Amelia menyunggingkan senyum, kala semua kerabat tengah mengolok-olok sang putra. Ini sesuatu pelajaran untuk Ilham, menikahi dua wanita bukanlah perkara sederhana dan juga mudah. Dia harus tahu bagaimana konsekuensinya, dia harus tahu bagaimana menikahi wanita lebih dari satu itu banyak sekali tanggung jawab moral yang dipikulnya. "Mbak, kenapa kamu mengizinkan Ilham poligami? Kamu tahu sendiri kan, konsekuensinya sangat berat. Ditambah kamu juga mengizinkan dia kesini. Bertemu banyak keluarga dengan cara pandang berbeda." Salah satu kerabat berpendapat . Membuat Amelia menoleh dan mengulum senyum. Amelia mempunyai alasan kenapa dia mengizinkan Ilham datang membawa serta Maura. Dia berharap Ilham tahu dan juga mau membuka mata. Poligami bukan hanya perkara jumlah istri. Namun juga keadilan bagaimana Ilham memperlakukan Maura dan juga Ayu."Asal kalian tahu ya, saya ini istri muda Mas Ilham. Jauh dari Mbak Ayu, saya pintar mengurus Mas Ilham di ranjang dan juga saya pintar membuat s
"Peduli apa aku, Mas? Kalau kamu bukan orang kaya mana mungkin aku mau diperlakukan seperti ini!"PlakTamparan cukup keras mendarat di pipi Maura."Argh … Apa yang kamu lakukan, Mas? Kamu membela dia?" Jari telunjuk Maura tertuju pada Amelia. Ibu kandung Ilham."Dia Ibuku, Maura. Jika Ayu tidak kau hargai aku bisa menyadari. Tapi jika Ibuku kau jatuhkan harga dirinya! Aku tidak bisa lagi menahan!""Terus mau kamu apa, Mas? Meninggalkan aku demi dia?" Tatapan Maura nyalang kearah Ilham. Tangannya mengusap pipi yang merah. "Kamu benar-benar kelewatan, Maura! Sebaiknya kamu pergi dari sini!" "Kamu mengusirku, Mas?""Ma, sudah ya. Mama harus istirahat di kamar sepertinya." Kini Nadia berusaha membawa Ibunya menjauh dari keadaan yang tengah panas. Bahu Amelia naik turun. Nafasnya tersengal-sengal kala mendengar penuturan Maura. Benar apa yang ada dalam pikiran wanita tua itu. Maura hanya menginginkan harta lelaki itu.Randu, suami Nadia meminta maaf kepada seluruh keluarga atas peristi
Ayu duduk di sisi ranjang. Melepas satu persatu kain yang melilit di tubuhnya. Tidak berapa lama wanita itu masuk kedalam kamar mandi yang ada di dalam kamar. Berganti pakaian dengan baju milik kakak ipar.CeklekAyu membuka pintu kamar mandi. Tatapannya tertuju pada laki-laki yang tengah duduk di sisi ranjang. Lelaki itu menatap Ayu dengan seksama. Seakan mengatakan bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja."Ada apa, Mas? Bukannya Maura pulang ke rumah? Kenapa kamu masih di situ?" Pertanyaan Ayu tidak langsung dijawab oleh lelaki itu. Justru Ilham terlihat menghela nafas panjang lalu membuangnya perlahan."Seharusnya kamu menyiapkan Maura sebelum kesini! Kamu tahu bagaimana keluarga kita. Seharusnya kamu tekankan padanya untuk bersikap tidak arogan seperti tadi.""Aku tidak tahu akan seperti ini. Apakah Mama akan melakukan sesuatu menurutmu?" tanya Ilham pada Ayu."Mana kutahu, Mas. Dia itu ibu kandungmu, coba kamu tanya pada beliau. Sebenarnya apa yang menjadi keinginan ya.""Dia m
Bola mata Bagas membulat sempurna kala membaca pesan yang dikirim Bian kepadanya. Alih-alih Bian merasa bersalah malah justru dia terkesan tidak peduli dan juga menikmati. Dia kerap kali mengunggah kegiatannya saat bersama Ilham. Namun untuk saat ini dia tidak bisa. Lelaki yang bergelar ayah tiri baginya sudah berada di rumah Nadia dengan Ayu dan juga Rendy."Chat siapa sih, kok gitu amat?" tanya Rendy membuat Bagas tersenyum."Nggak kok cuma orang nggak penting. Sarapan yuk. Laper aku! Sudah matang belum itu ayamnya?" tanya Bagas sembari kakinya berjinjit mencoba melihat ayam dalam penggorengan."Sebentar lagi, sabar. Kamu siapkan piring yang lain gih!" pinta Ayu. Gegas Bagas menyiapkan piring yang lain. Bersama Nadia, ibunya. Tidak berapa lama Randu keluar kamar bersama putranya yang lain. Mereka semua akhirnya duduk pada meja yang sama. Sambal terasi, sop buntut dan juga ayam goreng tepung bersama ikan sudah siap di meja. Sarapan yang menggugah selera. Dimana menu di atas meja be
"Halo, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Ayu setelah mengetahui sahabatnya sudah menjawab teleponnya."Ada apa, Yu?" tanya Nita."Aku pengen minta tolong, Nit. Kira-kira kamu bisa nggak tolongin aku?""Bisa dong, gimana-gimana? Kamu mau minta tolong apa?" tanya Nita.****"Aku keknya sedikit khawatir ya soal Maura.""Ha? Apa aku nggak salah denger? Khawatir kamu bilang?""Iya," jawab Ayu dengan anggukan kepala. Meskipun orang yang ada di seberang telepon tidak melihat gerakannya."Aneh kamu, Yu.""Hem, aku bisa minta tolong nggak sama kamu? Buat ngawasi Maura. Aku takut dia bertindak nekat. Mas Ilham memutuskan kembali padaku, Nit.""What? Balikan sama Ilham? Serius?""Iya, aku tahu ini cukup konyol. Tapi memberi kesempatan kedua untuk membenahi sikapnya yang pernah salah itu apa salahnya sih? Mas Ilham memang punya masa lalu. Tapi dia juga berhak berubah di masa depan kan?""Iya, juga sih, Yu. Tapi apa kamu udah pikirkan matang-matang semua ini?""Alhamdulilah sudah, aku juga
"Baru sih, tiga bulanan. Kenapa? Kamu terkejut? Kok ekspresinya begitu?" tanya Maura."Aku? Lantas gimana dong?"Maura diam. Dia mencoba bersikap sedih dan juga kecewa."Laki-laki nggak bertanggung jawab itu namanya. Nggak jentel. "Maura mengangguk. Membenarkan ucapan lelaki yang kini duduk di hadapannya. Dalam hati wanita itu dia bersorak bahwa sudah bisa mengelabui orang yang baru saja dikenalnya."Sudah dibawa ke dokter?" tanya lelaki itu perhatian.Maura menggeleng."Oh ya kenalkan. Nama aku Bryan.""Maura." Lelaki itu mengulurkan tangannya dan disambut oleh Maura. Setelah itu keduanya berbincang akrab. Hingga Bryan memesankan beberapa makanan. Berharap Maura makan dengan lahap dan juga kebutuhan gizi sang jabang bayi terpenuhi."Kamu belum bilang sama aku, kamu ini single atau sudah menikah?" tanya Maura. Bryan yang mendengar pertanyaan Maura tersenyum lalu mengelap bibirnya dengan tisu. Kemudian dia menyeruput minuman sembari terus menatap Maura. Maura yang menunggu jawaban da
"Rendy kamu sudah makan?" tanya Ayu, sudah menjadi kebiasaan wanita itu jika pulang dari kantor dia menanyakan Rendy apakah sudah makan atau belum."Sudah, Ma. Tadi Simbok masak bakso.""Oh, Ya? Mau dong.""Masih kok katanya di dapur. Kata Simbok bisa Mama panasi sebelum makan. Papa mana, Ma?" tanya Rendy memperhatikan ke arah belakang Ayu. "Papa ada kok, katanya mandi duluan dia. Mama mandi dulu ya. Nanti kita makan lagi sama-sama. Tapi sebelum itu Mama mandi dulu, ok!""Oke, Ma." Tangan Rendy melingkar membentuk huruf O. Setelah Ayu bekerja satu kantor dengan Ilham. Mereka baru kali ini pulang bersama. Pulang dengan satu kendaraan. Ilham terlihat ada usaha untuk berubah. Terlihat dari caranya bersikap, dia juga berusaha terus bersama Ayu kemanapun mereka pergi. Ayu berjalan menuju kamarnya.Setelah membuka pintu lebar-lebar. Wanita itu menyapu seluruh ruangan. Terdengar suara gemericik dari arah kamar mandi. Ternyata Ilham tengah membersihkan badannya di kamar mandi yang ada di k
Wajah Maura pucat pasi. Entah apa yang ia rasa saat ini, suaranya yang tadi melengking kini tak terdengar. Ilham panik, dia terus saja memanggil istri sirinya. Sedangkan Ayu yang tengah mengemudi sesekali melihat kondisi Maura melalui kaca spion yang ada di atasnya. Seakan alam mengetahui semua. Bahwa ada manusia yang saat ini tengah membutuhkan pertolongan. Jalanan lengang membuat Ayu bisa cepat sampai di rumah sakit yang dituju. Mobil itu berhenti tepat di IGD rumah sakit. Dengan sigap dan cepat beberapa perawat sudah berlari membawa tempat tidur dorong. Menyambut Maura yang sudah diangkat oleh Ilham. "Kamu tenang ya, semuanya akan baik-baik saja." Maura menangis, menggenggam erat tangan Ilham yang dipaksa dilepas oleh salah satu perawat."Bapak tunggu disini dulu. Biar Ibu bisa ditangani dokter lebih cepat." Ilham berhenti mengikuti Maura, tangannya menyugar rambutnya kebelakang. Entah mengapa ada banyak kegundahan dan juga khawatir saat ini. Bagaimana keadaan calon bayi yang ki