Otakku otomatis memutar ingatan tentang dua pertandingan basket yang kami lakukan di Jepang. The games were fun, tetapi aku tidak mendapati satu pun hal yang lucu dalam ingatanku dari kedua pertandingan itu. Namun, lain ceritanya kalau kekalahan adalah hal yang dianggap lucu oleh adik bungsuku. Well, jika skornya dihitung menurut performa pemain, seharusnya pertandingan kemarin sore berakhir seri. Namun, jika dihitung total nilai, kami tetap kalah, sih. "Wah, dia bisa main basket? Jago, nggak?" tanya kak Naki antusias sambil sesekali melirikku dengan sorot jahil. "Nggak juga sih, Kak. Buktinya, yang
“Kak Naki habis jatuh, ya?”“Nggak.”“Atau terbentur benda tumpul? Terus amnesia?”Kak Naki menggeleng lagi. Perlahan, ekspresinya terlihat bingung.Untuk mempersingkat jawaban, aku mengangkat tangan kiriku setinggi wajah, lalu memamerkan cincin dengan hiasan berlian kecil yang melingkar di jari manisku.“Berarti Kak Naki nggak lupa kalau aku memang sudah punya ikatan dengan Zean, ‘kan?”“I ask about your heart, Sister.”DEG!Detik itu juga, aku terd
TING TONG!Bel pintu yang tiba-tiba berbunyi seketika membuat fokusku langsung buyar. Saat aku melihat ke arah jam laptop, ternyata sudah tengah hari.Gawat! Aku keasyikan mengedit video sampai hampir melewatkan jam makan siang!Segera, aku meraih gawaiku sambil beranjak menuju intercom. Setelah memastikan kalau tidak ada yang menghubungiku, baru kemudian aku mengecek identitas si tamu.Thank God, it’s not Zean!Berarti masih ada kesempatan untuk memesan makan siang secara online. Jadi, kalaupun Zean nanti bertanya, aku bisa beralasan kalau makan siangnya belum datang. Perfect!
“Kalau Kak Eka ada rencana mau ke sana, ajak aku ya, Kak. Kalau Kak Eka mau, aku janji akan kunci mulutku dan nggak akan bilang siapa-siapa tentang trip kita nanti.” Gadis yang duduk di hadapanku itu menatapku dengan puppy eyes-nya yang mematikan.Demi apa? Hanya dengan tatapannya, nuraniku sudah terasa seperti ditusuk-tusuk karena berencana untuk tidak mengajaknya liburan nanti.Well, kalau kupikir-pikir lagi, solo trip ini tidak harus ke Jepang juga, sih. Jadi, jika tidak ingin merasa bersalah, aku bisa saja tidak menjadikan Jepang sebagai salah satu destinasiku.Toh, tuju
TIIT! TIIT! TIIT! CKLEK! “Is there anything that bother you, Anna?” Sekilas, aku menoleh ke arah Zean yang berdiri di sampingku. Pria yang masih mengenakan setelan lengkap itu ⏤pertanda bahwa ia baru saja pulang kerja⏤ tengah menatapku dalam. Padahal selama kami berada di dalam lift, ia tidak mengatakan apa pun. Sebagai jawaban, aku hanya menggeleng pelan sambil membuka pintu apartemenku. Beberapa menit yang lalu, aku tidak sengaja bertemu Zean saat sedang membeli martabak sambil lari malam. Mungkin itu sebabnya Zean bertan
“You saw it when you run. So, you bought it as an excuse if anyone asked you.”Spontan, aku tertawa.“And who do you think it is?”“Me?” Ia menunjuk dirinya sendiri sambil tersenyum lebar.Aku tertawa lagi.KENAPA ZEAN PEKA SEKALI, SIH! DASAR MENYEBALKAN!“By the way, kamu ada apa mampir ke sini mal
Matahari sudah terbenam beberapa jam yang lalu, dan, angin malam yang dingin mulai bertiup. Membawa suhu yang kian rendah, hingga beberapa muda-mudi yang sedang berkumpul untuk istirahat sejenak di tenda pengungsian, memutuskan untuk menutup pintu tenda.“Minum ini dulu, Kak.” Gadis yang duduk di sampingku seraya menyodorkan gelas plastik berisi teh hangat.“Terima kasih, ya,” ujarku saat menerima gelas itu.Siapa sangka? Alih-alih berada di dalam pesawat menuju Jakarta, sekarang aku justru berada di tempat pengungsian korban bencana gempa bumi di Lombok, sebagai relawan.Sudah pasti, ada beberapa perubahan dalam agenda yang sudah kurencanakan dengan cukup matang selama empat bulan ini. Jika biasanya aku kesal dengan eksekusi yang tida
Awalnya, aku merasa aneh. Dari cerita Liana, Nara, Tiara, dan juga beberapa relawan yang lain, terkhusus kaum hawa, si relawan ganteng masih kerap kali membuat mereka tercenung sesaat saat bertatapan.Sebagai pembelaan diri, mereka bilang bahwa itu karena ketampanan si pria yang tidak manusiawi.Well, jujur saja, aku memang tidak pernah terpikir kalau Zean akan sungguh-sungguh turun ke daerah bencana seperti ini. Apa lagi kalau bukan karena tempat ini terlalu berbahaya bagi orang penting sepertinya.Jadi, aku tidak akan percaya sampai aku melihat dengan mata kepalaku sendiri jika si primadona baru itu benar-benar Zean yang kukenal. Toh, sudah dua puluh empat jam sejak kedatangan pria itu, dan aku masih belum sempat melihat batang hidungnya.