"Habis ini kamu langsung pulang, ya," ujarku ketika makanan yang Tama pesan datang. "Kok langsung pulang? Padahal aku mau lihat acara kalian." "Nggak usah. Please, kali ini nurut sama aku. Aku nggak mau ada masalah lagi, Danar akan ada di sini juga." Aku menarik es jeruk yang kupesan. "Cuma Danar, kan? Giko nggak. Nggak masalah dong kalau gitu." Hidungku mengembang lebar ketika aku mengembuskan napas. Nggak Giko, nggak Tama, susah banget diajak kerja sama. "Kalau kamu masih mau kita ketemu, tolong nurut." Aku terpaksa mengancam. "Kalau gitu, apa password baru apartemen kamu?" Aku memundurkan badan dan menatapnya. "Sori, aku nggak mau kasih tau. Aku nggak mau kejadian yang terakhir itu terulang lagi." "Kali ini nggak akan terjadi. Aku janji."Aku menggeleng tegas. "Sori, aku nggak bisa." Tama tampak menghela napas, lalu mengangguk. "Pulang aku jemput, kali ini jangan nolak. Aku nggak nerima penolakan." Ini lebih nggak mungkin. Gimana dengan Giko? "Tam, itu kayaknya nggak mung
Menghubungi Luffy? Aku nggak punya kerjaan kalau itu beneran aku lakukan. Setelah acara Goes To School, aku masih lanjut mengerjakan laporan, Arin bahkan langsung ikut Danar bertemu klien. Semua orang sibuk, jadi aku nggak ada waktu menghubungi siapa pun, khususnya Luffy. Aku beneran nggak tahu mau orang itu apa. Sikapnya sebelas dua belas sama Giko, ngeselin. Aku baru saja merapikan meja ketika ponselku yang tergeletak di dekat laptop bergetar. Layarnya bercahaya dan menampilkan nama Tama di sana. Aku mengabaikan panggilan itu hingga nada deringnya berakhir. Namun, saat aku mematikan layar laptop, ponsel itu kembali berbunyi. Masih dari Tama. "Ada apa, Tam?" tanyaku yang pada akhirnya mengalah, mengangkat panggilannya. Aku mengapit ponsel di antara bahu dan telinga, sementara dua tanganku menyimpan laptop ke dalam tas. "Aku udah ada di lobi kantor kamu." Spontan mataku terpejam. Beruntung Giko sempat memberiku kabar kalau dia nggak bisa mengantarku pulang. Jadi, aku sedikit aman.
Arin memang bisa diandalkan. Saat ini aku berada di mobilnya. Meskipun tempat tinggal kami berlawanan arah, tapi dia tidak masalah mengantarku pulang. "Thanks ya, Rin. Gue nggak tau apa jadinya kalau nggak ada lo tadi." Aku mengembuskan napas lelah. "Kok bisa begini, ya?" Dia menggeleng. "Lo diperebutkan banyak cowok banget, Win. Ini untung apa musibah buat lo?" tanya Arin lantas terkekeh. Seandainya dia tahu keadaan sesungguhnya. "Itu musibah. Gue nggak mau ada dalam situasi begini." "Tinggal pilih salah satu dari mereka, kan?" Arin bicara seakan hal ini mudah saja."Gue nggak mau pilih salah satu pun dari mereka." "Iya juga ya, mereka membingungkan. Tapi kalau gue jadi lo Pak Giko gue skip. Tinggal Pak Tama dan Pak Luffy. Nah, mereka sama-sama berbobotnya." Dan, kalau Arin tahu Tama yang sebenarnya, aku yakin dia bakal skip juga. Lalu tersisa Luffy sebagai pilihan yang sama sekali nggak aku ingin juga. Ya Tuhan ribet banget sih hidup gue? Rasanya aku ingin segera menenggelamka
Dia mengajakku nikah siri. Tidak. Aku nggak pernah memimpikan pernikahan seperti itu. Aku memiliki konsep pernikahan impian. Tidak mewah namun sakralnya dapat. Bertempat di suatu lokasi yang bisa menghasilkan debur ombak dan aroma kayu secara bersamaan. Tama memang orang yang aku cintai, tapi aku juga nggak ingin dibutakan oleh cinta. Aku masih punya otak untuk berpikir, tidak mau ambil resiko yang akhirnya bisa merugikan diri sendiri. Bukankah nikah siri itu sangat merugikan pihak perempuan? Enak di lo nggak enak di gue. Ketukan pintu terdengar bahkan sebelum aku sampai di ranjang tidur. "Wina, oke. Aku minta maaf soal yang tadi. Tapi bisakah kita bicara lagi?" Suara Tama terdengar. Aku mendadak malas padanya. Akhir-akhir ini aku memang menjadi lebih sensitif, mungkin karena masalah yang terlalu menumpuk. Aku membuang napas dan berbalik menatap bilah pintu yang masih saja diketuk. Tama di sana nggak berhenti memanggil namaku. Sampai aku mengalah dan membuka pintu kamar. Wajah p
"Lumayan masih ada cuti sekitar tiga harian. Jadi, gue ajak aja ibu main ke Jakarta, kali aja ibu kangen sama patung Pancoran," ujar Dendy saat aku menanyakan kesibukannya."Dibanding sama patung pancoran, Ibu lebih kangen sama Patung Dirgantara," timpal Ibu membuatku dan Dendy sontak terbelalak dan berseru kompak. "Apa bedanya?!" Ibu menatap kami berdua lantas tertawa. "Biasa aja dong kalian. Kompak banget begitu. Ibu kan cuma ngetes kalian doang," ujar Ibu meringis. "Oh, ibu ceritanya lagi ngetes ilmu sosial kita, Kak," ucap Dendy mengerakkan kedua alisnya sembari melirikku. "Kan banyak tuh yang nggak ngerti kalau Patung Pancoran sama dengan Patung Dirgantara. Siapa tahu saja kalian salah satu dari mereka," sahut Ibu. Dia lantas bergerak ke dapur sembari membawa kantong plastik yang dia keluarkan dari goddie bag kain. "Nggak buat Dendy ya, Bu. Percuma dong aku dapat beasiswa kalau masih aja anggap dua patung itu beda," sahut Dendy sombong. Dia meraih remote LED dan menyalakan
Seperti kesepakatan tadi, Tama menurun aku di halte dekat dengan kawasan perkantoran. Lantas aku lanjut berjalan menyusuri trotoar hingga sampai halaman gedung.Suara klakson dari belakang mengejutkanku dan seketika langkahku bergerak menyingkir. Jendela kaca mobil itu terbuka. Dari balik kemudi seorang perempuan berseru. "Lo kenapa jalan kaki?! Nggak bareng Pak Giko?" Ternyata si pengendara itu Arin. Aku menggeleng dan mengisyaratkan dia agar maju, karena sudah ada mobil lain yang mengantre masuk. "Tunggu gue di lobi!" serunya lagi sebelum bergerak maju. Arin datang nggak lama setelah aku memasuki lobi. Wanita itu mengenakan waist blazer berwarna khaki, menutupi kemeja putihnya. Disambung dengan pencil skirt berwarna senada blazer tersebut. Langkahnya terlihat begitu anggun dengan heels tujuh senti yang terantuk. Sesekali dia memberi senyum kepada orang yang berpapasan dengannya. "Win!" Langkahnya tampak bergegas menghampiriku. "Kemarin aman enggak?" tanya Arin begitu berhasil
"Katakan sesuatu sama gue, Win."Dua kali Arin mengatakan itu dalam nada gusar. Wanita itu lumayan syok setelah mendengar pengakuan tanpa sengajaku yang penuh emosi saat masih di dalam gedung. "Lo yakin kalian cuma pura-pura? Sumpah, gue masih nggak percaya ini." Arin kembali bersuara dengan tatap yang masih lurus ke jalanan di depannya. "Apa? Dan kenapa kalian?" Aku membuang napas kasar. Sebenarnya malas menjelaskan, tapi aku tahu Arin akan terus mengganggu dengan segala pertanyaannya. "Gue cuma mau nolong Giko. Dia bilang bakal dijodohin dan dibuang ke Sulawesi Utara. Dia juga bilang kalau dia bisa memiliki pacar maka semuanya bisa dibatalkan. Perjodohan dan mutasi itu," jelasku mengambil inti singkatnya. Arin tertawa, tapi tidak lepas. Dia mencoba menahannya sambil terus mengemudi. "Dan lo percaya apa yang Pak Giko bilang?" "Maksudnya?" Aku mengernyit. "Dia membujuk gue terus menerus sampai gue setuju. Gue rasa itu bukan hanya sekedar main-main." "Coba bicara empat mata sama
Aku mengabaikan permohonan Giko mengundang makan malam Dendy dan Ibu, tapi sebagai gantinya aku datang ke makan malam keluarga mereka. Jumat malam, aku memutuskan ikut Giko pulang ke rumahnya. Dengan setengah hati tentu saja. Rumah megah itu seolah tengah menantangku ketika aku menjejakkan kaki di halamannya. Aku merasa sangat kecil berdiri di sini. Seumur-umur berteman dengan si playboy Giko, baru kali ini aku diajak ke rumahnya, dan bertemu dengan keluarganya langsung. Sayangnya pertemuan ini seperti ajang bunuh diri buatku. "Santai aja, sih. Bokap gue nggak nyeremin, kok," ujar Giko menyenggol lenganku. Aku mendelik. "Kalau nggak nyeremin mana mungkin dia tega mau membuang anaknya ke Timbuktu." "Bau-bau, Win. Bukan Timbuktu, itu kejauhan.""Bodo amat." Aku memasang tampang jutek."Ish, itu mata dikondisikan. Di dalam nanti lo harus pasang tampang semanis mungkin, jangan lupa tersenyum, oke, Bebeb?" "Iya, gue bakal senyum terus sampe gigi gue kering, puas lo?" Giko terkekeh,