Jonathan berjalan mengitari ruangan. Tiba-tiba saja ruangan yang sedari awal tegang, kini semakin tegang.
"Semua lepaskan keyboard! jangan ada lagi yang menjalankan komputer!"
Ia mulai memeriksa satu per satu komputer timnya. Setiap mata melotot memandangi layar monitor di hadapan mata masing-masing, sangat khawatir kalau tiba-tiba Jonathan menemukan sesuatu yang mencurigakan di dalam komputer mereka.
Tiba giliran pemeriksaan di komputer Hexel. Jonathan menunduk tepat di atas pundaknya, dadanya yang bidang dan lengannya yang kekar kini begitu dekat dengan wajah Hexel. Ia menahan nafas agar jantungnya tidak berdegup kencang, namun tetap saja trik itu tidak berhasil.
Jonathan menoleh ke arah Hexel, wajah mereka bertemu dengan sangat dekat. Entah mengapa Jonathan merasakan sebuah getaran aneh dari dalam hatinya memandang wajah Hexel, ia segera berdiri dan berpindah ke komputer Yoga. Ia mencoba teknik yang sama dengan yang ia lakukan pada Hexel, tapi ia tidak merasakan apa-apa dengan Yoga.
"Aneh, kenapa jantung gue berdegup ya tadi pas liat wajah Hexel, ah, kacau kali pikiran gue," bisik hati Jonathan.
Ia segera kembali ke ruangannya karena tidak mendapati kecurangan dari anggota timnya.
"Aneh, siapa yang mencuri data? kenapa tadi ada laporan tapi sekarang hilang?" gumam Jonathan sambil memegang dagunya.
Jonathan mengarahkan anggota tim menuju ke laboratorium. Mereka sudah terlambat 10 menit dari jadwal yang telah ditentukan. Ia sudah siap jika CEO akan memarahinya lagi. Laporan misterius yang tiba-tiba menghilang itulah penyebabnya, ke depannya ia akan menyelidiki hal itu.
Semua anggota tim memasuki laboratorium yang lebih tepatnya seperti sebuah aula. Ruangannya luas dan setiap sisinya dipenuhi berbagai teknologi canggih. Mereka duduk di kursi berbaris yang sudah disediakan. Di bagian depan terdapat layar yang sangat besar. Jonathan duduk di bagian depan seorang diri, CEO belum datang. Seorang wanita berpakaian rapi menenteng berkas menghampiri Jonathan.
"Mohon tunggu sebentar, Pak, hari ini yang hadir Tuan Besar, CEO hanya memantau dari ruangannya," wanita itu mengabarkan situasinya. Jonathan hanya mengangguk.
Tidak lama kemudian, seorang yang duduk di kursi roda memasuki ruangan. Ia langsung menuju ke bagian depan berseberangan dengan tempat duduk Jonathan.
"Silahkan dimulai, Pak," ucap wanita tadi.
"Baik, terima kasih." Jonathan mulai menyalakan layar di dinding. Secara otomatis layar hologram juga menyala. Sebuah gambar ikon aplikasi New World yang berbentuk bulat seperti bola dengan beberapa animasi pengiringnya pun tampil pada layar. Semua mata tertuju pada layar.
"Kami sudah berusaha semaksimal yang kami bisa. Hasilnya sudah mencapai 90%. Aplikasi New World akan berjalan baik dalam ruang PC maupun mobile, dan sudah mendukung semua jenis software sistem. Aplikasi ini bertema tentang Daily Life, sehingga kami menggunakan slogan, Your Daily Partner.
Setiap user (pengguna) yang melakukan install aplikasi, mereka akan berkomunikasi dengan system center (sistem pusat) yang dikendalikan oleh robot NW0100GMI, selanjutnya akan diteruskan ke tiap-tiap panel sesuai dengan perintah dari user.
Aplikasi ini akan menghubungkan user kepada kebutuhannya hingga pada masalah spesifik. Misalkan mereka membutuhkan kebutuhan pokok seperti beras, gula, atau kebutuhan anak seperti pampers, tinggal melakukan permintaan kepada System Center, dalam waktu antara 5 sampai 10 menit permintaan akan dikirimkan ke rumah user. Begitu juga jika ingin bepergian, membutuhkan tenaga kebersihan, privat, hingga sekedar teman chatting semuanya tersedia, media sosial baik untuk internal user maupun dihubungkan dengan media sosial lain semuanya bisa.
Jadi, user benar-benar akan memiliki dunia baru yang memudahkan seluruh aktifitasnya."
Jonathan mengakhiri ikhtisar presentasinya. Ia memberi hormat kepada Tuan Besar, lalu kembali duduk. Raharja Kusuma atau lebih dikenal dengan sebutan Tuan Besar mengangguk-angguk tanda puas dengan penjelasan Jonathan. Selanjutnya mereka melakukan diskusi seputar produk yang akan diluncurkan itu. Tinggal 10% lagi untuk penyempurnaan yang lebih kepada performa dan gaya yang lebih mengesankan pada aplikasi.
***
Mazaya (Hexel) merebahkan diri di sofa. Sepulang kerja ia sering mampir di rumah teman dekatnya, Vivian, melepaskan lelah dan mencurahkan seluruh isi hatinya pada sahabat karibnya. Terkadang ada juga Irmas, pria yang tetap setia kawan dari sejak SD hingga sekarang sudah bekerja.
Vivian meletakkan se-bukcet ayam goreng yang sangat fenomenal itu. Dengan girang Mazaya melahapnya.
"Lo itu kenapa menerima pekerjaan itu? sangat bahaya buat lo. Ingat, lo itu cewek, Zay." Vivian tidak habis pikir pada sahabat dekatnya yang bergabung dengan sekelompok mafia dan menerima tawaran menyamar itu.
"Hanya itu satu-satunya cara agar gue dan emak bisa terus hidup, Vi. Lo lebih nggak mau lagi kan kalo gue jadi perempuan panggilan," tukas Mazaya. Ia mengunyah ayam goreng dengan cepat. Sementara Vivian melotot mendengar ucapan sahabatnya. Meskipun topik tentang pekerjaan Mazaya selalu dibicarakan, namun setiap pertemuan selalu menjadi hal yang asyik untuk tetap dibahas.
"Mending lo kerja di tempat gue, lumayan bisa buat nambah uang belanja emak lo," Irmas menimpali.
"Lo tau berapa duit yang gue butuh? 1,5 Milyar, guys. Bayangkan itu, dapet darimana duit segitu? kerja di tempat lo paling cuma bisa buat beli cabe doang. Ini semua gara-gara bapak sialan itu! ngapain juga dia minjem duit segede itu, pake sertifikat rumah, motor, kebun, dan semua harta di rumah jadi jaminan. Lo juga harus tau, semua harta itu udah ilang di gondol rentenir, tinggal rumah gue itu satu-satunya yang tersisa. Hanya butuh waktu kurang dari tiga bulan gue harus ngelunasin semuanya." Mazaya meluapkan seluruh amarahnya pada kedua temannya.
"Hidup ini kejam, guys! gue menempuh jalan ini taruhannya adalah nyawa. Sama juga kalo gue kerja yang lain, pada akhirnya nyawa gue atau emak gue yang akan melayang." Mazaya kembali merundungi nasibnya.
"Sabar, sabar, sob. Kita doain deh, semoga lo baik-baik aja. Pokoknya kalo lo butuh sesuatu bilang aja biar kami bantu," Irmas menghibur temannya yang putus asa itu.
"Kalo terjadi sesuatu sama gue, cuma gue mau minta tolong jagain emak gue. Dia satu-satunya kebahagiaan hidup gue," mata Mazaya mulai mengembun. Vivian memeluknya berusaha merasakan kepedihan sahabatnya.
"Mending lo nikah aja, Zay, supaya ada tumpuan hidup lo." Mendengar ucapan Vivian, Mazaya melepaskan pelukannya.
"Ogah, gue nggak akan nikah. Gue benci yang namanya laki, apalagi kayak bapak gue, nggak, nggak banget," bibir Mazaya terangkat menunjukkan kejengkelannya.
Mendengar ucapan Mazaya, Vivian tertawa terbahak-bahak.
"Awas kalo lo nikah, gue bakal tabok mulut lo itu."
Mereka lalu tertawa lepas. Bagi Mazaya, tertawa adalah sebuah hal yang sangat sulit ia dapatkan, kecuali jika bersama kedua sahabatnya itu.
"Gue nggak akan jatuh cinta. Buat gue cinta itu udah mati, nggak ada yang namanya cinta. Cinta hanya akan membuat penderitaan berkepanjangan, contohnya emak gue. Karena cintanya sama bapak gue, mau aja diperlakukan seperti budak. Hmmmh, kasian nasib emak gue," Mazaya masih terus berceloteh. Kedua sahabatnya selalu menjadi pendengar yang setia. Ia memang dikenal pemberani di kalangan teman-temannya sejak sekolah dasar dulu. Itulah sebabnya, Irmas selalu mengikutinya hingga kini.
______________________________
Halo, hai, Kakak-kakak kece sahabat Mazaya alias Hexel... ketemu lagi pada bab ke-3...
Jangan lupa berikan like dan komentarnya ya ...selamat membaca, semoga terhibur...
Mazaya tiba di rumah ketika hari sudah malam. Ia mendapati emaknya sedang menyapu."Udah bersih, Mak, nggak usah disapu terus." Mazaya menyalami tengah emaknya dan menciumnya. Emaknya tersenyum bahagia melihat putrinya sudah kembali."Udah pulang, Zay? makan sono, emak udah masak enak kesukaanmu." Hal yang paling ditunggu-tunggu seorang ibu adalah waktu kepulangan anaknya dari tempat kerja, lalu sang anak memakan makanan buatannya. Begitu juga dengan emaknya Mazaya."Siapp, Mak!" Meskipun sebenarnya sudah kenyang, Mazaya tetap pergi ke dapur untuk menyenangkan hati emaknya. Ia tidak ingin mengecewakannya satu kali pun.Mazaya duduk di ruang makan, menghadap makanan kesukaannya, ikan tuna bakar, tumis pakis campur bunga pepaya, dan sambal iris tomat hijau. Melihat menu kesukaannya, segera ia menyendok nasi ke dalam piring berikut lauk dan sayurnya.Ia mengingat segala hal yang telah terjadi dalam keh
Dengan ragu ia menyebutkan pendidikan terakhirnya sambil menunduk."Ijazah terakhir SMA, tapi gue pernah kuliah jurusan manajemen bisnis empat semester."Pria itu tersenyum."Tidak apa-apa, jangan malu. Apa saja keahlian lo?""Gue punya sertifikat beberapa jenis seni beladiri dan sertifikat kursus teknologi informasi dan digital marketing. Kalo dibutuhkan, sekarang juga bisa gue ambil," ucap Mazaya saking semangatnya. Ia tidak ingin kehilangan kesempatan."Oke, sebentar lo ambil, dengerin gue dulu. Gue akan menyekolahkan lo sampe lulus sarjana, tapi syaratnya maksimal 3,5 tahun lo harus lulus dengan predikat minimal cumlaude. Memiliki kemampuan bahasa asing minimal Inggris, Jepang, dan Cina. Lo bisa daftar ke berbagai universitas di luar negeri untuk mendukung pendidikan lo."Mazaya curiga kenapa pria itu begitu baik, padahal mereka baru saja kenal. Ia hanya tahu nama pria itu Zeta
Pukul 05.30 pagi.Mazaya memasuki sebuah gedung yang sudah agak tua dan terletak di pinggiran kota Jakarta. Gedung itu adalah markas besar mafia Gen-X yang memiliki anggota lebih dari 300 orang. Mafia Gen-X sendiri berbeda dengan mafia kebanyakan, mereka lebih mengedepankan kualitas personal anggotanya sehingga tidak banyak yang berhasil masuk dalam kelompok mereka. Setiap anggota yang baru bergabung atau calon anggota baru harus memiliki kualifikasi khusus, misal bidang teknologi informasi, bahasa asing, manajemen bisnis, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, kelompok Gen-X selalu diperhitungkan oleh para pengusaha baik dalam negeri maupun luar negeri.Selain itu, jika kelompok mafia lainnya memiliki bisnis utama mengarah pada hal negatif seperti narkotika, tapi tidak untuk Gen-X. Usaha utama mereka adalah pengembangan software dan jasa digital marketing. Sudah menjadi rahasia umum jika ingin bekerja sama dengan mafia Gen-X harus rela 'merogoh kocek' yang tidak sedikit.
Mazaya masih lurus menatap monitor. Bola matanya yang kecokelatan menari-nari seiring ketikan program yang terus memanjang memenuhi screen komputer. Tugasnya hari ini membuat efek yang dinamis pada software New World. Ia semakin berhati-hati dalam bekerja, sebab semua perangkat sudah dipasang alat pengintai.Ia melirik jam tangan merk Expedition yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 16.00, waktunya untuk pulang. Ia teringat sore ini rapat di markas, meskipun dia tidak diundang, tetapi dia sangat penasaran untuk mengetahui hasilnya."Yog, Ger, gue duluan, ya. See you tomorrow (sampai ketemu besok)," pamit Mazaya alias Hexel."Bye, be careful (hati-hati di jalan)," ucap Yoga dan Gery hampir bersamaan."Udah mau pulang, Hex?" Meta memperhatikannya dari tempat duduknya."Iya, duluan, ya." Hexel melambai sambil berlalu. Meta mengerucutkan bibirnya tidak mendapat perhatian dari Hexel.Mazaya mengendarai motornya menyusuri jalan
Pintu mobil terbuka, keluarlah seorang wanita paruh baya. Pemuda yang membawa motor Mazaya tadi membukakan pintu mobil yang sebelah, lalu turunlah Mazaya dipapah oleh pemuda itu."Zaya! apa yang terjadi sama lo, Nak?" Bu Maimunah langsung menghampiri putrinya yang berjalan tertatih."Maaf, Bu. Tadi ada kecelakaan di jalan, saya me....""Cuma kecelakaan kecil kok, Mak, udah biasa. Nggak apa-apa, paling juga besok udah sembuh," sela Mazaya memotong ucapan Rafa.Rafa tertegun sejenak, bingung mau mengatakan apa lagi."Boleh tuliskan nomor ponsel lo di sini?" Rafa mengulurkan ponselnya. Mazaya menatap pria itu sejenak, lalu mengambil ponsel itu dan menuliskan nomornya."Nama?" tanya Rafa lagi."Zaya," jawabnya singkat, ia sudah sangat ingin masuk ke dalam memeriksa lukanya, namun pria itu tidak juga pergi."Kalau anak ibu butuh bantuan atau pengobatan,
Sepanjang perjalanan Mazaya hanya diam sambil memperhatikan pemandangan di jalanan. Bu Maimunah yang banyak berbicara mencairkan suasana yang terasa kaku."Nak Rafa kerja di mana?" Bu Maimunah membuka percakapan."Di kantor pengembangan software, Bu." Rafa tidak menyebutkan identitas yang sesungguhnya. Ia memang memegang komitmennya untuk menyembunyikan identitasnya kepada siapa pun. Ia benar-benar tidak ingin dikenal, padahal selalu membicarakan perusahaannya."Oh, sama dengan Zaya kalo begitu. Dia juga kerja di tempat begitu, apa ya nama kantornya? apa, Zay?" Bu Maimunah berpaling pada putrinya yang acuh pada percakapan mereka."Emak, kenapa sih cerita pekerjaan segala," ketus Mazaya merengut."Ih, lo itu ya. Ah, namanya ada Garuda-Garudanya gitu, cuma gue nggak tahu pasti juga." Bu Maimunah mencolek lengan Mazaya yang tidak mau bekerjasama dengannya."Oh, Garuda Mediatama bukan?
Tiga hari berlalu.Mazaya sudah kembali masuk kerja, hanya tinggal sedikit bekas luka di jidatnya yang masih membekas, dia menempelnya dengan hansaplas agar tidak menimbulkan pertanyaan."Halo, Hexel, akhirnya lo udah sehat. Kenapa lo bisa sakit sih?" Yoga dan Gery langsung menyambut kedatangannya."Nggak tau juga, mungkin lagi musim kali, banyak yang demam di kompleks gue. Maaf ya, udah ngerepotin lo berdua." Hexel meletakkan tas punggungnya di sandaran kursi."Iya, nih, pekerjaan lo berat banget, gue nggak terlalu memahami bagian itu. Jadi belum kelar deh." Yoga memasang wajah bersalah karena tidak mampu menyelesaikan tugasnya."What? gawat! kalo gitu mulai sekarang jangan ganggu gue, oke? gue mau selesaikan hari ini juga. Tapi lo berdua mesti ambilin gue makan siang, minuman capuccino dingin, plus kentang goreng. Oya satu lagi, sama es krim." Hexel menahan tawanya sebisa mungkin agar terlihat serius.
"Emang napa lo?" Rafa keheranan melihat ekspresi tidak biasa sepupunya yang terkenal cool sama dengannya."Lo punya cewek, nggak?""Hah?" Rafa terkejut mendengar pertanyaan sepupunya yang tiba-tiba dan aneh itu."Kenapa lo tanya begitu?" tanya Rafa heran."Udah deh jawab apa susah amat," gerutu Jonathan."Nggak! napa lo? lo dapet cewek?" gurau Rafa sambil tersenyum.Jonathan mendekat ke arah Rafa, lalu dipeluknya sepupunya itu. Sontak Rafa berontak."Lo napa sih, aneh banget, tau?" Rafa duduk menjauh dari Jonathan."Apa lo merasakan sesuatu yang aneh?" Jonathan bertanya dengan wajah polos yang lucu."Merasakan apa?" Rafa tergelak. "Jangan-jangan lo nggak normal, ya kan? Oh Tuhan, ada dari keluarga gue yang nggak normal?"Jonathan meninju lengan Rafa."Makanya cariin gue cewek, gue mau ngetes apa gue