Harshad tiba di Mansion nya disambut oleh Bryan, dia mendekati Bryan yang berdiri di pintu setelah membantu Bi Isah turun dari mobil. Senyum Bryan terkembang lebar, dia senang melihat Harshad baik-baik saja. Setidaknya tugas menjaga Harshad dan Anya sampai Indonesia sudah selesai. Tinggal bagaimana nanti di Indonesia nanti. Apakah masih berlanjut atau tidak teror dari ayah Anya.
“Bi Isah? Apa kabar, Bi?” tanya Bryan menyalami tangan Bi Isah layaknya seorang ibu.“Bibi baik, Den. Den Bryan tambah ganteng saja,” puji Bi Isah, Harshad yang mendengar langsung menoleh sembari menunjukkan ekspresi mengejek.“Apanya yang tambah ganteng, Bi?” cibir Harshad. Dia melangkah masuk membiarkan Bi Isah dan Bryan berbincang-bincang di ruang tengah.“Shad, Anya tadi udah naik,” teriak Bryan. Harshad diam saja tak merespon. Selanjutnya seorang pelayan menghampiri Harshad.“Anda ingin makan malam apa, Tuan?” tanyanya.“Ah, tanya Bryan dan Bi Isah saja,” jawab HarshaAnya terbangun dari tidurnya pukul sembilan malam. Dia tadi sempat menyadari ada Harshad yang tidur di sampingnya, tapi sekarang laki-laki itu sudah menghilang entah kemana. Dia celingukan mencari sosok yang sudah dia tunggu itu. Tidak menemukan Harshad, dia melangkah ke kamar mandi membersihkan badannya yang terasa lengket karena belum mandi semenjak sampai di Indonesia. Dia mengabaikan apapun yang terjadi di luar, menikmati mandinya adalah hal yang sangat dia sukai. Ada yang sangat menyenangkan di dalam hatinya, tapi dia tidak tahu apa itu. Mungkin salah satunya adalah bisa lolos dari penjagaan orang bayaran ayahnya di bandara New York. Ritual mandinya sudah selesai, seperti biasa, rumah Harshad selalu tenang layaknya hanya dia yang tinggal di sana. Karena merasa lapar, dia berniat turun untuk makan malam dan mencari Harshad adalah tujuan utamanya. Semoga tidak terjadi apa-apa padanya. Anya turun, di tangga melingkar itu dia disapa oleh dua pelayan, persis
Helen dan ayahnya berjalan tenang menuju taman rumah. Mereka sudah pindah dari hotel yang pertama kali menjadi tempat mereka bersembunyi. Kini mereka berada di salah satu apartemen milik tuan besar. “Ayah merasa baikkan?” tanya Helen. Laki-laki yang menjadi ayahnya itu tersenyum sembari menepuk tangan putrinya, “Ayah berhutang banyak pada kalian, aku tidak mengira akan bertemu denganmu lagi, Helen. Ayah tidak tahu apa yang akan terjadi pada ayah kalau tidak ada Doni,” ujar Arga mendongak melihat hamparan langit yang luas. Mata Helen berair, dia menggenggam tangan keriput milik ayahnya, “Ayah, aku yang seharusnya berterima kasih, tidak ada orang yang mencintaiku setulus cinta ayah,” balas Helen. Dia menyeka air matanya yang luruh. “Benar kata orang, kalau cinta pertama seorang putri adalah cinta ayahnya, dan aku sudah merasakannya, Ayah,” tambah Helen lagi. Arga menghela nafasnya panjang. Dia tersenyum. “Tapi mungkin kalimat itu tidak berlaku untuk Cryst
Ruangan berwarna cokelat dengan kombinasi warna hitam itu sangat mencekam bagi para penghuninya. Ada yang sedang memainkan mouse dan komputer, ada yang menghadap layar besar berisi seluruh rekaman CCTV di daerah itu. Jane berdiri di belakang orang yang mengoperasikan komputer yang khusus menangani CCTV. Tangannya mengepal erat terlebih lagi setelah ia mendapat kabar dari Gala bahwa Anya sudah tidak ada di New York, kalau anaknya bisa lolos, berarti memang penjagaan yang dia siapkan sudah tidak bekerja dengan baik. “Tuan, ponsel Nona Crystal bisa dilacak untuk terakhir kalinya. Tapi sekarang sudah tidak bisa lagi, Tuan.” Anak buah Jane datang memberi laporan, Jane menoleh semangat. “Tapi sudah tidak bisa dilacak lagi?” tanya Jane tidak jadi bersemangat, Anton mengangguk pelan. “Kenapa tidak bisa?”“Mungkin ponsel kehabisan daya, Tuan.”“Baiklah, di mana lokasi terakhir ponsel itu?”“New York, Tuan.” Mendengar jawaban Anton, tanpa Jane kontrol,
Anya berpamitan pada ibunya, dia benar-benar pulang ke mansion Harshad hanya untuk berenang. Sekarang, berenang di malam hari sudah bukan hal yang asing bagi mereka berdua. Harshad mengemudikan sendiri mobil sport hitam kesayangannya. Ada banyak hal yang harus dia selesaikan setelah ini. “Shad?” panggil Anya. “Hmmm.”“Kamu nggak pengen ngajak aku belanja, gitu?” tanya Anya tanpa mengalihkan perhatiannya dari jalanan di depannya. “Belanja?” tanya Harshad tak percaya. “He'eh. Kapan-kapan belanja ya, Shad?” ujar Anya melingkarkan tangannya ke lengan Harshad. “Enak kali dikau,” balas Harshad sambil tertawa. “Iya, kasihani aku lah, Shad. Kalo nggak minta ke kamu, aku minta ke siapa, dong? Masa ibu? So impossible, kan?”Bibir Harshad manyun menahan tawa sambil kepalanya masih mengangguk-angguk mendengar ocehan Anya. “Atau gini aja wes, kalau kamu nggak mau nanggung kepengenan aku, kasih aku kerjaan, gimana?” tanya Anya. Harshad lan
“Ya sudah, Ayo!” Harshad mengiyakan ajakan ibunya berbelanja. Anya dan Harshad saling diam di meja makan. Fokus menghabiskan makanan mereka masing-masing. Bi Isah melirik Anya berkali-kali, pastinya Bi Isah berpikir apa Anya berhasil membujuk Harshad untuk bertemu dengan Nyonya Arose. Menyadari apa yang dilakukan oleh Bi Isah, Anya menunjukkan tangannya pada Bi Isah sebagai tanda Oke. Senyum Bi Isah segera lahir. “Ajak ibu, kamu?” tanya Harshad. “Hah? Apa?” dia terkejut, Anya sedang melihat Bi Isah. “Kamu pengen ibumu diajak apa tidak?” tanya Harshad memperjelas pertanyaannya. “Emangnya boleh aku ngajak ibuku?”“Boleh, lah. Siapa yang ngelarang? Nanti biar ibumu menemani ibuku belanja, terus kita jalan-jalan, haha,” jawab Harshad membuat Anya berdecak. “Mana bisa?” gumam Anya. Sebenarnya dia sangat bersemangat kalau ibunya diajak, sudah lumayan lama mereka tidak berbelanja bareng. “Loh aku seriusan, Nya. Kalau kamu pengen ngajak ibu ka
Perjalanan Anya dan Harshad diisi dengan tawa, bagaimana tidak, Anya selalu saja mempermainkan mood Harshad. Anya bukanlah perempuan yang ribet, palingan ribetnya Anya kalau mau workout itu saja. Kalau diajak olahraga sama Harshad pasti ada aja alasannya. Bahkan Anya rela memutari kamar luas Harshad hanya untuk memperlambat berangkat mereka olahraga. “Tapi sekarang udah enggak, ya?” balas Anya sedikit tidak terima. Dia meminum minuman dingin milik Harshad yang ada di mobil.“Heh, heh, apa itu main minum-minum aja, lu?” tanya Harshad panik sembari merebut botol minumnya. “Enak,” kata Anya polos sambil meminta lagi. “Jangan! Ngawur! Nanti aja beli coklat di mall,” balas Harshad membuat bibir Anya menciut. “Apa, sih? Enak loh itu,” tanya Anya lagi, dia berusaha mengambil minuman di samping Harshad. “Enggak, Nya. Itu minumannya khusus buat aku, kamu nggak boleh.”“Lah kenapa?”“Ya karena itu buat laki-laki, buat kamu ada juga, tapi aku
Sampai di mall, keinginan Harshad untuk membiarkan ibunya berbelanja dengan Helen terwujud. Anya hanya tertawa melihat Harshad dengan polosnya meminta izin pada ibunya untuk membiarkan Helen bersama ibunya. “Bu?” panggil Harshad. Arose yang sedang membenarkan rambut dan melepas maskernya hanya menjawab dengan gumaman. “Ibu belanja sama Nyonya Helen aja, ya? Harshad mau keluar sama sekretaris Harshad,” tambah Harshad. Helen menoleh dan melihat dia perempuan yang berdiri di samping putranya. “Mereka siapa?” tanya Helen. “Ini Anya, temen Harshad di New York. Dan ini Nyonya Helen, ibunya Anya,” jawab Harshad. Arose segera mengulurkan tangan menyalami Helen. “Halo, saya Arose, ibunya Harshad,” kata Arose. “Saya Helen, Nyonya.”“Ya sudah, Bu. Harshad sama Anya pergi dulu,” pamit Harshad. “Iya, nanti langsung ke rumah utama, kita makan malam,” pesan Arose sambil melambaikan tangan pada putranya. “Oke, mom’s,” jawab Harshad melengang semb
Gala dan Arnold berdiri di depan orang yang duduk bersila di kursi ruang tamu rumah mereka. Gala menundukkan kepala, sedangkan Arnold yang tak tau apa-apa mengangkat kepalanya dengan tenang. Suasana rumah itu sunyi senyap tak ada suara kecuali suara tutup korek api yang dimainkan oleh Jane. Arnold tak menunjukkan ekspresi apapun. Dia memainkan rokok di tangannya. Jane suka melihat wajah tak berdosa yang ditunjukkan oleh Arnold. Sejak dia mengenal Arnold, memang ekspresi seperti itu yang selalu ditunjukkan Arnold, seolah tak takut oleh apapun dan siapapun. “Sepertinya kau sudah mengira ini akan terjadi, Arnold,” kata Jane. Dia senang sekarang, Arnold langsung membuang pandangannya ke beberapa anjing peliharaannya yang dikurung oleh anak buah Jane. “Iya, dan aku juga sudah tau kenapa kau terus-terusan menggangguku,” sahut Arnold berjalan menghampiri hewan kesayangannya itu dan melepasnya dari kandang besi. Arnold menoleh melihat reaksi Jane sebentar, laki-laki itu me