Seketika, kakiku berhenti melangkah. Kemudian, aku menoleh, dan menatap Zean seolah pria itu baru saja mengatakan hal yang tidak masuk akal.
"Aren't you mine already?"
Biasanya, jika Zean mengatakan hal cheesy seperti tadi, aku cenderung memberikan respon datar atau dingin. Pertanda bahwa aku ingin ia segera berhenti mengatakan hal menggelikan yang terdengar seperti omong kosong itu. Namun, kali ini berbeda.
Kalau Zean mengira aku akan kalah dengan jokes cheesy-nya, ia salah besar. Setelah bertahun-tahun ia gombali dengan topik yang kurang lebih sama, mana mungkin aku tidak kebal, 'kan?
“Apalagi, dia juga yakin banget kalau Kak Eka belum sadar kalau ponselnya Kakak hilang. Padahal, Kak Eka pasti sudah tahu, kan ya?"EH! Sial! Kenapa tebakan Lucas tepat sasaran?"I-iya, dong! Kalau nggak, mana mungkin sekarang aku yang angkat teleponmu, ya kan? Hahaha," jawabku spontan lalu tertawa hambar.Well, yang penting sekarang, saat Rere bertanya, aku sudah tahu kalau ponselku memang sempat hilang, 'kan? Berarti, aku tidak berbohong, 'kan?"Humph!"Seketika, aku langsung menoleh ke arah asal suara yang seperti sedang menahan tawa. Benar saja. Chris sedang menatapku sambil tersenyum jahil.
Langit yang semula didominasi oleh warna biru yang tenang, perlahan berubah menjadi jingga dengan gradasi yang indah. Pertanda bahwa senja sudah tiba. Angin yang bertiup sepoi-sepoi memperkuat kesan syahdu saat aku menikmati pemandangan alam dari atas bukit.Biasanya, dengan melihat pemandangan indah seperti ini akan membuat perasaanku membaik. Sayangnya, cara kali ini tidak terlalu berhasil. Apalagi kalau bukan karena aku masih sering tiba-tiba teringat cerita Rere di telepon tadi."Maaf, Kak. Tadi Lucas hanya bilang begitu, terus dia pergi ke ruangan lain buat telepon. Jadi, nama kontaknya pun aku nggak tahu."Pada saat itu, otakku langsung mereka ulang adegan saat aku baru mendapat kabar bahwa
Semula, aku memang berencana untuk menyendiri sambil merekam pemandangan langit senja. Namun, karena ada anak-anak yang bermain baseball di bawah bukit, aku pun tertarik untuk merekam pertandingan mereka juga untuk menambah footage video yang ingin kubuat. Sayangnya, sebelum aku sempat membereskan semua barangku untuk pindah tempat, tiba-tiba seseorang datang dan mengejutkanku. “Kak Eka mau ke mana?” Spontan, aku menoleh ke arah suara. Begitu melihat sosok Chris yang berdiri di sampingku sambil berwajah sok tegas, aku pun balas menatapnya tajam. “Memangnya kenapa?”
Bukannya langsung menjawab, Chris justru menatapku heran."Tahu apa?" Eh, pemuda itu malah bertanya balik.Otomatis, aku langsung menatapnya bingung. Berarti tadi Chris asal tebak? Jika ia memang asal menebak, aku tidak boleh sampai memperlihatkan kalau tebakannya benar! Ini bisa jadi bahan untuk meledekku, and who knows what will he do if he knew. So he better don’t know.Maka, aku pun menggeleng. Kemudian, dengan santainya, aku kembali membereskan barang-barangku untuk pindah lokasi meditasi."Lho? Rekam langitnya sudah selesai
Bohong jika aku bilang bahwa aku percaya sepenuhnya pada adik bungsuku yang akan tutup mulut tentang ini. Justru, saat ini aku sedang mengetes kesetiaannya. Kepada siapa ia akan berpihak.Aku akui, selama ini, Chris berhasil beberapa kali membuktikan kemampuannya sebagai penjaga rahasia yang baik. Namun, karena tingkah anehnya belakangan ini, aku mulai meragukan kredibilitasnya.Pasalnya, ketika kami jalan-jalan, kami sering berpencar karena memang punya tujuan yang berbeda saat mengunjungi suatu tempat. Jadi, biasanya pemuda itu tidak pernah keberatan jika kami berpencar, dan bertemu lagi di titik dan waktu yang sudah ditentukan.Anehnya, selama kami berada di Jepang, ia terus mengikutiku. Padahal, biasanya ia selalu punya agenda sendiri. Seringnya juga, agenda kami hampir tidak ada yang cocok.
“Good morning, Princess. Did you have a good night's sleep?”Aku yang baru saja keluar kamar, spontan melirik ke samping, ke arah suara yang menyapa lembut itu berasal. Nada dan juga suaranya memang terdengar indah. Pemilihan katanya pun terkesan sangat “perhatian”. Namun, karena aku langsung mengenali identitas dari si pemilik suara, aku tidak banyak berharap.Pasalnya, kak Naki yang tiba-tiba memperlakukanku dengan manis tanpa ada maksud tersembunyi untuk menjahili adalah hal yang sangat aneh. Karena ketika mood-nya sedang bagus pun, sikapnya masih menyebalkan, meski secara finansial ia mendadak jadi dermawan. Jadi, ⏤menurutku⏤ akan jauh lebih masuk akal jika kak Naki tiba-tiba bersikap manis padaku seperti ini karena ia sedang kerasukan roh penasaran atau karena salah makan.Benar saja, saat pandangan mata kami bertemu, kedua ujung bibir pria itu sudah menyeringai jahil. Tidak terlihat ada effort untuk menyembunyikannya. Spontan, aku mendengkus. Tuh, kan! Apa kubilang! Pasti ia
Otakku otomatis memutar ingatan tentang dua pertandingan basket yang kami lakukan di Jepang. The games were fun, tetapi aku tidak mendapati satu pun hal yang lucu dalam ingatanku dari kedua pertandingan itu. Namun, lain ceritanya kalau kekalahan adalah hal yang dianggap lucu oleh adik bungsuku. Well, jika skornya dihitung menurut performa pemain, seharusnya pertandingan kemarin sore berakhir seri. Namun, jika dihitung total nilai, kami tetap kalah, sih. "Wah, dia bisa main basket? Jago, nggak?" tanya kak Naki antusias sambil sesekali melirikku dengan sorot jahil. "Nggak juga sih, Kak. Buktinya, yang
“Kak Naki habis jatuh, ya?”“Nggak.”“Atau terbentur benda tumpul? Terus amnesia?”Kak Naki menggeleng lagi. Perlahan, ekspresinya terlihat bingung.Untuk mempersingkat jawaban, aku mengangkat tangan kiriku setinggi wajah, lalu memamerkan cincin dengan hiasan berlian kecil yang melingkar di jari manisku.“Berarti Kak Naki nggak lupa kalau aku memang sudah punya ikatan dengan Zean, ‘kan?”“I ask about your heart, Sister.”DEG!Detik itu juga, aku terd