengan senyuman. Lalu ia menatapku dengan seksama."Mama nggak papa?" Pertanyaan Rendy hanya mampu aku jawab dengan helaan napas berat. Tidak aku pungkiri ada hati yang terluka di sini. Namun, aku harus tetap memastikan keluargaku akan baik-baik saja. Meskipun pada kenyataannya entah. Tap … tap.Langkah Mama terdengar dari meja makan. Aku dan juga Rendy menoleh ke belakang. Wanita itu berjalan dari arah belakang?Ada apa? Kenapa? Darimana Mama mertuaku itu? Apakah dia dari kamar Maura? Padahal sebelum aku pergi ke kamar, terlihat Mama mertua lebih dulu masuk kedalam kamarnya. Apakah setelah aku menutup pintu dia diam-diam pergi kesana? Untuk apa?"Oma darimana?" Pertanyaan yang sama terlontar dari anak semata wayangku. Wajah Mama biasa saja. Dia terkesan tengah menyembunyikan sesuatu. "Iya, tadi Ayu cari di kamar nggak ada.""S
"Maura, dia itu suamiku. Kalau aku gatel sama suami sendiri itu wajar! Yang nggak wajar itu kalau gatel ma suami orang!" Seketika wajah Maura berubah mendung. Aku yakin jika aku mempertahankan ini dan membuat Maura cemburu aku yakin dia akan keceplosan sendiri."Nikmati saja makan siangmu! Takutnya besok kamu sudah nggak tinggal di sini lagi!" Aku meninggalkan Maura dan juga anaknya di meja makan. Berjalan perlahan menuju kamar. Langkahku terhenti lalu membalik badan. "Jangan lupa, bereskan semuanya!" pintaku pada wanita itu dengan nada sedikit meremehkan.Bibir Maura mencebik. Dia terlihat tidak suka dengan ucapanku itu.Mas Ilham terlihat melepas dasinya. Membuka kancing bajunya satu persatu. Di usianya yang baru menginjak 35 tahun membuatnya masih terlihat gagah. Perutnya yang rata, terlihat seksi. Apalagi dia juga sering berolahraga."Ma, kamu cantik hari ini! Beda seperti biasanya, aku suka!"Aku hanya membalas dengan senyuman sinis. Lagi-lagi dia memelukku dari belakang ketika
"Nanti aku hubungi lagi!" ucap wanita yang ada di seberang telepon. Aku mengangguk meskipun benar wanita itu tidak tahu akan gerakan kepalaku. Tidak lama kemudian panggilan telepon itu terputus secara sepihak. Tepatnya di hentikan oleh Mbak Nadia sendiri. Kakak iparku. **** Seperti biasa aku bangun lebih awal. Berjalan turun dari ranjang bergegas menunaikan ibadah sholat subuh. Menangkupkan kedua tangan pada wajah setelah selesai aku melangitkan gundah gulana dan harapan. Aku menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan turun dari kamar. Menuju dapur. Membuka kulkas menatap seluruh penghuni yang ada didalamnya. "Masak apa ya?" tanyaku pada diri sendiri. Mengambil beberapa potong ayam dan juga sayuran. "Pembantumu mana?" Tiba-tiba suara Mama mertua mengagetkanku. Aku seketika menoleh ke arahnya mengambil beberapa wadah untuk digunakan memotong sayur. Sembari bibir mengulum senyum. "Mungkin masih tidur!" jawabku biasa saja. "Jam segini masih tidur? Apa kamu nggak merasa an
"Ma …. " Aku berjalan mendekati wanita itu. Namun ia mengangkat tangannya. Lalu meninggalkan kami berjalan menuju kamarnya. Mas Ilham tidak kalah panik. Wajahnya berubah menjadi pias, pucat sekali. Dia terlihat menghampiri Ibunya lalu ingin menjelaskan semua. Namun lagi-lagi wanita itu menolak. Aku melipat tanganku di depan dada lalu menatap mereka bergantian dengan senyuman."Apakah ini yang kamu inginkan? " tanya Mas Ilham kepada Maura. "Aku nggak tahan lagi, Mas. Suami sundal mu ini dan juga Mama mu selalu menyebut aku seorang pembantu! Dan aku tidak terima. Di perut ini ada janin anakmu dan kamu diam saja aku diperlakukan seperti itu oleh mereka!" Maura menunjuk Mas Ilham dengan mata melotot seakan ingin keluar. Sedangkan aku. Aku hanya diam menyaksikan pertengkaran mereka pagi ini. "Suutttt … jangan keras-keras! Ibu masih di kamar. Nanti beliau tahu kalau kamu tengah hamil! Bisa tambah kacau … hidupmu!" ucapku membuat Maura tambah berapi-api."Aku nggak tahan lagi, Mas. Istri s
Aku kembali menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan.CeklekNamun jawabanku urung aku lakukan setelah melihat Rendy keluar dari kamar mandi dengan rambut basahnya."Mbak, nanti aku hubungi lagi ya!""Oh, iya. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawabku sembari menekan tombol berwarna merah. Meletakan kembali ponselku ke dalam saku."Ren, kita sarapan di luar ya, sayang!""Mama nggak masak?" tanya Rendy sembari berjalan menghampiri."Nggak, lagi pengen aja! Kalau begitu mama tinggal ya! Kamu ganti pakaian aja dulu. Mama siap-siap, sekalian ajak Oma keluar buat sarapan bareng!""Iya, Ma." Lantas aku keluar kamar. Kembali menutup rapat-rapat pintu itu. Tidak kulihat kedua manusia itu. Entah kemana mereka pergi, yang jelas. Aku akan mencoba berbicara dengan Mama.Tok … tok."Ma, ini Ayu. Boleh, Ayu masuk?" tanyaku. Tidak berapa lama wanita yang ada di dalam kamar itu terdengar berjalan mendekati pintu.Benar saja tidak butuh waktu lama pintu itu sudah terbuka lebar. Aku melihat m
"Bolehkah aku ikut, Tante?" Pertanyaan sepele itu berhasil membuat langkahku berhenti. Menoleh ke arah sumber suara lalu menatap wajah remaja itu dengan seksama.Sedangkan Mama mertua melempar pandangan ke arahku. Begitu juga Rendy."Maaf, untuk saat ini aku tidak bisa membawamu satu mobil dengan kami!" jawabku dengan nada biasa saja.Aku gegas kembali melanjutkan langkahku Mama mertua pun demikian. Begitu juga dengan Rendy. Namun, tidak berapa lama kami kembali dihentikan karena teriakan seorang wanita. "Kenapa, Mbak? Dia juga anak Mas Ilham!" ****Aku melirik ke arah Mama mertua. Terlihat wanita itu berdecak lalu membuang muka ke arah samping.Mama tahu cara menghadapi wanita ini. Namun tidak di depan anak-anak.Mas Ilham yang terlihat menuruni tangga. Membuatku melempar pandangan ke arahnya."Dia akan diantar Mas Ilham," ucapku singkat. Aku tidak mau ribut lagi."Oh, baiklah. Bagus kalau begitu, dia bisa lebih akrab sama Papanya." Wanita itu mengusap bahu sang anak. Menatap ke
"Hp aku mana ya?""Kamu taruh dimana, Jeng? Aku nggak ambil lho!""Yaelah, kan kita baru nyampe tadi!""Mungkin ketinggalan di mobil kali.""Bisa jadi. Aku cari dulu ya.""Iya."Aku pergi meninggalkan teman-temanku. Berjalan menghampiri mobil berwarna hitam yang tengah terparkir apik di sisi jalan. Aku membuka pintu mobil perlahan lalu mencari benda pipih itu. "Lha ternyata ketinggalan di sini!" Aku mengambil benda pipih itu. Tidak berapa lama deru mobil berhenti tepat di seberang jalan. Aku keluar dari mobil lalu menutupnya. Namun langkahku terhenti kala melihat Ilham masuk bersama seorang wanita yang tidak aku kenal. Mataku memicing, memastikan anak lelaki ku tidak bermain api di belakang. Ternyata benar, disana ada Ayu. Dia terlihat berdiri menunggu suaminya yang datang dijemput sang pemilik rumah. "Alhamdulilah, berarti dugaanku salah!"Aku kembali berjalan masuk kedalam rumah. Setelah cukup lama aku berbincang. Aku berinisiatif menghampiri Ilham dan juga Ayu. Aku berjalan menu