Tunggu Aku..
***
"Kamu itu diam saja, urus cucu Mama, biar Mama sendiri yang membereskan jamuan.."
"Tapi.."
"Jangan ngeyel, nurut sama Mama.."
Tap... Tap.. Tap..
Ranti maupun Asya menoleh ke belakang, ke arah tangga, dan menemukan langkah tak berenergi milik Dina. Gadis itu turun dan menghampiri mereka.
"Kak Asya temani mereka saja, biar aku yang bantu Mama.."
Asya terperangah, sejak kejadian mengerikan di rumah sakit, ini pertama kalinya Dina mengajaknya bicara. Mungkin sebagai luapan kekesalan atau kesedihan, sebelumnya setiap kali Asya mengajaknya bicara pun tak ada tanggapan. Tak hanya pada Asya, tapi pada semua orang di rumahnya Dina lebih memilih tak mengacuhkan, mengurung diri di kamar, mengenang kepergian Mungilnya.
Sebulan yang lalu, di malam itu baik Raka maupun Elan sama-sama dirundung kecemasan. Istri mereka sama-sama melahirkan tapi dengan masa dep
yuk komentar yuk
Cinta Itu Ada *** Lelaki tampan berlesung pipit itu tersenyum seraya mengulurukan tangan pada lawan bicaranya yang sedang duduk di balik meja kerja. Tatapan keduanya bertemu, saling menyunggingkan senyum kemenangan. "Selamat Pak Elan.. Dengan kemenangan kita atas gugatan perdata mereka, perusahaan tidak perlu menjualDNA townbukan?" Elan berdiri, menyambut uluran tangan Ranu. Pertanda terima kasih yang besar. Lelaki itu sangat berjasa baginya, juga bagi kelangsungan rumah tangganya secara tidak langsung. "Itulah gunanya mempekerjakan dirimu di perusahaan ini. Yah sesuai isu yang beredar bahwa kemampuanmu di meja hijau tidak diragukan, cukup tidak memalukan untuk seorangcumlaudedariColumbia University." Ranu hanya tersenyum kecil lalu menuju sofa mengikuti arahan tangan kliennya. "Saya lihat anda lebih bersemangat dari sebelum-sebelumnya." "Jangan t
Pertama – Keempat *** Sesuai janji, Elan datang menjemput pukul delapan tepat. Lelaki itu berusaha kaku terhadap waktu, seolah ingin menunjukkan pada Dina bahwa dirinya sedang tak main-main. "Ma
Mengulang Malam *** Dina menggerakkan kepala ke kanan, membuka bibirnya perlahan kala mencium wangi yang ia kenal. Kelopak matanya mulai tak tenang lalu tak lama kemudian terbuka. Ia tersentak karena ruangan itu tak asing baginya. Mata Dina semakin terbelalak ketika teringat oleh satu hal, pakaiannya. Ia menengok di balik selimut kemudian berhembus lega karena semua utuh. Dina meraba keadaan, apa yang sebenarnya terjadi? Seingatnya terakhir kali berada di bangku taman bermain bersama pemilik ruangan ini,ah kemana dia? Pandangannya menyapu sekeliling, mencari Elan dan mendapati lelaki itu berjalan ke arahnya dengan segelas jus jeruk di tangan. "Kenapa aku di sini?" Tanya Dina ketus. "Minumlah dulu.. Kamu pingsan." Lirikan Dina ke arah Elan yang duduk di tepi ranjang mengandung curiga. Menuduh dalam picingan yang memastikan. "Aku tidak melakukan apapun padamu
Sekuatku, Semampumu *** Dina merasa kulit keningnya lelah saat kedua kelopak mata mulai bergerak lambat. Terbuka sedikit lalu mengernyit oleh cahaya lampu yang tajam menyelinap, menyilaukan dan menyamarkan pandang. Ia menggigit getir bibirnya saat menyadari masih ada di tempat yang sama seperti terbangun sebelumnya. Bahkan yang lebih menyesakkan dada, ada nyeri di lipatan paha, ada sakit yang terulang, ada luka batin menguar oleh kepercayaan yang tergadai. Yah, Dina merasa dibawa kembali ke masa lampau, waktu di mana Elan merenggut kesuciannya. Bayangan akan kenangan itu semakin nyata kala ia mengintip di balik selimut dan menemukan beberapa bekas merah, antara hasil gigitan dan hisapan. Bau peluh yang menyengat menggetarkan mata, menjatuhkan airnya. Ia benci. "Sudah bangun?" Tanya seseorang yang sedang mengucek mata di belakangnya. Dina beringsut, reflek merapatkan selimut pada tubuh telanjangnya. Tak
Our limited Happiness *** Bagai diserang bencana alam, isi apartemen Elan kacau balau. Semua berserakan. Bantal sofa bergelimpangan, buku dan tumpukan berkas berjatuhan dari atas meja kerja. Belum berhenti di situ, kondisi kamar tak kalah mengenaskan. Bantal, guling, selimut sprei semua tercerai berai melantai. Begitupun dengan kimono handuk, pakaian dalam, celana, dress, dan serba serbi penutup tubuh lainnya. Gairah keduanya meledak, saling mencurahkan hasrat yang terpendam. Mereka cinta dan bercinta. Mereka suka dan saling mengobati luka. Sejak dari meja sarapan, mereka tak henti melakukannya. Hingga pakaian yang melekat selepas mandi pun hanya mampu bertahan beberapa menit saja. Mereka melakukannya di mana-mana, sesuka mereka. Sekuat tenaga. "Kakak.. Sudah ya.." Rengek Dina manja. "Mmm." "Kok cumammm?" Dina memainkan jarinya di dada bidang Elan. "Kalau kamu mau
Akan Berakhir *** Tersenyumlah dengan hatimu, lupakan segala sakit yang aku berikan Hiduplah dengan caramu tanpa aku di sisimu, biarkan aku merindumu dengan seluruh nafasku Rindukanlah aku dengan senyumanmu, biarkan aku menatapmu dari kejauhan Berbahagialah dengan masa mudamu, biarlah aku sendiri dalam kelamnya malam bersama angin yang memainkan pesan bernada cinta yang aku simpan untukmu ByshellyferND *** Baru kali ini aku tidak terpejam sama sekali setelah bercinta. Biasanya aku pasti tidur walau hanya sebentar. Tapi kali ini ku tahan kantuk, sebisa mungkin tetap terjaga. Aku tidak mau kehilangan masa yang ku nanti sekian lama. Tak ingin hilang kesadaran barang sedetikpun. Aku selalu ingin menikmati wajah ayu yang seharian ini berada dalam kuasaku. Daisy-ku terlelap, sangat lelah usai sedikit ku paksa melayaniku sekali lagi, m
Berakhir? *** Sosok di hadapan Dina tampak asing. Ia tak kenal lelaki itu tapi tiba-tiba ada di depan pintu rumahnya, mengagetkannya pula. Dari kerutan di wajah, sepertinya berumur sekitar setengah abad, tidak tinggi dengan rambut memutih. "Bapak siapa?" Tanya Dina curiga. "Ini ibu Dina ya?" Dina mengangguk ragu. Aneh, dari mana lelaki itu tahu namanya. Namun yang lebih membuatnya heran, lelaki itu memanggilnya 'Ibu'? Tidak salah nih.. Segera Dina mengklarifikasi sebutan yang disematkan Bapak-bapak itu padanya. "Jangan panggil Ibu, saya mungkin seusia anak Bapak." Nadanya terdengar tak terima. Ia pun mulai menyelidik. "Memangnya Bapak ini siapa? Ada perlu apa ke rumah saya?" "Mari ikut saya sebentar Bu.." Dina menarung alisnya. Selain karena risih karena lelaki itu masih saja memanggilnya dengan embel-embel 'Ibu' di depan namanya, ia juga agak kesal karena merasa sedang diperintah. Siapa and
Berakhir *** Akhir-akhir ini, sepertinya duduk miring di pangkuan lalu menyandarkan kepala di dada Elan adalah posisi paling nyaman bagi Dina. Kakinya dibiarkan menjuntai, terkatung dari atas kursi. Dina suka aroma tubuh Elan yang tercium dekat dalam posisi itu. Ia juga suka memainkan kancing kemejanya, menggelitik nakal dada suaminya yang keras menggoda. Elan sibuk dengan laptopnya saat Dina masih saja mengulik deretan kancing itu. Ia berusaha tetap fokus pada pekerjaan meskipun sedikit kesulitan karena ulah istrinya yang mengganggu, tampak cemburu pada layar laptop. Bagi Elan, yang penting sekarang gadis itu telah kembali dalam genggaman. Dinanya datang meskipun belum berkeputusan. "Kak.." "Hmm.." "Ini bukan berarti aku sudah memutuskan." "Aku tahu, lalu?" Elan mengembalikan pertanyaan dengan cuek, bernada tenang tanpa sekalipun melewatkan cermatan mata dari layar laptopnya. Tangan kan