Aku pernah ditawari untuk kerja di perusahaan Ayah, tapi menolak karena ingin berwirausaha. Menurutku wirausaha itu tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga, ya minimal kalau sudah maju aku hanya perlu ongkang-angking menerima laba dari hasil penjualan. Pada kenyataannya, kerja di sebuah instansi ataupun berwirausaha sama-sama capeknya.
Harus aku akui, tanpa Ghina aku tidak bisa berbuat apa-apa. Karena kedewasaan Ghina yang mampu mengontrol setiap pekerjaan.
“Ini gue harus gimana, Ghin?”
Ghina menggeram di ujung sambungan telepon. “Ya udah lo tinggal ngomong santai, lo bilang makasih udah berkunjung atau apalah itu semacam basa-basi atau persuasi gitu biar mereka ketagihan.”
“Berbusa dong mulut gue?”
“Bagi orang yang bisa nyerocos kayak lo itu satu hal yang biasa. Lo pasti bisa, okay?”
“Hmm...”
“Ya udah, gue sibuk nih. Nanti gue telepon lagi, fightin
Munafik jika aku bilang tidak senang ketika melewati waktu berdua dengan Raka di sisa hari ini. Tapi di sisi lain, rasa bersalah karena berbohong pada Galih dan menyembunyikan fakta kalau aku bertemu, ah bukan sekadar bertemu tapi hari ini aku malah jalan dengan Raka. Sesuatu yang bisa saja orang sebut sebagai perselingkuhan.Tapi Raka kembali menjadi Raka yang dulu, Raka yang menjadi sahabatku dan dengan suka rela menemaniku ke mana pun aku pergi. Itu dulu, terjadi ketika kami masih duduk di bangku SMA. Dan hari ini, Raka-ku telah kembali.“Kamu pasti sering ke Palembang?” tebakku, ketika kami baru saja sampai di hotel malam harinya.
Bagai ufuk barat dan timur, kita ini sepasang tapi tidak searah. ~RAINA~Kalau saja tidak akan di cap sebagai pasien rumah sakit jiwa, rasanya ingin sekali aku membanting semua barang yang ada di kamar hotel ini juga memecahkan cermin yang masih berani mengejek bayanganku.Tapi buat apa menyesalinya. Aku pun tidak menolaknya. Aku pun hanyut dalam permainannya. Aku pun... Ah, sudahlah. Terlalu banyak membela diri padahal tidak pantas sama sekali.Dering ponsel kembali menyadarkanku pada kenyataan jika ini bukan mimpi. Dan kejadian semalam nyata terjadi.Mencari letak ponsel yang lupa kutaruh dari semalam. Bahkan aku sampai tidak memikirkan di mana keberadaan benda pipih itu. Aku terlalu larut dalam balutan rindu yang pada akhirnya membuatku menyesal dengan sendirinya.Kelabakan mencari ponsel, aku sampai mengeluarkan semua isi tas yang kemarin ku pakai jalan-jalan. Satu dari banyaknya benda yang jatuh di at
Galih menjemputku di bandara. Dia maksa. Padahal sudah kubilang, aku lebih baik naik taksi. Bukan tidak ingin dijemput, tapi pasti dia akan curiga dengan keadaan mataku yang bengkaknya luar biasanya ini. Terlebih bentuk mataku yang sedikit sipit, membuat bengkaknya semakin terlihat.“Ah, calon imam lo kangen banget ini.”Galih tidak segan untuk memelukku walaupun masih di bandara. Aku membiarkannya sejenak sebelum mendorong tubuhnya menjauh. Dia tidak protes.“Mata lo kenapa, Rain?” matanya memicing mengamati mataku.“Efek gak bisa pup, gue nangis.”“Parah banget, gitu aja nangis,” ledeknya menarik pipiku. “Sampai sekarang masih gak bisa pup? Pepayanya gak beli?”Aku hanya menggelengkan kepalanya.“Lo udah sarapan belum, kok lemes banget gitu?” Galih bertanya seraya menggendong ranselku.“Udah,” jawabku singkat.Aku terkesiap saat lengann
Sebulan berlalu, aku kembali menata hidupku. Mencoba melupakan kejadian yang terjadi sebulan ke belakang. Terus bersugesti dalam hati, dan menganggap kejadian malam itu hanya mimpi. Lagi pula sebulan ini aku tidak pernah melihat Raka di mana pun. Jadi larut dalam penyesalan juga tidak akan menyelesaikan masalah, lebih baik berjalan maju, berpikir positif, dan berharap yang terbaik.Hari ini aku sibuk membereskan barang di apartemen dengan bantuan Galih dan Ghina. Aku resmi keluar dari rumah dan pindah ke apartemen. Rencana pindah dari beberapa minggu yang lalu, tapi harus tertunda karena Kak Kinan melahirkan. Dan aku yang kebagian mengurus si kembar. Itu membuatku kewalahan karena mereka super aktif dan tidak bisa diam.Ditambah lagi tour ke beberapa kota untuk membuka cabang Raighin Lupis. Beruntung kali ini ditemani sama Ghina, dan tidak bertemu Raka seperti sebuah kebetulan lagi.“Rain, ini figura keluarga bagusnya dipasang di sini deh biar kel
Merasa kurang enak badan, aku memilih berdiam diri di meja kerjaku. Membaluri dahiku dengan minyak angin supaya rasa pusing yang aku rasakan sedikit mereda.Pintu ruangan terbuka, Ghina baru saja masuk setelah mengecek perlengkapan dapur kafe. Ia memperhatikanku sebelum duduk di kursi kerjanya.“Masih pusing lo?”Aku mengangguk.“Mau minum obat?”Kali ini aku menggeleng. “Lo tahu kalau gue gak bisa minum obat.”Anti obat sebenarnya. Kalau sakitnya cuma pusing, atau pun flu aku lebih baik tidak minum obat.“Kayak anak kecil,” ledek Ghina. “Yaudah mending gue anterin lo pulang deh. Istirahat aja.”Aku menggeleng cepat seraya memijit-mijit dahi. “Gak. Di apartemen sepi. Di rumah terlalu rame. Mending di sini aja. Tiduran bentar juga paling ilang pusingnya.”“Yaudah. Lo tidur deh,” balas Ghina sambil membuka laptopnya.Tidur dalam posi
Pagi-pagi sekali aku sudah berlari ke kamar mandi, berdiri di depan cermin besar. di tanganku ada dua buah alat uji kehamilan dengan merk berbeda yang Ghina beli kemarin. Perasaan cemas terus melandaku, takut jika memang aku benar-benar hamil anak Raka.Membaca seksama cara pemakaiannya. Dengan tangan bergetar aku merobek bungkus keduanya. Kedua benda pipih itu kini berada di genggamanku. Memejamkan mata, menguatkan tekat, menghela napas beberapa kali sebelum duduk di kloset. Rasa mulas melanda tiba-tiba saking tegangnya. Meski takut aku tetap mencelupkan dua testpack yang kupegang tadi ke dalam urine pertamaku pagi ini.Pikiranku buyar, berjalan ke sana-kemari dengan langkah terseok. Dalam hati aku terus berdoa semoga hasilnya negatif. Butuh waktu sekitar lima menit untuk aku siap melihat hasilnya.Setelah dirasa cukup, aku mengangkat testpacknya dengan mata tertutup.Berhitung dalam hati.SatuDuaTiga
Me : Ka, aku dalam masalah... DeleteMe : Ka, kamu bilang mau bertanggungjawab...DeleteSudah beberapa kali aku menghapus pesan yang ingin aku kirimkan pada Raka. Kemarin, setelah aku mengirimkan hasil testpack pada Ghina, dan menceritakan pertemuanku dengan Raka dan Diandra di mall, Ghina langsung memberiku wejangan lagi. Kalau aku harus bertindak cepat dan memberitahu semua orang tentang kehamilanku. Makanya, meski enggan aku berusaha untuk memberitahu Raka meskipun itu lewat alat komunikasi canggih yang sedang kutatap ini.Bagaimana pun, janin ini milik Raka. Dan sekeras apapun aku menolak, itu hanya akan membuatku menyalahkan takdir untuk kesekian kalinya.Menghembuskan napas sebentar, mencari kata yang tepat untuk aku utarakan pada Raka. Dengan ragu aku kembali menulis di papan ketik.Me : Aku hamil.SendKali ini aku memberanikan diri u
Author POVLayaknya sebuah kejutan yang tanpa diduga, Raka dipaksa untuk mengikuti ritme Galih yang cepat. Ia bahkan tidak bisa melawan saat Galih menyeretnya masuk ke apartemen Raina dan melanjutkan adu jotosnya tanpa ingin dilihat oleh penghuni apartemen yang lain.Tidak terhitung berapa jumlah tonjokan yang melayang di wajah Raka karena memar sudah memenuhi seluruh bagian wajah pria itu. Sementara hanya sesekali Raka melakukan perlawan. Sosok sahabat yang dulu merangkul, kini berubah menjadi iblis jahat yang kapan saja siap membunuhnya. Sebagai sesama pria, Raka tahu kondisi Galih sekarang. Dia pun melakukan hal yang sama pada selingkuhan mantan istrinya dulu.“BANGUN LO!” teriak Galih lantang, memenuhi ruangan.Tubuh Raka seperti tidak memiliki tulang untuk menopang. Lemas dan sulit untuk bergerak. Tapi ia berusaha kuat karena melihat Raina yang sedang menangis ketakutan di bawah sofa. Ia harus kuat demi wanita itu, wanita