Arsen menaikkan sebelah alisnya, bingung dengan perkataan terakhir dari Andreo. “Tunggu sebentar! Aku masih sibuk mencerna kisah masa lalu Claire, dan tiba-tiba saja kau membahas tentang ayahku dan ayah tiri Sergio. Bisakah kau jelaskan lebih detail?” tanyanya sambil menatap Andreo yang sedang meminum air dibantu oleh Juan."Lebih baik kau menanyakannya pada ayahmu secara langsung, Nak. Tidak baik mendengarkan cerita dari orang lain, yang bisa jadi justru tidak sesuai dengan kejadian yang sebenarnya. Aku hanya tidak mau membuatmu berprasangka buruk karena tidak mendengarnya secara langsung dari ayahmu,” jawab Andreo dengan nafas sedikit tersengal, kemudian tersenyum pada Juan.Arsen mengangguk-angguk sambil menatap ayahnya. “Silahkan, kalau ayah berkenan mau menceritakan masa lalumu padaku, aku akan merasa sangat tersanjung. Mengingat bahwa selama ini aku terlihat seperti bayangan saja, bukan?” katanya dengan nada sarkastis, membuat Juan mengerutkan keningnya.“Arsen, apa yang kau b
Arsen melangkah tak tentu arah di rumah Leo dengan dada bergemuruh. Jika mereka berpikir bahwa dirinya langsung meninggalkan balkon, maka mereka salah besar. Ia masih duduk di kursi dekat perapian untuk menenangkan diri, sebelum melakukan hal-hal yang nantinya akan disesalinya. Ternyata keputusannya itu tidak salah. Ia justru mendengar fakta yang sesungguhnya mengenai masa lalu Juan dan ibunya. Rasanya ingin sekali ia kembali ke tempat itu dan memaki-maki Juan atas perbuatannya dulu. Seharusnya ia bisa merasakan kasih sayang orang tuanya, jika saja Juan tidak egois. Tidak perlu merasa seperti terbuang atau tidak diinginkan selama hidupnya, kalau saja Juan tidak bersikap seperti seorang pengecut.Amarah itu semakin membesar saja setiap detiknya karena perkataan Juan terus terngiang-ngiang di benaknya. Kedua matanya nyalang menatap meja bar yang ada di sudut ruang teater, mendorong kakinya untuk semakin mendekat kesana dan melampiaskannya pada minuman. Kedua tangannya mengepal dan b
“Sedang apa kau di sini?” tanya Sergio dengan wajah datar.“Eh, aku sedang...sedang menunggui temanku,” jawab Laura gugup.“Teman? Sejak kapan kau memiliki teman di sini? Temanmu hanya aku saja, bukan?” tanya Sergio dengan nada biasa saja, namun mampu membuat wajah Laura memerah karena mengerti dengan maksud yang tersirat dari kalimat itu.“Kau sendiri, sedang apa di sini? Bukankah kau sedang ada urusan dengan Leo?” tanya Laura mencoba mengalihkan topik pembicaraan.Sergio menaikkan sebelah alisnya. “Aku sedang mencari seseorang,” jawabnya singkat.“Seseorang? Kalau boleh tahu siapa? Claire?” Laura mencoba meredam rasa cemburu yang semakin membesar di hatinya.“Laura,” jawab Sergio singkat, namun memberikan efek yang luar biasa bagi Laura. Tubuhnya sempat menegang selama beberapa saat, namun setelah itu kembali rileks.“Eh? Laura? Siapa dia? Aku belum pernah mendengar namanya,” tanya Laura dengan senyum dipaksakan.Sergio menyipitkan matanya, membuat Laura mengumpat dalam hati
Sudah lima menit Arsen mondar-mandir di depan kamar yang terletak di sebelah kanan tangga. Suara teriakan Claire tadi sempat membuatnya panik, sehingga ia bergegas meninggalkan ruang teater untuk mencarinya. Sampai akhirnya ia berhenti di depan kamar ini. Ingin sekali ia langsung masuk dan melihat apa yang terjadi, namun ada bagian dari dirinya yang tidak setuju dan ada yang memaksanya untuk segera masuk. Hal yang lagi-lagi membuatnya bingung sekaligus penasaran, apakah dia benar-benar memiliki alter ego seperti yang dikatakan oleh Leo, ataukah hanya halusinasinya saja?Suara bentakan terdengar dari dalam kamar, namun kali ini terdengar sedikit lebih berat dengan logat British yang kental. Tanpa menunggu lebih lama lagi, bergegas Arsen membuka pintu kamar dengan hati-hati agar tidak mengganggu. Saat sudah masuk ke dalam kamar, tubuhnya mematung tatkala melihat Claire yang sedang berbaring sambil membentak-bentak Paul. Tidak terlihat seperti Claire yang biasanya, tapi lebih terlihat
Claire terbangun karena perutnya keroncongan. Ditambah lagi suara teriakan yang terdengar cukup keras, membuatnya tak bisa lagi kembali mengarungi alam mimpi. Ia menoleh ke sampingnya, mendapati Arsen yang masih tidur sambil memeluknya. Mereka bahkan masih belum berpindah dari sofa panjang sejak tadi. Dengan hati-hati ia melepaskan diri dari pelukan Arsen dan turun dari sofa. Badannya terasa begitu pegal dan kaku, membuatnya mengerang saat berusaha menggerakkannya.Setelah tubuhnya sudah kembali lemas, ia keluar dari kamar untuk mencari makanan di dapur. Dalam hati ia mengeluh karena letak dapur cukup jauh dari kamar yang ditempati oleh ayahnya. Ia masih harus melewati lorong dan ruang makan yang membuatnya sebenarnya malas untuk ke sana. Saat kakinya hendak melangkah ke lorong, suara erangan itu kembali terdengar. Ia menoleh ke kanan, mencoba untuk memastikan bahwa suara itu berasal dari sana. Erangan itu terdengar lagi dengan begitu jelas, membuatnya berbalik menuruni tangga men
"Kita adalah saudara?” Josh terkekeh geli. “Lelucon apa yang ingin kau sampaikan padaku?”“Aku tahu, kau ingin membalas dendam pada Juan Forbes atas kematian ayahmu melalui aku. Pada awalnya aku membencimu karena kukira kau melakukan hal yang konyol. Tapi pengakuan Juan saat dia kira aku sudah pergi benar-benar mengejutkanku,” jawab Arsen sambil memegang lengan pemuda itu. “Aku bukanlah anak kandung Juan Forbes, Josh. Aku adalah anak kandung Daniel William, ayahmu.”Josh melotot tak percaya. “Tidak mungkin! Ayahku tidak mungkin memiliki anak selain aku. Dia adalah laki-laki yang setia...”“Kita tidak tahu apa yang tersembunyi di dalam hati seseorang, Josh. Banyak rahasia yang tersimpan begitu lama karena keegoisan orang-orang tertentu, dan orang lain yang harus menanggung akibatnya.” Arsen tersenyum miris. “Kita hanyalah pihak yang tidak tahu apa-apa di sini, namun justru menjadi korban karena kebungkaman mereka.”Tak berapa lama kemudian, Claire datang dengan membawa sebaskom air
Di tengah-tengah jadwal yang begitu padat, Leo tetap menyempatkan dirinya untuk pergi ke sebuah rumah sederhana dua tingkat di pinggiran kota Portland. Meskipun rumah itu terlihat sederhana di luar, tidak ada yang akan mengira bahwa bagian dalamnya terlihat mewah. Pria itu mendengus ketika melewati lorong setelah menaiki tangga. Pemilik rumah ini terlihat sekali tidak mau dianggap sebagai orang kaya. Atau mungkin sebenarnya dia hanya ingin menghindari pegawai pajak. Tapi siapa yang tidak kenal dengan Jack Reeves? Bujangan tampan yang tidak hanya dikenal sebagai kepala FBI, tetapi juga dikenal sebagai pemilik gedung apartemen mewah yang ditempati oleh para artis dan orang-orang kaya yang menginginkan hunian mewah dengan tingkat keamanan yang tinggi. "Kau merindukan Rose?" tanya Leo yang begitu memasuki ruang billiard, justru mendapati pria itu tengah memandangi foto Rose di ponselnya di dekat jendela. Pria itu tidak menanggapi. Tangan kanannya sesekali mendekatkan gelas berisi angg
Sergio meminum segelas anggur merah seraya memandang taburan bintang di langit dari balik dinding kaca. Siang tadi, ia benar-benar membuat perhitungan pada Laura karena sudah menyamar sebagai Chloe selama bertahun-tahun. Gadis itu beralasan ingin membuatnya berhenti memikirkan Claire dengan jalan pintas, layaknya gadis jalang yang haus akan belaian. Kenyataan bahwa gadis itu bukanlah anak kandung dari Andreo Cortez, atau yang lebih dikenalnya sebagai Andrey Ivanovic, membuatnya lepas kendali dan menyiksa gadis itu tanpa ampun. Ia mengalihkan pandangannya pada buku harian berwarna biru milik ibunya. Setelah mengetahui alasan Laura yang membohonginya hanya demi membantu ayahnya, ia membaca kedua buku harian milik ibunya dengan wajah datar. Kedua buku harian itu justru membuatnya tertawa terbahak-bahak, alih-alih merasa menyesal atau marah. Baginya, buku harian itu adalah bentuk kekonyolan dari ibunya yang selama ini gemar menyakiti siapapun termasuk dirinya."Sergio?" panggilan Lau