Di gedung santriwan,
Hari itu adalah hari pertama bagi Abi di pesantren Darul Haq. Dirinya sungguh tak terbiasa dengan suasana disana. Abi memang sangat pendiam dan sulit sekali bersosialisasi dengan orang lain. Apalagi, dengan orang baru.
"Nah, ini teman baru kalian ya disini. Coba perkenalkan diri dulu nak." salah satu ustadz yang mengisi pelajaran pertama abi, mempersilahkan abi untuk memperkenalkan dirinya. Abi cukup canggung, sejak tiba di pesantren Darul Haq kemarin, jumlah Abi berbicara bisa dihitung dengan tangan. Abi mengangguk pelan menyutujui permintaan ustadznya.
"Assalamualaikum." Abi memulai dengan salam, mata dan pandangan nya masih tunduk ke arah lantai.
"Wa'alaikumussalam," jawab teman teman dan ustdznya serentak.
"Nama saya Abian Airuz Aldari. Saya duduk di kelas 12," ujarnya sangat singkat. Tiba tiba ia terhenti, ia kebingungan memperkenalkan dirinya. Keringatnya pun mulai menuruni dahi, terlihat sangat gugup.
"Abian sebelumnya dari sekolah mana, nak?" tanya sang ustadz berdiri dari duduk dan menghampirinya.
"Dari, emh... dari sekolah Islam Al Faruq." napasnya tak beraturan. Pandangan matanya masih belum berani beranjak. Ia masih menatap lantai dibawah.
"Baik, Abian biasanya dipanggil siapa?" ujar ustadz kembali bertanya. Abi cukup kesulitan untuk berbicara, jika tak ditanya, maka ia tak akan memberi tahu.
"Abi," jawab nya dengan singkat.
"Wah, Abi. Gak perlu malu malu nak, disini teman temannya baik kok. Terimakasih untuk perkenalan nya, silahkan duduk di kursi pojok sana ya." Sang ustadz menengadahkan telapak tangannya ke arah kursi kosong di pojok kelas bagian belakang. Abi punhanya mengangguk menyetujui. Ia berjalan ke arah yang dimaksud ustadznya. Ia pun mengeluarkan buku pelajarannya dan memulai kegiatan belajar.
"Abi, keliatan gak tulisannya?" tanya seorang teman yang duduk di depan Abi. Abi memang menggunakan kacamata. Temannya khawatir tulisan ustadz di depan tidak terlihat jelas.
"M-m, kurang." Abi sedikit mendongakkan wajahnya. Ia mengerutkan dahi untuk mencoba memperjelas tulisan ustadz di papan tulis.
"Kurang? Kurang jelas?" tanya temannya kebingungan. Anak itu sungguh pelit berbicara, dengan raut bingung temannya kembali bertanya.
"Iya," lanjut Abi sembari menggerakan jarinya agar kembali menulis.
"Sebentar, tak selesaiin dulu ya. Nanti tak pinjemin." teman Abi memutar tubuhnya dan kembali melanjutkan menulis. Abi hanya diam mengangguk.
**********************************
"Udah nulisnya? Kata ustadz gak usah dikumpulin. Sekarang udah waktunya tahfidz. Kamu sehalaqah sama ustadz Ridwan. Nanti bareng aku." teman disebelah kirinya memberanikan diri untuk mengajaknya mengobrol, dengan harapan Abian tak lagi canggung dengan teman teman disana. Abi menutup bukunya, sebuah Al Qur'an ia keluarkan dari laci bawah mejanya. Ia berdiri dari duduk dan melangkah mendahului temannya tadi.
"Lah? Diajakin baik baik malah jalan duluan," tutur temannya kesal, matanya menatap lurus ke arah Abi yang punggungnya sudah mulai tak terlihat. Abi memang sedikit bicara, dirinya tak mau terlalu berlama lama menghabiskan waktu dengan orang lain. Abi pun bergabung dengan teman temna sehalaqahnya. Seperti biasa, ustadz yang mengampu tahfidz Abi, mempersilahkan Abi untuk memperkenalkan diri. Abi rupanya masuk di halaqah tahfidz kelompok A.
"Baik, sekarang giliran Abi," panggil ustadz mengajak Abi untuk menyetorkan hafalan nya. Abi berjalan berpindah tempat menghampiri ustadz dan duduk mendampinginya.
"A'udzubillahi minassyaiithaa ni rrajiim," lantunan ta'awudz lepas dari mulut Abi. Suaranya sangat merdu. Teman teman sehalaqahnya terdiam seketika, meski pendiam tapi rupanya Abi memiliki suara yang sangat luar biasa.
"Pita suaraku menangis mendengar ini," bisik salah satu teman Abi kepada teman yang lainnya.
"Maa Sya Allah, pantes jarang ngomong suaranya emas kawan" saut teman yang tadi mengajak Abi untuk pergi bersama ke halaqah.
"Maa Sya Allah," ucap ustadz sedikit menutup mata dan menggelengkan kepalanya. Terlihat, ustadz sangat menikmati ayat per ayat yang Abi baca.
"Mumtaz!" puji sang ustadz menutup qur'an dan mengembalikan nya pada Abi. Abi menunduk malu, ia berdiri dan kembali ke tempat semula.
"Maa Sya Allah bi suaramu," puji teman yang duduk manis melipat kaki disebelah Abi.
"Maa Sya Allah" ujar teman teman yang lainnya serentak. Abi hanya diam, pandangannya masih ke arah bawah, ia sangat risih berada ditengah tengah antara dua teman disamping nya. Namun, apa bokeh buat? Semasa halaqah, seluruh santri diwajibkan membuat halaqah yang rapi dan tidak ada yang berpencar.
******************************
Pukul 18.20,
Pondok pesantren Darul Haq kembali ramai. Ini sudah saatnya makanَ malam. Abi masih berdiam di kamarnya. Dengan sebuah mushaf yang ia pegang, ia nyaman dalam kesendiriannya.
"Makan makann" teriak santriwan dari luar kamar. Abi memang taj tertarik untuk makan malam. Bahkan siang tadi, ia tak banyak mengirim makanan untuk perutnya.
/klek
"Assalamualaikum." salah satu santriwan membuka pintu kamar. Abi terkejut mendengarnya.
"Wa'alaikumussalam," jawab Abi pelan
"Lho, antum gak makan malem?" tanyanya masih memegang gagang pintu kamar.
"Iya." abi meletakkan mushaf nya dan berjalan mendekati pintu keluar. Jawaban yang sangat singkat dan tanpa basa basi.
"Subhanallah, sabar ya Allah," ujar temannya mengelus dada. Abi mendahului nya pergi ke ruang makan. Berjalan di hadapan nya tanpa permisi. Abi makan satu nampan dengan teman temannya. Cukupbanyak jumlah suapan yang ia makan, hanya saja Abi terlihat risih dan tak nyaman berada disana. Lagi lagi ia harus melakukan semuanya bersama sama. Ia sedikit merasa terganggu harus makan ditengah teman temannya yang ramai mengobrol, dan bercerita.
"Abi askotnya mana toh?" tanya seorang teman memberanikan diri untuk memulai pembicaraan dengan Abi. Mereka masih dalam 1 lingkaran kelompok makan.
"Jakarta," jawab Abi singkat merobek daging ayam dengan tangannya.
"Lho, deket berarti. Jakarta mana, bi?" temannya kembali bertanya, sembari mengambil selada yang yang ada di nampan.
"Jakarta Selatan," lanjut Abi membersihkan nasi nasi di nampan bagiannya. Nasi bagian Abi sudah habis, ia hanya tinggal membersihkan beberapa nasi yang tertinggal disana.
"Owalah."
"ini antum gak mau nambah? Masih ada nih" lanjut temannya yang lain mengambil dan menunjukkan keranjang berisi nasi.
"Gak. Makasih." Abi berdiri mendahulukan teman makan sekelompoknya. Teman yang lainnya hanya diam membiarkan, dan melanjutkan menyantap makan malam mereka yang hampir habis.
Sementara Abi, setelah ia mencuci tangannya. Ia bergegas kembali ke kamar. Selagi kamarnyaَ masih sepi dan belum ada orang, Abi ingin menghabiskan waktunya di kamar itu.
/Klekk
Pintu kamar itu kembali terbuka. Abi memasuki kamar dan mengambil mushafnya yang tergeletak di atas meja yang mendampingi ranjangnya. Abi mengganti kopiah yang ia gunakan, sedikit merapikan rambut dan poninya, mengambil kopiah yang baru di lemari dan memakainya. Abi duduk diatas ranjang nya yang mpuk. Membuka mushaf itu, dan lantunan ta'awudz mulai mengisi heningnya kamar itu. Abi jauh merasa lebih nyaman dalam kesendiriannya. Menghabiskan waktu dan melantunkan ayat ayat suci diiringi suaranya yang merdu.
"Eh, besok bahasa indonesia bukan?" Kyra memulai pembicaraan di kamarnya. Para santriwati kini sudah berada di kamarnya masing masing, sebenarnya ini sudah waktunya mereka untuk tidur. Bel pun sudah berbunyi, tapi Kyra dan teman teman sekamarnya belum mengantuk."Eh, iya.""Ho oh.""Iya," jawab Ataya dan beberapa temannya berbarengan."Wawancara kan berarti?" Kyra mengangkat tubuhnya bangun, ia terlihat cukup antusias."Yoi.""Iyap.""Ho oh.""Iya kayaknya," jawab Ataya mengikuti temannya yang lain."Yeah, gak sabar, ah." Kyra kembali berbaring. Kini punggung bagian belakangnya sudah bersentuhan dengan ranjang mpuk yang diselimuti sprei polos."Dih, kamu mah suka ya kalo ada tugas wawancara?" tanya Ataya."Tau ih, suka banget keknya kalo ada tugas wawancara," sambung temannya."Ho oh, aku tak tertarik. Malas kali lah," ujar teman lainnya melengkapi"Seru lah, bisa keliling keliling pondok. Ket
"Kyr, Kyr. Tugas yang ini udah selesai?" tanya seorang teman yang tiba tiba datang ke mejanya. Sebuah buku tulis terbuka di hadapan Kyra. Beberapa soal ditulis menurun dan masih kosong tanpa jawaban."E-eh, udah kok." Kyra yang tengah sibuk merapikan meja pun terkejut."Tuh ambil aja buku latihan Kyra. Jawaban Kyra bener tadi Alhamdulillah." dagunya sedikit ia angkat, mengarah pada buku tulis di pojok mejanya."Sip, makasih," jawab teman itu, kemudian membawa buku catatannya pergi. Itu bukan masalah yang besar bagi Kyra. Gadis kecil ini sangat suka jika bisa membantu teman teman sekelasnya./Tokk, tokkk"Assalamualaikum, haii hai. Coba liat sini dulu." Kyra bangkit dari duduknya. Ia mengambil sebuah penghapus papan tulis dan sesekali mengetuknya ke atas meja guru, ia mencoba meraih perhatian teman temannya sebentar."Wa'alaikumussalam," jawab teman temannya serentak. Seketika, mereka menghentikan aktivitasnya, dan memfokuskan perhatian pada
"Ini sampai kapan sih kayak gini?" tanya seorang santriwan dalam pikirannya sebelum menikmati tidur malam yang panjang. Ya, itu Abian. Abian memang jarang berbicara, namun sebenarnya seribu satu pertanyaan sedang berlalu lalang di pikirannya. Santriwan lain sudah mulai bermain dalam dunia mimpinya masing masing. Tapi tidak dengan Abian. Menatap langit langit kamar yang luas, ia berbaring diatas ranjangnya. Hari itu, Abian mendapat tempat tidur di bagian atas. Ia sebenarnya, sangat tidak nyaman tidur di kasur yang tinggi, ia juga tak bisa bebas bergerak, karena kayu yang menyangganya itu sering kali berbunyi, ia tak mau mengganggu teman di bawah yang sedang tidur. Perlahan Abian bangun, kamar sebenarnya sudah gelap, tapi Abian sangat menyukai suasananya. Suasana yang jarang sekali ia dapatkan semenjak menjadi santriwan di pesantren itu. Abian gunakan waktu malamnya untuk introspeksi diri, mencoba menyelesaikan pertanyaan pertanyaan seputar hidup yang sejak tadi berlari lari di pikira
“Abi, nanti ke ruangan ustadz ya. Ada yang ingin ustadz sampaikan.” ujar ustadz yang selesai menyimak setoran hafalan Abi pagi itu. Abi hanya diam mengangguk dan pergi kembali ke tempat duduknya di halaqah. Kali ini Abi duduk menyendiri di pojok sambil bersandar ke pagar. Tak heran jika itu menjadi bahan perbincangan santriwan lain, Abi memang sependiam itu. Memang tak sedikit yang mencoba mengajaknya mengobrol, tapi hasiulnya sama saja.“Eh, ajak ngobrol sana. Kasian sendirian si Abi,” ujar salah seorang teman memperhatikan Abi duduk sendiri menggenggam mushafnya.“Lah, biarin aja udah. Dari kemarin juga udah diajak ngobrol sama aja. Emang gitu kali anaknya.“ balas temannya. Sepertinya, banyak santri lain yang malas menanggapi Abi. Sikapnya sangat dingin.“Ho oh, biarin aja udah. Emang dia nyamannya sendiri gitu kali. Ustadz juga ngebiarin. Udah, biarin aja.” Saut teman lainnya yang mendengar.A
“Kyr, nanti temenin ya ke gedung santriwan,” cetus Ataya saat sedang fokus menyelesaikan tugas prakarya. “Mau ngapain ke gedung santriwan?” tanya Kyra terkejut. “Biasa, uang saku Ataya abis. Kemarin Umma titipin ke abang. Ya, jadi mau ngambil uangnya ke abang.” “Owalah, jadi kamu gak megang uang saku sekarang?” “Sekarang masih, tapi tinggal dikit. Ya mungkin besok atau nanti sore. Ataya juga lupa uang yang sisa ada berapa.” “Oke, oke. Nanti Kyra temenin. Bilang aja kalo mau ambil ke gedung santriwan.” “Oke, thanks. Tapi eh tapi, Ataya gak tau kamar Abang sebelah mana. Haish, males sebenernya harus ngambil uang ke sana. Kudu nyari nyari kamar atau paling gak tanya sama ustadz.” Keluh Ataya. “Ya nanti ku temenin. Sanss, kita keliling gedung santriwan nanti.” “Jiakh, cuci mata ya kamu. Wuuuhh, iyooo makasih sebelumnya.” “Gak, astaghfirullah. Yooo, masama.” Selesai sudah obrolan
“Abangmu pendiem banget yaa, dingin dingin gimanaa gitu. Ngerii!!” ujar Kyra saat perjalanan kembali ke gedung santriwati.“Ho oh, emang gitu anaknya. Ngeselin kadang kadang, diajak ngomong kayak gak punya mulut. Diem aja,” balas Ataya merapikan kerdungnya yang sedikit berantakan.Keduanya pergi menuju kantin untuk membeli basreng favorit mereka. Anehnya, Kyra kini menjadi penasaran dengan sosok Abian yang sebenarnya, setelah tadi bertemu. Dia sebelumnya tak pernah melihat laki laki seperti Abian, sosok laki laki yang sangat menjaga pandangannya, dan sedikit berbicara. Benih benih kagum mulai tumbuh dalam benak gadis yang bernama Kyra itu.“Eh, iya abang mu kelas berapa? Lupa Kyra,” tany Kyra penasaran. Sebelumnya, Ataya sudah memberi trahu ia sepertinya, tapi sayangnya Kyra sangat pelupa.“Kelas 12, dia disini cuma setahun doang, habis itu lulus.”“Owalah, dah kela
Sementara itu,Abian dengan kaus polosnya masih sibuk membaca Al – Qur’an di Masjid. Abian memaksakan dirinya untuk keluar kamar sendiri dan menghabiskan waktu di Masjid. Besok sudah masuk pekan ujian tahfidz, Abian ingin mempersiapkan hafalannya semaksimal mungkin. Ia sangat menyukai suasana yang tenang disana. Jarang sekali Abian bisa menghabiskan waktunya untuk bisa napas tenang dan lega seperti ini. Seseram itu orang lain di mata Abian.Di pertengahan Abian membaca A- Qur’an, ia teringat adik perempuan yang menghampirinya sore tadi. Adik perempuan dengan seorang temannya,“Tadi siapa ya yang ngucap salam ke saya?” tanya Abi memutus fokusnya dengan mushaf yang ia genggam.“Kok saya risih kalo inget,”“Kayaknya, temen deket Aya,”Ucapnya dalam hati, sikap teman Ataya yang berjumpa dengannya tadi sore, cukup mengganggu Abian. Mungkin, karena lawan jenis. Sebelumnya, Abi belum
Abian berjalan menuju kamarnya. Seperti biasa, Abian merasa kelelahan setiap kali selesai berinteraksi dengan orang lain. Dirinya pun memasuki kamarnya yang hening dan sepi. Tak ada siapapun selain dirinya sendiri di kamar itu. Sembari mengistirahatkan tubuhnya, pikirannya memaksa Abi untuk memikirkan pertanyaan yang ustadz ajukan padanya di kantor guru tadi. Bukan hal yang mudah bagi Abian untuk memutuskan sesuatu. Pasalnya, anak ini biasa di bantu oleh orangtuanya dalam membuat suatu keputusan, hingga saatnya tiba Abi harus mampu membuat keputusan sendiri. Memang tawaran yang menarik, jarang sekali rasanya Abian mendapat tawaran untuk menjadi perwakilan kelasnya di suatu lomba. Ditambah, Abian adalah sosok yang sangat risih dengan keramaian. Ia tak mungkin sanggup tampil di depan umum, rasanya sangat mustahil. “Tapi, kalo saya tolak tawaran ustadz tadi juga sayang,” ujar Abian dalam hati. Dalam lamunannya, pikiran Abian sebenarnya sangatlah berisik, banyak topik yang