Share

Pistol

Dooorrr

Harshad menurunkan pistolnya, matanya membulat, dia langsung membuang pistolnya setelah menyadari apa yang baru saja dia perbuat. “Anya?” panggil Harshad.

Perempuan yang mengenakan hiasan rambut berbentuk hati tersebut tersenyum. Tangan kanannya berada di perutnya dan satu lagi seolah ingin meraih Harshad untuk dia jadikan tumpuan, tapi gagal.

Anya terjerembab, duduk sambil masih tersenyum. Harshad mendekat, menyangga kepala Anya dengan pahanya, dia tak bisa berkata apa-apa.

“Bryan! Danu!” teriak Harshad, memanggil orang-orang yang pasti saat ini ada di rumahnya. Dia panik, khawatir juga. “Anya, kamu baik-baik saja? Maafkan aku?” ucap Harshad.

“Aku baik-baik saja, aku tidak apa-apa,” jawab Anya. Dia tersenyum sekali lagi dan kemudian menutup matanya.

“Anya!” teriak Harshad menggoyangkan lengan Anya.

“Nona Anya,” panggil seorang pelayan menyadarkan Anya dari keterkejutan. Dia mengambil nafas panjang setelahnya, Anya masih bisa melihat pistol yang digunakan Harshad untuk menodongnya, tapi dia tidak terluka.

“Apa tadi Harshad menembakku?” tanya Anya masih terbengong, dia takut sekali.

“Tidak, nona. Tuan muda tidak menembak siapapun,” jawab pelayan tersebut. Anya mengambil nafas lega, ternyata dia pingsan tadi hanyalah sebuah halusinasi yang berlebihan.

Anya menyandarkan tubuhnya pada lemari kaca di belakangnya. Dia masih bisa melihat pistol yang ada dalam halusinasinya tadi, pistol itu terletak di atas meja di depan Harshad. Dan Harshad?

“Weh, kenapa lu bisa makan sesantai itu sih?” tanya Anya mendekati Harshad, dia sedang memakan makanan yang dibawakan Anya tadi.

“Terima kasih makan malamnya,” jawab Harshad. Dia pergi dari ruang tengah, tangannya menyelipkan pistol kebelakang jas. Tentu saja Anya terkejut, dia menutup mulutnya dengan kedua tangan.

Kemudian dia menoleh melihat pelayan yang menyapanya tadi, mereka sedang membersihkan pecahan vas bunga. Anya melihat darah di sana, saat pelayan tersebut bersama-sama membersihkan vas. Tangan salah satu pelayan terluka.

Tapi dua pelayan tersebut tak menghiraukan darah di tangannya. Itu menandakan mereka sudah terbiasa dengan darah, begitu pikir Anya. Dan baru kali ini Anya benar-benar takut dengan ancaman Harshad tentang ginjalnya.

“Silahkan istirahat, nona. Kamar nona sudah saya siapkan,” ucap seorang pelayan yang tiba-tiba datang dari sisi kanan ruang tengah. Anya tak menjawab apa-apa, dia menoleh ke sekeliling, ada kemungkinan dia kabur atau tidak, kali ini dia takut bukan main.

Wajah setenang apapun bisa menjadi seorang psikopat, dan bisa jadi semua orang yang ada di rumah ini adalah psikopat. Anya berjalan sambil memeluk dirinya kembali ke kamar. Dia meninggalkan makan malamnya dan langsung masuk ke bawah selimut.

Pikirannya berkelana, dia belum bisa memejamkan mata karena masih paranoid. Bagaimana bisa ada pistol di bawah bantal sofa? Apa jangan-jangan di semua tempat ada pistol dan alat-alat berbahaya seperti itu.

“Astaga Anya, kenapa sih lu mikir aneh-aneh, positif thinking aja kenape? mungkin itu tadi pistol mainan,” suara batin Anya membimbing akal sehatnya.

“Oke Anya, lo harus tenang dan ga boleh nunjukin reaksi takut, bisa kan?” gumam Anya pada dirinya sendiri.

Tapi dia tetap tidak bisa menenangkan pikirannya, akhirnya Anya bangkit dari berbaringnya. Perlahan-lahan menyingkap satu persatu bantal yang ada di kamar tersebut.

“Huwaaaah,” ucap Anya terkejut, dia menutup mulutnya dengan tangan agar tak ada yang mendengar suaranya.

Melemparkan bantal yang ada di tangannya, dan ternyata benar dugaannya. Ada sepucuk pistol di bawah bantal, lengkap dengan amunisinya. Keadaan pistol siap tembak. Mata Anya masih membulat karena terkejut, tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya sama sekali.

***

Harshad berjalan menuju ruang kerjanya, dia mencari Bryan di kolam renang tapi tak ada. Jadi bisa dipastikan kalau Bryan dan Danu berada di ruang kerja sekarang. Alis Harshad menyatu, membuat kerutan kening yang jelas memberikan kesan dingin untuk siapapun yang melihatnya.

“Bryan,” panggil Harshad. Bryan dan Danu yang sedang fokus menatap layar komputer menoleh.

“Tuan muda,” jawab Bryan. Dia berdiri menghampiri Harshad. Lalu Harshad memberi isyarat pada Bryan untuk mengikutinya. “Saya tinggal dulu, nanti kalau ada apa-apa tinggalkan saja di meja, dan kamu boleh pulang seperti jam biasanya,” ucap Bryan pada Danu.

“Baik, sekretaris Bryan. Terima kasih,” balas Danu menunduk memberi hormat pada dua orang yang berdiri di depan pintu tersebut. Bryan mempersilahkan Harshad berjalan lebih dulu.

Bryan terdiam, kenapa Harshad sampai naik lift, sepertinya Harshad akan mengajaknya ke rooftop. Dalam perjalanan naik ke rooftop Harshad melepaskan jasnya. Dan terlihatlah pistol yang disembunyikan Harshad.

“Pistol ini?” tanya Bryan terkejut. Dia mencabut pistol dari tempat Harshad menyembunyikan.

“Apa aku harus benar-benar mengatakannya?” tanya Harshad.

Mereka sampai di rooftop, Harshad melemparkan rokok pada Bryan. Bukan hal yang sulit bagi Harshad untuk merokok, tapi memang dari ayahnya pun tidak ada yang merokok.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Bryan, duduk di samping Harshad. Wajahnya masih menunjukkan raut khawatir, karena dia tau, Harshad hanya akan menggunakan pistol itu ketika merasa terancam.

"Kenapa sih lu? Gue itu ngajak lu kesini biar lu bisa ngerokok, here is smoking area,” balas Harshad.

“Nggak, nggak.” Bryan menatap Harshad tak percaya, “Nggak mungkin tiba-tiba pistol itu lu pake lagi tanpa alasan, Harshad,” tambah Bryan. Dia berdiri meminta penjelasan yang detail pada Harshad.

Harshad mengambil nafas panjang, dia menurunkan kakinya yang dia silang. “Iya, Anya yang ganggu tidur gue tadi, apa elu gak peringatin dia?”

“Anya? Nona gak diundang itu?” tanya Bryan memastikan.

"Hmmm.”

“Shad, gue tadi udah peringatin, bahkan dia pas baru keluar dari kamar dan dia berdiri di balik sofa sambil merhatiin elu gue udah tarik dia sampe ke kolam renang dan di kolam renang gue bilang kalo dia gak boleh ganggu elu apapun yang terjadi,” jawab Bryan menjelaskan, Harshad tertawa dong, melihat Bryan panik seperti itu, seperti tidak mau disalahkan.

“Ya gue percaya sama elu, tapi coba bayangin dah, kalo tiba-tiba dia kena tembakan gue? Dia kan nggak sengaja kalo dia beneran bangunin gue,” kata Harshad. Itu yang sedari tadi dipikirkan oleh Harshad.

“Pistol ini?” gumam Bryan.

“Iya, untung pistol itu gak ada amunisinya tadi,” jawab Harshad memahami kebingungan Bryan. “Dan itu juga peringatan buat lu, kenapa nggak lu isi pistolnya?”

“Gue lupa ngecek,” balas Bryan. “Lu diapain sampe bisa kebangun?"

"Gue liat tadi ada makanan di meja, pasti dia abis naruh makanan buat gue, terus gak sengaja nabrak meja kaca di samping sofa, kan ada vas nya tuh, nah itu vas jatuh,” terang Harshad. Bryan mengangguk perlahan, dia tau kalau itu memang sebuah ketidaksengajaan.

“Apa Anya punya rasa ya buat elu?” gumam Bryan.

“Rasa apaan? Jengkel iya,” balas Harshad dengan tenangnya. Kemudian dia mulai berpikir. “Eh, lu juga nyimpen pistol di bawah bantal kamar gue kan?”

“Kamar lu yang mana?”

"Semua.”

“Iya, gue taruh di bawah bantal semua,” balas Bryan, dia ikut memikirkan apa yang akan dituju Harshad. “Berarti di kamar Anya juga ada,” seru Bryan.

Harshad mengangguk mantap, “Ayo turun!”

Mereka berjalan cepat kembali ke kamar, berharap semoga pistol yang ada di kamar utama juga tak ada isinya. Bryan menelpon seorang penjaga untuk melihat keadaan Anya.

"Jangan, biar gue aja,” sela Harshad melarang.

“Baik, tuan muda,” balas Bryan, kemudian mereka saling tatap dan mengangguk meyakinkan.

Lantai dua puluh delapan sudah menunggu mereka, lift terbuka dan para penjaga segera menyambut mereka. Pikiran Harshad hanya tertuju pada Anya, pasti Anya shock melihat dia menodongkan pistol padanya tadi.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status