Situasi di rumah yang selama ini hangat dan penuh canda tawa, tiba-tiba menjadi tegang. Dada Aliya naik turun karena emosi yang ia tahan. Sedangkan Reza dan ibunya tampak biasa saja.
“Maaf, sepertinya aku butuh istirahat. Aliya permisi bu.” Setelah mengatakan hal tersebut Aliya meninggalkan meja makan dan menaiki tangga lalu masuk ke dalam kamarnya.
Yulia menatap anak laki-lakinya dengan pandangan yang seolah tak percaya.
“Kenapa Aliya berubah tidak sopan begitu? Apa karena dia bekerja, jadi dia menyepelekan kamu?”
“Tidak bu. Aliya pasti sedang kelelahan. Nanti biar Reza yang bilang ke Aliya masalah ini. Ibu jangan menekannya ya.” Setidaknya Reza masih berusaha untuk melindungi istrinya. Karena memang dia sangat mencintai Aliya.
“Ibu tidak menekannya Za. Ibu cuma mau cucu. Dan itu kan sudah menjadi tugas dia sebagai istri kamu. Bukan malah bekerja untuk mengungguli suaminya.”
“Aliya tidak pernah berniat untuk mengungguli Reza bu.”
“Kamu ini membela dia terus. Dulu ibu juga wanita karir, tapi ibu berhenti setelah menikah dengan ayah kamu. Buktinya ibu bisa hamil kamu setelah sebulan menikah.”
“Tapi ibu dulu yang bangga karena punya menantu seperti Aliya.”
“Za… Cukup. Hari minggu ini kamu harus membawa istri kamu buat cek kesuburan dia. Ibu tidak mau tahu, pokoknya kalian harus cepat memiliki anak. Kalau tidak—” Yulia ragu untuk mengatakannya.
“Kalau tidak apa?”
“Ibu ada rencana lain. Sudah ya, ibu mau pulang sekarang.”
“Biar Reza antar bu.” Reza berdiri dan bersiap untuk mengantar ibunya.
“Tidak usah. Kamu temani saja istri kamu. Biar ibu naik taksi.” Yulia akhirnya pergi malam itu. Setelah dia membuat lubang yang sangat besar di kehidupan rumah tangga anaknya.
***
Reza masuk ke dalam kamarnya. Dilihatnya Aliya yang berbaring di tempat tidurnya sambil menatap ke arah dinding. Dengan perlahan dia naik ke atas ranjang besar itu dan masuk ke dalam selimut yang sama dengan Aliya.
“Maafkan ibu ya. Dia tidak bermaksud untuk menyinggung kamu. Ibu hanya iri karena teman-temannya sudah memiliki cucu yang bisa mereka banggakan.” Reza menyentuh lengan istrinya tersebut dan diusapnya dengan lembut.
Aliya kemudian membalikan tubuhnya dan menatap ke arah suaminya.
“Aku kan sudah bilang padamu Za. Aku tidak mau memiliki anak. Seharusnya kamu mengatakan hal itu pada ibu. Kenapa kamu malah mengatakan mau mengusahakannya? Apa yang mau kita usahakan?”
Reza menghela napasnya dalam-dalam. Memikirkan bagaimana caranya ia menjawab pertanyaan tersebut tanpa menyakiti hati istrinya.
“Apa kamu tidak bisa memikirkannya lagi? Kamu benar-benar tidak mau punya anak?”
Aliya mengangguk dengan yakin.
“Hmm, sebenarnya aku takut ibu tidak bisa menerima keputusan kamu. Karena itulah aku berbohong padanya.”
“Lalu sampai kapan kita harus berbohong Za?”
“Sampai ibu lupa masalah tentang cucu. Untuk sekarang lebih baik kita ikuti saja apa kata ibu ya?” Reza kemudian memeluk istrinya tersebut. Meskipun saat ini dia juga bingung. Akan jadi bagaimana rumah tangga mereka jika tanpa ada tangis dan tawa seorang anak di dalamnya?
***
Satu minggu kemudian Aliya mendapatkan tugas di luar kota. Dia dipilih untuk membawakan acara di sebuah acara parade busana yang dilaksanakan di kota Medan. Dia saat ini sedang meninjau tempat bersama temannya yang bekerja sebagai staff di tempatnya bekerja.
Aliya baru saja menceritakan tentang niatan dirinya untuk tidak memiliki anak pada Vanya temannya tersebut.
“Jadi kamu serius tidak mau hamil dan punya anak?” tanya Vanya masih tak percaya.
Aliya mengangguk yakin.
“Apa suami kamu tidak masalah dnegan hal itu?”
“Tentu saja dia tidak masalah, karena dia sangat mencintaiku. Tapi yang jadi masalah sekarang adalah ibu mertuaku. Dia ingin kami segera punya anak, dan suamiku tidak mau mengatakan kalau aku memang tidak mau punya anak.”
“Memangnya kenapa sih Al? Banyak wanita yang mau punya anak loh.”
“Dan aku adalah wanita yang tidak mau.”
“Lalu bagaimana kamu akan menghadapi ibu mertua kamu itu? Dia pasti semakin tidak sabar jika tidak mendapatkan kejelasan dari kalian berdua kan?”
Aliya mengangkat kedua bahunya.
“Itu sih biar suamiku saja yang mengurus.”
“Kamu terlalu menggampangkannya Al. Apa kamu sudah menanyakan pada suami kamu pendapat dia tentang tidak memiliki seorang anak? Bagaimana kalau dia sebenarnya juga menginginkan keturunan?”
Aliya terdiam. Dia tak pernah memikirkan hal itu. Dirinya hanya menyampaikankan keinginannya tanpa menanyakan pendapat Reza sendiri.
“Aku rasa apapun keputusanku, itu juga jadi keputusan suamiku,” jawab Aliya dengan percaya diri.
“Kamu yakin? Bagaimana kalau akhirnya dia memakai wanita lain untuk memiliki keturunan? Apa kamu siap dengan hal itu? Apa kamu masih mau mempertahankan prinsip kamu itu?”
Aliya menjadi tak tahan. Kenapa Vanya sekarang malah menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu?
“Aku akan menanyakannya nanti setelah aku pulang.” Aliya kemudian meninggalkan Vanya begitu saja. Dia tak mau lagi membahas soal anak dan anak. Memikirkannya saja sudah membuatnya lelah, apalagi memilikinya.
Vanya hanya bisa menggelengkan kepalanya dan menatap kepergian temannya tersebut. Dia hanya khawatir kalau sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada rumah tangga Aliya. Bagaimanapun juga, dia tahu bagaimana kisah mereka.
Aliya dan Reza sudah berpacaran selama tujuh tahun dan belum lama ini memutuskan untuk menikah. Dan selama ini memang Reza yang banyak mengalah pada Aliya, karena memang sifat Aliya yang lebih dominan dalam hubungan mereka berdua.
Mereka menikahpun setelah Reza melamar Aliya berkali-kali. Karena Aliya selalu mengatakan nanti dan nanti hingga usia mereka tak muda lagi.
“Apapun bisa terjadi dalam lima hari. Apalagi jika rumah tangga mereka sedang tidak baik-baik saja seperti ini. Terlebih saat mertua sudah mulai ikut campur,” gumam Vanya. Dia menaikkan kedua bahunya kemudian berjalan menyusul Aliya yang sudah jauh di depan.
“Al! tunggu aku!”
Aliya menoleh, dia tertawa melihat Vanya yang berlari sekuat tenaga sambil membawa tubuh delapan puluh kilonya.
BUK!
Aliya menabrak seseorang ketika dia berjalan tanpa menatap ke depan.
“Maaf,” kata laki-laki yang ditabrak oleh Aliya tersebut. Dia memungut ponsel Aliya yang terjatuh. Layarnya menyala menunjukkan foto pernikahannya dengan Reza dengan layar yang retak.
“Oh, seharusnya saya yang minta maaf,” sahut Aliya sambil menerima uluran ponselnya tersebut.
“Yah, pecah,” desisnya kecewa. Dia harus mengganti layar ponselnya. Padahal hanya terjatuh dari tangannya ke lantai, tapi langsung retak.
Aliya mengangkat wajahnya dan sudah tak melihat laki-laki yang dia tabrak tadi. Dia sudah menghilang di balik kerumunan orang. Dan berganti dengan wajah Vanya yang sudah sampai di depannya.
“Cari apa?” tanya Vanya ketika Aliya sibuk melihat ke belakangnya.
“Huh? Bukan apa-apa. Ayo temani aku perbaiki ponselku dulu.”
“Kenapa dengan ponselmu?”
“Layarnya retak. Dan ini menganggu penglihatanku.”
“Apa?! Masa cuma begini sampai tiga hari?” Aliya meradang, ketika karyawan service ponsel tersebut mengatakan jika butuh waktu tiga hari untuk memperbaiki ponselnya.“Kalau ibu tidak mau silahkan ke service center lain. Pasti sama kok, paling cepat tiga hari pengerjaanya. Karena ponsel ini keluaran terbaru, dan belum banyak yang memiliki alatnya untuk mengganti layarnya.”“Sudahlah Al, tidak apa-apa. Cuma retak layarnya, masih bisa dipakai kan?” Vanya yang saat itu menemani temannya tersebut untuk memperbaiki ponselnya merasa kesal juga dengan sikap Aliya yang berlebihan.“Kamu seperti baru mengenalku saja Van, aku tidak mau melihat sesuatu yang tidak sempurna seperti ini.”Aliya berpikir sejenak. Sepertinya tidak apa-apa dia menaruh ponselnya di sana selama tiga hari. Toh kantornya akan menghubunginya melalui Vanya.“Ya sudah
Aliya sedang membaca naskahnya untuk event hari pertama yang diselenggaran hari ini. Ketika dia sedang duduk sendiri, tiba-tiba seorang lelaki berdiri di depannya. Meskipun ia tak menatapnya, namun Aliya yakin jika orang tersebut adalah laki-laki, tercium dari aroma parfume maskulinnya sama dengan yang Reza pakai.“Selamat siang, saya Sean Ravindra kameramen yang baru bergabung hari ini. Salam kenal dan mohon bantuannya.” Laki-laki itu menyapa dengan sopan dan semangat. Mungkin karena ini adalah pekerjaan pertamanya.“Hmm,” sahut Aliya tanpa menoleh. Dia masih fokus dengan naskah yang dia baca.Sean masih berdiri di depan Aliya. Dia ingin mengatakan sesuatu tapi ragu karena sepertinya wanita tersebut tidak menyambutnya dengan baik.Sampai akhirnya Aliya menoleh ke arah Sean, karena laki-laki itu tak kunjung pergi setelah menyapanya.“Apa lagi?&
“Aliya!” Ini adalah suara tertinggi yang pernah Reza keluarkan untuk istrinya, “Apa-apaan kamu ini?”Aliya sama sekali tak menghiraukan suaminya yang terus mengatakan rasa keberatannya akan keputusan istrinta tersebut. Fokus Aliya masih menatap ibu mertuanya yang tak bisa berhenti menatapnya dengan tegang.“Ibu cukup, lebih baik ibu pulang dulu sekarang. Biar Reza bicara berdua sama Aliya.” Tanpa menunggu persetujuan dari ibunya, Reza membawa istrinya masuk ke dalam kamar.Apa yang baru saja dikatakan oleh Aliya, sama sekali tak bisa ia terima dengan akal sehatnya. Bagiamana mungkin istri yang sangat dicintainya selama ini tega mengatakan hal seperti itu di depannya sendiri.“Lepasin Za, sakit!” Aliya melepaskan cengkeraman tangan Reza pada pergelangan tangannya.“Bilang padaku kalau apa yang kamu katakan tadi cuma bercanda.&r
“Kamu pasti mau kan?” Aliya meraih pergelangan tangan Rubi dan mencengkeramnya dengan kuat. Sehingga Rubi yang terkejut pun sontak melangkahkan satu kakinya ke belakang.“Jangan membuatku takut! Ada apa dengan kamu sebenarnya?” Rubi benar-benar tidak mengerti dengan sikap Aliya kali ini. Apa benar wanita itu serius ingin mencarikan istri untuk suaminya? Tapi kenapa?Berbagai pertanyaan itu terus bersarang di kepala Rubi saat ini. Dia dapat melihat tatapan mata Aliya yang tampak memohon padanya.“Tolong kamu terima tawaran aku ini. Aku janji aku akan melunasi semua hutang kamu, dan memberikanmu hidup yang lebih layak dari pada kehidupanmu saat ini.”Perkataan dari Aliya membuat Rubi teringat dengan pekerjaan kotornya selama ini. Selama dia bekerja sebagai wanita malam dia selalu menangisi nasibnya setelah selesai melayani pelanggan hidung belang yang datang padanya.Dia bukannya tak ingin mencari pekerjaan lainnya. Rubi sudah pernah mencobanya, namun dia selalu gagal karena latar belak
Malam harinya Aliya sudah sampai di depan rumah Ruby pukul tujuh malam kurang lima menit. Dia menatap jam tangan mahal yang melingkar di tangannya. Jari-jarinya yang lentik ia ketukkan berkali-kali di kemudi setirnya, menunggu waktu yang tepat untuk keluar agar ia tak perlu membuang-buang waktunya menunggu di rumah kumuh itu.Dan setelah waktu sudah menunjukkan pukul tujuh tepat, Aliya keluar dari dalam mobilnya. Ia menurunkan satu persatu kakinya yang mengenakan sepatu heels edisi terbatas yang hanya ada lima di Indonesia. Aliya melakukannya bukan tanpa alasan. Ia ingin dirinya tetap menjadi pusat perhatian meskipun akan ada dua wanita dalam rumahnya nanti.Belum sempat Aliya mengetuk pintu rumah Ruby, pintu sudah lebih dulu terbuka. Ruby keluar dengan penampilan barunya. Rambutnya yang sebelumnya berwarna terang kini sudah ia cat menjadi warna hitam kecokelatan. Ruby juga mengenakan dress berwarna hitam di bawah lutut dan sepatu berwarna senada.Aliya menatap wanita di yang berdiri
“Kamu harus tahu ini Ruby. Kepiting saus tiram ini adalah makanan kesukaan Reza. Apa kamu bisa memasaknya untuk suami kamu nanti?” tanya ibu Reza yang sudah mulai akrab dengan Ruby setelah mengobrol beberapa saat.“Bisa nyonya,” jawab Ruby menambah poin tambahan Ruby di mata ibu Reza saat ini.“Aliya juga bisa bu. Kenapa ibu menanyakan hal itu pada Ruby?” sahut Aliya yang tidak mau kalah.“Ibu tahu. Tapi kan kamu jarang memasakannya untuk Reza. Kamu terlalu sibuk, apa kamu lupa itu Aliya?” “Bu…” Reza kali ini berbicara. Melihat istrinya tampak kecewa untuk kedua kalinya membuat perasaanya juga menjadi tidak enak.“Kenapa Za? Benar kan apa yang ibu katakan?”Reza menghela napasnya. Dia tak bisa menyangkalnya memang Aliya lebih sering melakukan kesibukannya sendiri dari pada melakukan tugasnya menjadi seorang istri. Namun Reza mengerti itu semua. Dia sangat tahu apa yang membuat istrinya bahagia, yaitu dengan membiarkannya menjadi wanita karir.“Tidak apa-apa Za. Memang benar apa yang
“Ya?!” Aliya terkejut bukan main ketika atasannya memberikannya tugas untuk mengunjungi dan melakukan wawancara untuk korban bencana alam yang berada di tempat pengungsian. Ia tak bisa menerimanya karena itu bukanlah pekerjaannya. Dia sudah sekian lama berada di di balik meja studio dan tidak mungkin ia kembali ke pekerjaan seperti itu. Lagipula dia sudah lama menjadi pembawa program acara fashion.“Bagaimana bisa kamu memintaku untuk melakukan hal itu?” tanya Aliya tak mengerti.“Ini perintah langsung dari direktur. Aku tak bisa menolaknya.”“Lalu bagaimana dengan program acaraku?”“Itu—“ Atasan Aliya bernama Damar tersebut matanya lantas bergetar dan melirik ke suatu sudut. Aliya yang menyadari hal itu lalu mengikuti pandangan Damar dan melihat seroang wanita muda cantik sedang memegang kertas berisi scrip untuk acara program miliknya selama ini.“Kamu menggantikanku dengan anak muda itu?!” tanya Aliya yang marah karena ia tak diberitahu apa-apa mengenai hal tersebut.“Ini juga buka
“Ada Aliya di rumah, dan kamu tidak akan merasa kesepian lagi,” lanjut Reza membuat Ruby benar-benar kecewa saat ini. Dia pikir Reza mengatakan itu dengan maksud jika orang yang akan membuatnya tidak kesepian adalah dirinya. Namun ternyata Ruby salah besar.“Sebenarnya aku cukup lega ketika mendengar jika kamu dan Aliya adalah teman dekat dulu. Jadi kamu dan Aliya bisa bernostalgia tentang masa lalu kalian yang indah,” kata Reza dengan senyum yang merekah. Namun tidak dengan Ruby. Dia sama sekali tak bisa tersenyum setipis apapun.“Masa lalu yang indah setan! Bagiku itu adalah masa-masa yang buruk. Penyesalanku karena aku pernah begitu mempercayai wanita itu,” umpat Ruby dalam hati.Ponsel Reza tiba tiba berdering, dan itu adalah panggilan dari ibunya. Reza pun segera mengangkatnya.“Iya bu?” ucap laki-laki itu begitu dia mengangkat telepon dari ibunya.“Apa kamu sudah sampai di rumah Ruby?”“Oh, iya sudah bu.”pergi dan kunci rumahmu ibu bawa. “Baguslah kalau begitu. Ibu cuma mau bi