Benar dugaanku. Perhiasan peninggalan Nenek dan Ibuku, kini tak ubahnya bagai sebuah narkotika yang mencandukan bagi Ibu Bang Hasan. Dugaanku tidak meleset sedikit pun. Ibu kembali. Sebanyak apapun uang yang ia terima dari hasil menjual berlian Ibuku, tentu hanyalah akan menjadi uang hantu di makan setan. Segera habis dalam waktu singkat, dan saat habis Ibu pasti akan berusaha untuk mendapatkannya lagi. Terlebih aku yang tidak sama sekali melaporkan apapun sehingga mungkin Ibu merasa aku tidak menyadari perbuatannya.
Setelah Ibu pergi, aku tersenyum puas.
Cepat kubuka ponselku. Rekaman Ibu dari cctv yang kupasang benar-benar sempurna. Apalagi di bagian teras. Benar-benar seperti pencuri handal. Sang otak pelaku yang sedang mengawasi anak buahnya membuka kunci. Tapi biasanya pencuri di rumah orang akan membuka kunci rumah dengan paksa. Berbeda dengan Ibu, yang membuka kunci rumahku dengan tukang kunci. Sebab Ibu bukan pencuri asli, Ibu hanya pencuri gadungan yang mencur
Pov HasanAku baru saja sampai dirumah ketika kudapati sebuah motor matic berwarna putih biru terparkir di teras rumah. Ternyata masih baru dan tanpa plat. Milik siapa ya, mungkin tamu Ibu atau Lina."Assalamu'alaikum.""Waalaikumsalam, San. Lembur kamu ya," jawab Ibu dengan wajah yang sumringah.Ku perhatikan sekeliling. Ada yang berbeda."Ibu beli sofa baru?""Iya, bagus kan, San. Empat juta saja. Empuk banget loh, coba sini duduk," ujar Ibu menarik bahuku untuk duduk."Apa di luar itu juga motor yang baru Ibu, ambil?" tunjukku ke luar."Iya, cantikkan. Buat Lina," jawab Ibu sumringah.Aku merasakan ketakutan yang mulai melingkupi jiwa."Uang dari mana, Bu? Cash?" tanyaku lagi."Oh ya nggak lah," Ibu tertawa, "kredit, sore tadi diantar. Dp lima juta.""Ibu pakai uang penjualan berlian Ibunya Mira?" tanyaku."Kamu sudah makan? Ibu masak loh hari ini. Mulai sekarang kita nggak be
Matanya tajam menatap perutku yang membuncit."Ka-ka-kamu hamil, Mir?" tanya Bang Hasan tak lepas menatap.Aku memilih tak menjawab dan berbalik pergi. Tapi Bang Hasan lebih cepat dengan menangkap lenganku."Jawab, Mir!" tanyanya dengan suara meninggi."Ya, aku hamil. Dan selama ini aku baik-baik saja tanpamu. Silahkan pergi," jawabku sengit.Tiba-tiba Bang Hasan luruh ke lantai dan menangis sembari memegang kedua kakiku dan menciuminya.Aku mundur beberapa langkah. "Kakimu membengkak, Mir?" Ia mendongakkan kepalanya melihatku."Bukan urusanmu Bang. Urus saja keluargamu.Pergi!""Kenapa kamu menyembunyikannya dari Abang, Mir? Kenapa kamu tidak mengatakan apapun pada Abang? Abang berhak tahu, Mir.""Kau tahu ataupun tidak, tak kan mempengaruhi apapun, Bang. Selama ini aku baik-baik saja tanpamu.""Bolehkah, Abang menyentuhnya?" ujar Bang Hasan mengulurkan tangannya. Refleks aku menepis tang
Setelah mengancam akan mengambil anakku semalam. Bang Hasan masih saja terus menghubungi. Seperti saat ini, ponselku terus berdering karena panggilan darinya. Sungguh sangat mengganggu tidurku.Anak mami dibawah ketiak Ibu[Pagi, Mir. Belum bangun ya?]Apa-apaan dia. Aku memilih tak menghiraukan pesannya.[Jangan lupa sarapan dan minum susunya ya. Maaf]Huh, dasar plin-plan. Benar-benar keturunan Ibunya. [Tapi Abang serius, akan ucapan Abang jika kamu tetap ingin bercerai. Kamu tahu Abang sangat menantikan bayi itu]Kali ini aku memilih membalasnya. [Ya, begitupun aku, mari berperang] Ya, kini aku memilih berperang, bahkan sedari dulu pun sudah berperang. Berperang melawan batin, bertahan atau lepaskan. Dan sekarang aku memilih melepaskan. Setelah melepaskan pun, kini masih tetap berperang, berperang mengambil kembali apa yang sedari awal adalah milikku, dan kedepannya akan berperang demi mempertahankan milikku
Pov Hasan"Nggak masuk kerja kamu, San?" tanya Ibu melihatku yang sedang duduk menonton televisi, tidak. Lebih tepatnya akulah yang di tonton televisi."Nggak, Bu. Malas.""Malas gimana maksudnya? Kalau kamu nggak rajin gimana bayar semua cicilan, San?" tanya Ibu dengan wajah yang di tekuk."Kalau memang bukan rezeki kita, Bu. Sekuat apapun kita mempertahankan pasti akan lepas. Seperti rumah tangga Hasan dengan Mira ini. Mati-matian dulu Hasan berusaha mendapatkan Mira, lalu mati-matian pula untuk mempertahankan dari perceraian, akhirnya hancur juga,' ujarku lemah."Lah ya jangan kamu terima begitu saja Mira menggugat kamu, San. Ingat Mira itu sedang hamil. Jangka waktu kalian untuk bisa rujuk itu panjang, sampai Mira melahirkan. Jadi sebelum bayinya lahir kamu harus bisa membuat Mira untuk kembali padamu. Berusahalah. Masih gitu aja kok udah K.O. Lemah kamu, San.""Begitu ya, Bu. Do'a kan Hasan ya, Bu," jawabku dengan mata yang berbin
Pov Ibu"Mira juga pasti akan mengirimi setiap bulan untuk anaknya, Bu," ujar Hasan."Ya, baiklah. Pastikan Mira akan mengirimi anaknya. Dan berikan Ibu kuasa untuk mengatur anakmu juga mengatur kapan Mira bisa bertemu. Karena akan ada syarat dan ketentuan yg harus Mira lakukan jika ingin bertemu."Binar bahagia jelas terpancar dari kedua mata Hasan."Yasudah, Bu. Hasan keluar sebentar ya. Ada yang mau Hasan beli. Ibu mau titip apa?" tanya Hasan padaku."Nggak ada. Pergilah," jawabku pada Hasan.Seperginya Hasan, kembali semua ucapannya terngiang-ngiang di kepala. Membayangkan dan menerka-nerka apa semuanya akan berjalan sesuai keinginanku.Ya, aku akan mengorbankan rumah ini agar Hasan bisa mendapatkan hak asuh anak mereka, pun aku juga akan mengorbankan diriku menjadi pengasuh bayi Hasan. Pengorbanan yang kulakukan ini tidaklah mudah dan kecil, jadi harus ada keuntungan besar yang harus aku raih dari semu
POV Hasan "Lin, kunci rumah kita segera. Usir mereka yang masih ada disini. Kita ke kantor polisi menyusul Ibu. Saat ini Ibu pasti membutuhkan kita," perintahku pada Lina sambil menyindir Mira dan Abangnya yang masih menikmati proses dibawanya Ibu. Mendengar ucapanku, Mira dan abangnya bergegas keluar. "Mir, jika kamu tak ingin mencabut laporan pada Ibu. Abang pastikan kamu akan menyesal sudah melakukan ini, sebab kamu tidak mempunyai bukti yang cukup kuat untuk menjebloskan Ibu. Bukti yang kamu miliki hanya screen shoot percakapan w******p Abang dan Lina saja. Dan, itu tidak cukup kuat, Mir," ujarku pada Mira sesaat sebelum ia pergi. "Kita lihat saja nanti, Bang," jawabnya dengan senyum yang sulit kuartikan. Lalu ia dan Raihan masuk kedalam mobil, meninggalkan aku yang dengan kebingungan mengartikan maksud dari senyumannya. "Lin, kamu yang bawa motor ya," pintaku pada Lina. "Iya, Mas." Sesampainya di kantor polisi, terlihat Ibu yang baru saja turun dari mobil dengan di temani s
Pov HasanEntah siapa yang memberitahu, kini dua orang makelar telah berada disini. Duduk di depan sembari terus memujuk agar aku menerima tawaran harga dari mereka."Maaf, Bapak-bapak saya tidak bisa menerima harga yang Bapak tawarkan. Itu terlalu rendah untuk ukuran harga rumah ini. Sangat jauh dari kata pantas. Lagi pula saya tidak meminta perantara untuk penjualanannya, Pak," tolakku halus pada mereka."Ya, tapi dari kabar yang santer terdengar katanya kan kamu butuh uang cepat untuk --" Bapak tersebut menggantung ucapannya, "urusan Ibumu. Ah, ya urusan Ibumu," sambungnya lagi."Iya benar, Pak. Saya tidak menampiknya, tapi tidak juga dengan harga murah begini.""Tapi pembelinya langsung ada hari ini juga loh.""Ya, nggak apa-apa saya tunggu saja, Pak.""Okelah. Kalau gitu kami pamit dulu. Ini kartu nama saya, jika kamu masih berminat
"Allah," ujarku pelan memegangi perutku.Darah mulai mengalir merembes di lantai.Bayiku. Ya Allah, tolong bayiku. Aku berdo'a dalam hati."Mira. Kamu didalam?" Itu suara Pak Rezi."Mira.""Pak ... Pak Re--rezi. Tolong," ucapku terbata-bata.Bang Hasan berjalan menuju pintu, dan saat pintu terbuka, aku kembali memohon pertolongan. "Pak ... Toloong," ujarku lagi sembari memegangi perut. Nyeri disertai kram semakin terasa.Pak Rezi berdiri dipintu dengan wajah yang sungguh cemas.Semuanya terjadi begitu cepat hingga tanpa kusadari pukulan telah melayang ke wajah Bang Hasan hingga membuat Bang Hasan terhuyung.Pak Rezi mengangkat tubuhku. Membawa keluar lalu melewati Bang Hasan disertai dengan ancaman karena telah membuatku seperti ini.Ia berlari membawa tubu