"Eh, besok bahasa indonesia bukan?" Kyra memulai pembicaraan di kamarnya. Para santriwati kini sudah berada di kamarnya masing masing, sebenarnya ini sudah waktunya mereka untuk tidur. Bel pun sudah berbunyi, tapi Kyra dan teman teman sekamarnya belum mengantuk.
"Eh, iya."
"Ho oh."
"Iya," jawab Ataya dan beberapa temannya berbarengan.
"Wawancara kan berarti?" Kyra mengangkat tubuhnya bangun, ia terlihat cukup antusias.
"Yoi."
"Iyap."
"Ho oh."
"Iya kayaknya," jawab Ataya mengikuti temannya yang lain.
"Yeah, gak sabar, ah." Kyra kembali berbaring. Kini punggung bagian belakangnya sudah bersentuhan dengan ranjang mpuk yang diselimuti sprei polos.
"Dih, kamu mah suka ya kalo ada tugas wawancara?" tanya Ataya.
"Tau ih, suka banget keknya kalo ada tugas wawancara," sambung temannya.
"Ho oh, aku tak tertarik. Malas kali lah," ujar teman lainnya melengkapi
"Seru lah, bisa keliling keliling pondok. Ketemu kakel, guru guru. Haish, berasa bebas," jawab Kyra menolak pendapat teman temannya.
"Oh, dia mau ketemu santriwan gans. Dia mau cari yang bening bening kek nya," ujar Ataya meledeknya.
"AHAHAHAA" tawa yang cukup keras dari teman teman Kyra mengisi kamar itu.
"BOLEH JUGA SIH BUND," ledek teman lainnya.
/tok tok
"Hayo, kamar ini kok masih rame? Udah pada tidur belum?" ketukan dan suara ustadzah Aulia terdengar dari balik pintu. Malam itu, ustadzah Aulia yang bertugas. Memastikan seluruh santriwati sudah masuk kamar dan tidur tepat waktu.
"Shttt, shttt...."
"Eh, ehh. Shttt...," para santriwati di kamar itu menghentikan pembicaraan nya. Seketika, kamar menjadi hening. Lampu di sana sudah di matikan. Semua pun akhirnya memutuskan untuk tidur.
**********************
"Yeayy, waktunya wawancara!" Kyra teriak dengan antusias keluar dari kelasnya. Ia bersama teman temannya yang lain membawa buku catatan dan alat tulis. Mereka akan mewawancarai beberapa orang di sana.
"Kita mau kemana dulu nih?" Kyra melanjutkan pembicaraannya sembari sedikit merapikan hijabnya yang kurang rapi.
"Ke- ke gedung santriwan!!" teriak salah satu teman Kyra sambil berlari menghampirinya.
"WUUUUU," surak teman temannya serentak.
"Eh, tapi boleh juga tuh dicoba," sambung Kyra menyetujuinya.
"Halah, sama aja kamu ndok, ndok," ledek Ataya mengalihkan wajahnya diiringi gelengan kepala.
"Hayuk lah, kita mau wawancara bapak penjaga gedung santriwan juga kan? Mending kesana aja dulu." Kyra menunjuk ke arah gedung santriwan yang posisinya ada di sebrang gedung santriwati.
"Yaudahlah, gass aja." angguk salah satu temannya menuruti keinginan Kyra. Mereka pun akhirnya memutuskan untuk menjadikan gedung santriwan sebagai destinasi pertama yang akan mereka kunjungi.
***********************
"Shtt, kita dilarang berisik disini. Cari dulu pak Ahmad nya mana?" bisik Kyra mengendap endap memasukinya gedung santriwan. Arah matanya berpencar ke seluruh penjuru gedung. Saat itu, masih jam pelajaran pertama. Para santriwan tengah fokus belajar di kelas nya masing masing.
"Kayaknya, di dapur gak sih?" ujar Ataya yang juga sedang mencari cari keberadaan pak Ahmad selaku bapak penjaga gedung santriwan.
"Coba aja lah yuk, cek cek," jawab Kyra melanjutkan langkahnya ke arah ruang dapur dan ruang makan.
"Tapi, dapurnya bener kesini kan?" tanya Kyra mencoba memastikan.
"Kayaknya sih bener," jawab beberapa teman lainnya mengangguk. Tak lama dari sana, mereka tiba di depan ruangan yang mereka tuju. Mereka mencari pak Ahmad disana. Kyra lah yang menjadi satu satunya santriwati paling pemberani dengan orang baru. Dirinya tak segan segan memulai pembicaraan dengan orang yang baru ia kenal. Sangat terbuka dan ramah. Kyra yang selalu kelompoknya andalkan setiap kali wawancara.
**********************
Hari sudah semakin siang, jam pelajaran pertama sudah hampir habis. Kelas Kyra masih sibuk berkeliling gedung menyelesaikan tugasnya.
"Alhamdulillah, selesai juga akhirnya. Huh," Kyra duduk disalah satu kursi yang berjejer di depan gedung santriwati.
"Alhamdulilah," ujar teman teman yang lain mengikuti.
"Kumpulin sini bukunya. Habis itu, kita balik lagi ke kelas sebelum jam tahfidz mulai." Kyra membuka buku catatannya. Teman teman lainnya mengikuti dan menyerahkan bukunya pada Kyra. Tugas mereka di pelajaran itu sudah selesai. Mereka mini harus kembali menuju kelas dan bersiap untuk jam pelajaran berikutnya yaitu tahfidz.
************************
Saat waktunya tidur siang,
Seperti biasa, seluruh santri memasuki kamarnya. Kyra sudah bersiap untuk tidur. Tak sah rasanya, jika mereka tak membuat suatu pembicaraan sebelum tidur. Kyra mencoba memulai pembicaraan di kamar siang itu. Anak itu memang tak pernah habis berbicara. Ia sangat suka bercerita dan berbagi cerita.
"Aya, aya, kemarin abang kamu gimana?" Kyra menarik selimutnya. Meski siang hari, kamar itu cukup dingin. Pendingin kamar itu baru saja selesai dibersihkan beberapa hari lalu, ruangan terasa dingin sempurna.
"Hm... Ya gak gimana gimana. Gak tau juga sih, aku belum tengok lagi" jawab Ataya memeluk guling kesayangannya.
"Owalah. Tadi kita ke gedung santriwan gak ngelewatin kelas abang mu ya?"
"Ho oh, entaran deh kalo uang saku dari umma udah abis, Aya kesana lagi. Uang Aya ada di abang. Hahaa."
"Astaghfirullah, jenguk kalo ada perlunya aja ya?"
"Ahaha, iya dong. Tapi Aya penasaran juga sih sebenernya, dia apa bisa gitu hidup di pesantren?"
"Soalnya, di sekolahnya yang lama aja dia susah banget gitu buat main main sama temen temennya. Dia suka banget menyendiri, heran. Kelainan apa gimana tuh anak?"
"Eh, astaghfirullah. Gak boleh gitu. Ya emang gitu kali anaknya, emang pendiem banget apa? Kalo di kelas kita, abang mu kayak siapa diem nya?"
"Ish, gak usah ditanya. Pendiem banget, asli. Di kelas kitaa tuh kayak... Eumm, di kelas kita emang ada yang pendiem? Perasaan bar bar semua."
"Ahahaa, iya juga. Alhamdulillah sih gak ada yang pendiem, enak semua buat diajak main, asik asik anaknya."
"Nah, iya kan? Abang ku gak ada tandingannya. Pendiemmmm banget, subhanallah. Ah, entar aku bawa kamu deh kalo ke gedung abang. Tapi, dia tuh agak risih sama orang, jangankan sama orang, sama adek kandung sendiri aja kalo diajak ngomong dianya risih. Heran."
"Oh, gitukah? Susah juga ya kalo pendiem. Kyra gak ada saudara sih. Gak tau gimana rasanya punya kakak atau adik. Ya diem aja sendiri kalo di rumah omah. Makannya lebih suka di pondok, banyak temen."
"Iya sih. Keliatan dirimu sukanya berkeliaran. Macam lalat cari makan. Wush, fansnya dimana mana yaa."
"Aamiin. Udahlah ini kita napa jadi ngobrol terus terusan sih? Ngakak, yang lain sibuk ngobrol masing masing. Pembahasannya random pula."
"AHAHA, udah ayo ah. Ngakak sampai terkentut kentut saya. Tidur Kyr, tidur." Ataya menggulingkan tubuhnya diatas kasur. Dirinya tertawa geli mendengar ucapan sahabatnya. Tak terlalu lucu, namun caranya berbicara dan menyampaikan sangat sangat berbeda dari biasanya.
"Kamu ngapain, astaghfirullah. Jangan guling guling heh. Rubuh nanti kasur mu!" ujar Kyra dengan nada yang sedikit lebih tinggi dari sebelumnya.
"Ngakak, pengen pipis!! Ah, ku udah di posisi uenak malah kebelet." Ataya melanjutkan tawanya. Ia mencoba bangun dari ranjangnya dan pergi menuju kamar mandi.
"Hilih, gak usah laporan. Pipis ya tinggal pipis sana, lho. Awas, merucut di jalan!!" teriak Kyra melihat Ataya yang semakin menjauh. Pembicaraan mereka pun akhirnya berakhir sampai disana.
"Kyr, Kyr. Tugas yang ini udah selesai?" tanya seorang teman yang tiba tiba datang ke mejanya. Sebuah buku tulis terbuka di hadapan Kyra. Beberapa soal ditulis menurun dan masih kosong tanpa jawaban."E-eh, udah kok." Kyra yang tengah sibuk merapikan meja pun terkejut."Tuh ambil aja buku latihan Kyra. Jawaban Kyra bener tadi Alhamdulillah." dagunya sedikit ia angkat, mengarah pada buku tulis di pojok mejanya."Sip, makasih," jawab teman itu, kemudian membawa buku catatannya pergi. Itu bukan masalah yang besar bagi Kyra. Gadis kecil ini sangat suka jika bisa membantu teman teman sekelasnya./Tokk, tokkk"Assalamualaikum, haii hai. Coba liat sini dulu." Kyra bangkit dari duduknya. Ia mengambil sebuah penghapus papan tulis dan sesekali mengetuknya ke atas meja guru, ia mencoba meraih perhatian teman temannya sebentar."Wa'alaikumussalam," jawab teman temannya serentak. Seketika, mereka menghentikan aktivitasnya, dan memfokuskan perhatian pada
"Ini sampai kapan sih kayak gini?" tanya seorang santriwan dalam pikirannya sebelum menikmati tidur malam yang panjang. Ya, itu Abian. Abian memang jarang berbicara, namun sebenarnya seribu satu pertanyaan sedang berlalu lalang di pikirannya. Santriwan lain sudah mulai bermain dalam dunia mimpinya masing masing. Tapi tidak dengan Abian. Menatap langit langit kamar yang luas, ia berbaring diatas ranjangnya. Hari itu, Abian mendapat tempat tidur di bagian atas. Ia sebenarnya, sangat tidak nyaman tidur di kasur yang tinggi, ia juga tak bisa bebas bergerak, karena kayu yang menyangganya itu sering kali berbunyi, ia tak mau mengganggu teman di bawah yang sedang tidur. Perlahan Abian bangun, kamar sebenarnya sudah gelap, tapi Abian sangat menyukai suasananya. Suasana yang jarang sekali ia dapatkan semenjak menjadi santriwan di pesantren itu. Abian gunakan waktu malamnya untuk introspeksi diri, mencoba menyelesaikan pertanyaan pertanyaan seputar hidup yang sejak tadi berlari lari di pikira
“Abi, nanti ke ruangan ustadz ya. Ada yang ingin ustadz sampaikan.” ujar ustadz yang selesai menyimak setoran hafalan Abi pagi itu. Abi hanya diam mengangguk dan pergi kembali ke tempat duduknya di halaqah. Kali ini Abi duduk menyendiri di pojok sambil bersandar ke pagar. Tak heran jika itu menjadi bahan perbincangan santriwan lain, Abi memang sependiam itu. Memang tak sedikit yang mencoba mengajaknya mengobrol, tapi hasiulnya sama saja.“Eh, ajak ngobrol sana. Kasian sendirian si Abi,” ujar salah seorang teman memperhatikan Abi duduk sendiri menggenggam mushafnya.“Lah, biarin aja udah. Dari kemarin juga udah diajak ngobrol sama aja. Emang gitu kali anaknya.“ balas temannya. Sepertinya, banyak santri lain yang malas menanggapi Abi. Sikapnya sangat dingin.“Ho oh, biarin aja udah. Emang dia nyamannya sendiri gitu kali. Ustadz juga ngebiarin. Udah, biarin aja.” Saut teman lainnya yang mendengar.A
“Kyr, nanti temenin ya ke gedung santriwan,” cetus Ataya saat sedang fokus menyelesaikan tugas prakarya. “Mau ngapain ke gedung santriwan?” tanya Kyra terkejut. “Biasa, uang saku Ataya abis. Kemarin Umma titipin ke abang. Ya, jadi mau ngambil uangnya ke abang.” “Owalah, jadi kamu gak megang uang saku sekarang?” “Sekarang masih, tapi tinggal dikit. Ya mungkin besok atau nanti sore. Ataya juga lupa uang yang sisa ada berapa.” “Oke, oke. Nanti Kyra temenin. Bilang aja kalo mau ambil ke gedung santriwan.” “Oke, thanks. Tapi eh tapi, Ataya gak tau kamar Abang sebelah mana. Haish, males sebenernya harus ngambil uang ke sana. Kudu nyari nyari kamar atau paling gak tanya sama ustadz.” Keluh Ataya. “Ya nanti ku temenin. Sanss, kita keliling gedung santriwan nanti.” “Jiakh, cuci mata ya kamu. Wuuuhh, iyooo makasih sebelumnya.” “Gak, astaghfirullah. Yooo, masama.” Selesai sudah obrolan
“Abangmu pendiem banget yaa, dingin dingin gimanaa gitu. Ngerii!!” ujar Kyra saat perjalanan kembali ke gedung santriwati.“Ho oh, emang gitu anaknya. Ngeselin kadang kadang, diajak ngomong kayak gak punya mulut. Diem aja,” balas Ataya merapikan kerdungnya yang sedikit berantakan.Keduanya pergi menuju kantin untuk membeli basreng favorit mereka. Anehnya, Kyra kini menjadi penasaran dengan sosok Abian yang sebenarnya, setelah tadi bertemu. Dia sebelumnya tak pernah melihat laki laki seperti Abian, sosok laki laki yang sangat menjaga pandangannya, dan sedikit berbicara. Benih benih kagum mulai tumbuh dalam benak gadis yang bernama Kyra itu.“Eh, iya abang mu kelas berapa? Lupa Kyra,” tany Kyra penasaran. Sebelumnya, Ataya sudah memberi trahu ia sepertinya, tapi sayangnya Kyra sangat pelupa.“Kelas 12, dia disini cuma setahun doang, habis itu lulus.”“Owalah, dah kela
Sementara itu,Abian dengan kaus polosnya masih sibuk membaca Al – Qur’an di Masjid. Abian memaksakan dirinya untuk keluar kamar sendiri dan menghabiskan waktu di Masjid. Besok sudah masuk pekan ujian tahfidz, Abian ingin mempersiapkan hafalannya semaksimal mungkin. Ia sangat menyukai suasana yang tenang disana. Jarang sekali Abian bisa menghabiskan waktunya untuk bisa napas tenang dan lega seperti ini. Seseram itu orang lain di mata Abian.Di pertengahan Abian membaca A- Qur’an, ia teringat adik perempuan yang menghampirinya sore tadi. Adik perempuan dengan seorang temannya,“Tadi siapa ya yang ngucap salam ke saya?” tanya Abi memutus fokusnya dengan mushaf yang ia genggam.“Kok saya risih kalo inget,”“Kayaknya, temen deket Aya,”Ucapnya dalam hati, sikap teman Ataya yang berjumpa dengannya tadi sore, cukup mengganggu Abian. Mungkin, karena lawan jenis. Sebelumnya, Abi belum
Abian berjalan menuju kamarnya. Seperti biasa, Abian merasa kelelahan setiap kali selesai berinteraksi dengan orang lain. Dirinya pun memasuki kamarnya yang hening dan sepi. Tak ada siapapun selain dirinya sendiri di kamar itu. Sembari mengistirahatkan tubuhnya, pikirannya memaksa Abi untuk memikirkan pertanyaan yang ustadz ajukan padanya di kantor guru tadi. Bukan hal yang mudah bagi Abian untuk memutuskan sesuatu. Pasalnya, anak ini biasa di bantu oleh orangtuanya dalam membuat suatu keputusan, hingga saatnya tiba Abi harus mampu membuat keputusan sendiri. Memang tawaran yang menarik, jarang sekali rasanya Abian mendapat tawaran untuk menjadi perwakilan kelasnya di suatu lomba. Ditambah, Abian adalah sosok yang sangat risih dengan keramaian. Ia tak mungkin sanggup tampil di depan umum, rasanya sangat mustahil. “Tapi, kalo saya tolak tawaran ustadz tadi juga sayang,” ujar Abian dalam hati. Dalam lamunannya, pikiran Abian sebenarnya sangatlah berisik, banyak topik yang
Hari itu adalah hari dimana para santriwan dan santriwati tidak ada jadwal belajar. Ini hari yang ditunggu-tunggu oleh sebagian murid, pondok pesantren Darul Haq mengadakan lomba MHQ yang lombanya tersebut, bisa disaksikan oleh warga penduduk sekitar. Para santri yang mendaftar lomba, terlihat sudah siap bersaing antar kelas. Lomba ini di ikuti dari berbagai jenjang. Mulai jenjang SD – SMA. Namun, tempat dan waktunya yang berbeda.“Ayo, kumpul semua di Aula ya. Kelas 10,11,12 silahkan duduk yang rapi dan tidak ribut disana,” ujar ustadz memeberi arahan untuk seluruh santriwan. Abian benar benar gugup saat itu. Ia mencoba tenang, namun sayangnya pikirannya membuat Abian kehilangan rasa percaya diri. Tubuhnya berkeringat, ia merasa sedikit sesak, dan perutnya pun sedikit sakit.“Baik ustadz,” jawab para santriwan yang tengah bergerombol secara bersamaan. Abian menyendiri berada di barisan paling belakang. Napasnya tak beraturan.