“Lhoh, Pak, saya di sekolahan mengerjakan laporan. Saya melakukan semua ini demi sekolahan ini juga. Kenapa main tuduh sembarangan? Kalau anak-anak pada mengintip, itu artinya mereka tidak diajari sopan santun sama orang tuanya. Kenapa jadi saya yang salah? Terus, ada bukti apa dari hasil mereka mengintip?” Ambar yang kesal ikut menyahut.Ia langsung mendapat lirikan dari Sari yang memberi kode untuk diam.“Terus, tentang masalah ini, Bapak sekalian meminta pihak sekolah untuk melakukan apa?” tanya Sari.“Dia harus dilaporkan ke atas! Tidak patut orang seperti ini dijadikan guru,” kata Rozai cepat.“Ya tidak bisa seperti itu dong, Pak. Segala permasalahan yang terjadi ada tahapan untuk memberikan sanksi. Yang pertama teguran, kedua peringatan barulah kalau memang tidak ada perkembangannya, kita laporkan ke atas. Ini ‘kan baru tahap satu. Ya kita berikan teguran saja pada Bu Sari untuk memperbaiki diri. Saya juga nanti akan memberikan pembinaan sendiri,” kata Sari.“Bu, apa menurut Bu
Part 37Diah sudah mendaftar dan melampirkan semua berkas di akun SSCASN. Tanpa memberitahu siapapun dimana ia mendaftar, termasuk suaminya Rizal."Kamu sudah daftar belum, Dek? Soalnya ini pendaftaran cuma sebentar lho. Gak sampai setengah bulan. Ini padahal sudah lewat tiga hari. Kamu nanti kalau kelamaan, bisa-bisa servernya penuh. Susah masuknya," kata Rizal.Diah diam. Asyik membungkus cemilan yang sudah digoreng oleh salah satu tetangga yang diminta bekerja."Berkasnya mana? Bawa sini, aku yang urus semuanya."Diah hanya melirik sekilas lalu fokus pada pekerjaannya kembali."Kamu masih marah sama aku? Maunya apa? Aku ikut melabrak Ambar? Baik, kalau kamu maunya begitu. Besok aku akan melabrak Ambar.Diah kembali melirik suaminya. Sekilas saja. Namun, kembali lagi pada plastik-plastik yang telah berisi aneka cemilan."Tadi Bapak katanya ada rapat dengan guru-guru Meida ya?" tanya Rizal.Diah mengedikkan bahu."Aku sebenarnya malu, Dek, kalau harus berurusan hal seperti itu.""Ter
Gendis menangis sesenggukan. Anak kecil mana yang tidak takut mendengar ucapan demikian? Ia membayangkan ayahnya terbujur kaku ditutup kain seperti yang sering dilihat di youtube."Ayah kok gak kesini lagi jemput Ndis? Apa Ayah beneran sudah mati?" tanya Gendis sambil memandang kaos Catur. Ia memeluk erat benda itu lalu menangis seorang diri.Ambar peduli apa? Sejak dekat dengan Sela, ia tidak pernah lepas dari ponsel. Setiap waktu berkirim pesan sehingga mengabaikan Gendis. Bedanya, hari-hari sebelumnya ada Catur yang menjaga Gendis. Menemani dan mengurus segala kebutuhan Gendis. Namun sekarang, ia merasa repot karena harus mengurusnya seorang diri. Ditambah lagi, di saat terancam dipecat jadi bendahara, justru Sela menghilang.Ia masih menjalankan bisnis meski tidak seramai dulu. Ponselnya berisi banyak nomor pelanggan. Akun Facebook yang sudah lupa passwordnya juga ada disana. Media sosial yang seringkali digunakan untuk promosi.Jika ingin mendapatkan benda itu kembali, ia harus m
Part 38 Ada sebuah dorongan yang meminta Sela untuk menyusul Indah ke kamar anak-anak mereka. Namun, dorongan itu diabaikan karena hatinya memang sudah tidak tertarik untuk berkumpul bersama dengan wanita yang telah memberinya dua anak itu. Sela duduk termenung di sisi ranjang yang kasurnya ditutup seprei warna putih. Selama menginap bersama, ia tidak pernah bermesraan dengan Indah. Tidur bersama, tetapi saling memunggungi. Diajak berbicara, hanya membalas sekadarnya saja. Otaknya justru merangkai sebuah skenario bilamana mempunyai uang, ia akan mengajak Ambar ke tempat itu. Namun kini, hatinya berada di sebuah persimpangan antara permintaan Ambar untuk menceraikan Indah, atau tetap bertahan dalam pernikahan itu demi kedua buah hatinya. Setelah pembicaraan itu, Sela akhirnya mau berbaur meski dengan sikap yang kaku. Beberapa kali Indah mengambil foto bersama dengan Jihan, Naisa juga Sela. Tampak seperti keluarga yang bahagia. Ia tidak lupa mengunggah foto itu ke media sosial. “Maaf
Hari Senin, Rizal sengaja keluar dari sekolah jam satu siang. Ia sudah berniat menemui Ambar agar Diah tidak selalu memojokkannya. Gerbang sekolah masih terbuka. Pria itu melenggang masuk kantor.“Cari siapa, Pak?” tanya Ambar sambil tersenyum ramah. Wajahnya masih terlihat cantik meski luka bekas pukulan Catur masih terlihat jelas.“Bu Ambar?” tanya Rizal.“Iya, silakan masuk,” kata Ambar lemah lembut. “Duduk, Pak. Ayahnyha Meida ya?” tanyanya lagi.“Iya. Saya mau ada perlu sama Bu Ambar.”“Mau minum apa?” tanya Ambar lagi.“Tidak usah, Bu,” jawab Rizal. “Saya hanya ingin bilang sama Ibu agar tolong jangan libatkan Meida dalam masalah Bu Ambar dan istri saya.”Ambar tertawa renyah memperlihatkan deretan giginya yang putih. “Masalah itu lagi, to, Pak? Ya Allah, sudah berkali-kali dibahas lho. Apa tidak capek? Tapi, ya sudah, gak papa. Saya masih sabar kok menanggapi apapun yang keluarga Bu Diah lakukan sama saya,” jawabnya sambil tersenyum. Ia berusaha membuat Rizal takluk dan mengang
Part 39 “Kemana kamu selama beberapa hari ini, Mas?” tanya Ambar menghakimi. Ia tidak peduli dengan apa yang dikatakan Diah tadi. Toh perempuan itu sudah pulang. “Aku sudah bilang, aku ada acara keluarga.” “Keluarga dengan anak istrimu?” “Aku mengantar orang tuaku.” Ambar berdecak kesal. “Minggu depan uang keluar. Kamu mau kemana?” tanya Sela membujuk. Ambar masih diam. “Kamu tidak jujur,” katanya lagi. “Kamu mau aku telepon orang tuaku dan kamu bilang sama mereka? Agar kamu percaya aku kemarin pergi bersama mereka? Kalau kamu mau, baiklah aku akan menelpon. Pakai nomer kamu tapi. Soalnya aku tidak pakai ponsel,” kata sela. Ambar tentu saja tidak mau jika disuruh menelpon kedua orang tua Sela. “Iya, iya, aku percaya. Tapi beneran lho, kita langsung piknik kalau uang sudah keluar,” katanya merajuk. “Kamu sekalian beli hp baru lho, Mas. Hp itu termasuk inventaris. Jadi, gak masalah pakai uang itu,” lanjutnya. “Biasanya juga uang tidak banyak yang aku gunakan untuk keperluan sek
Ambar menekuk wajahnya. “Masih aku yang ambil, tetapi harus dirapatkan besok uangnya dan akan diberikan pada setiap guru untuk memegang. Tugasnya akan diatur. Kesannya kemarin seperti rapat dalam rangka aku korupsi,” katanya. “Aku sudah tidak berani, Mas. Sudah ada Pak Ris yang galak. Kemarin saja mejaku digebrak sampai aku malu,” “Gak papa. Masih ada uang sekolahku.” “Besok jadi, ‘kan?” “Jadi, dong!” “Ndis dibelikan mainan ya, Mas?” “Kamu yang beli bisa ‘kan?” “Aku maunya kamu,” rengek Ambar manja. “Iya, nanti aku belikan. Hp kamu bagaimana?” “Aku belum punya uang tiga puluh juta, Mas,” jawab Ambar sedih. “Kamu harus bantu aku cari uang segitu biar dapat hp nya. Di sana banyak foto kita.” “Sekarang blokir dulu nomer kamu, terus pindah ke hp ini. Diurus gitu saja dulu. Jadi, WA kamu aman,” usul Sela. “Masalah hp nya, kita pikir besok setelah piknik.” “Besok kita naik apa?” “Naik mobil.” “Mobil kamu?” “Iya.” “Emang istrimu boleh?” Sela tersenyum. *** “Aku mau bawa mobil
Part 40Sela menempati homestay yang waktu itu digunakan menginap bersama Indah. Ia sangat menyukai posisi dari bangunan yang dipilih istrinya. Wanita itu memang memiliki selera tinggi dalam memilih sesuatu hal.“Kamu suka tempatnya?” tanya Sela pada Indah yang terus tersenyum saat sampai di teras.“Sangat suka. Kamu pintar sekali sih, Mas memilih tempat? Sudah pernah kesini ya?” tanya Ambar sambil berwajah masam.“Ya pernah. Dulu. Emangnya kenapa? Kamu juga pernah punya kehidupan bersama suamimu, ‘kan?” tanya Sela balik. “Emangnya kamu belum pernah piknik sama suamimu? Kenapa aku kayak salah terus?” lanjutnya tidak suka.“Iya, iya. Aku minta maaf. Jangan cemberut gitu ah. Ayo, kita masuk,” ajak Ambar.Seorang pelayan yang keluar selesai membereskan ruangan, tertegun menatap Sela. Karena baru beberapa waktu yang lalu, pria itu datang dengan keluarganya. Sela memandang pelayan laki-laki itu melotot. Tanda agar dia diam dan tidak ikut campur urusannya.Pelayan yang usianya di atas dua p