Maurice berdiri dengan tubuh tegang, wajahnya memerah karena malu dan marah. Dia tidak menyangka bahwa Alagar, ternyata adalah pendiri perusahaan tempatnya bekerja.
Di tambah, Alagar bukan seperti anak orang kaya yang sombong dan angkuh seperti yang ia bayangkan selama ini.Clinton melihat kebingungan Maurice dan mencoba meredakan suasana dengan menawarkan paha ayam yang ada di piringnya. "Mau makan bersama kami?" tawarnya dengan suara lembut, berusaha untuk tidak mengejek Maurice.Maurice menatap Clinton dengan pandangan tajam, namun ia tidak bisa menahan rasa malu yang membuncah di dadanya.Dengan gigi menggeretak dan tangan yang mengepal, Maurice berbalik badan dan berjalan keluar dari restoran dengan langkah gontai, mencoba menyembunyikan kekalahan yang baru saja ia alami."Cih, salah sendiri bicara arogan, benarkan Hendri?" tanya Clinton pada temannya yang duduk di depan.Hendri mengangguk sambil tertawa kecil, menegaskan bAlagar dengan langkah berat menuju kamarnya, meninggalkan Ayahnya yang masih berdiri di ruang tamu. Begitu pintu kamar tertutup, amarah yang tertahan seakan meluap tak terkendali. Dia segera menghampiri bar mini di sudut kamarnya, mengambil sebotol anggur yang tersimpan rapi di rak. Dengan tangan gemetar, Alagar menuangkan anggur tersebut ke dalam gelas kristal yang ada di atas meja. Tanpa ragu, dia menenggak habis isinya, merasakan sensasi panas yang menjalar dari tenggorokan hingga ke perutnya. Emosi yang bercampur aduk semakin memuncak. "Kenapa Ayah jadi seperti ini?" gumam Alagar dengan nada yang penuh penyesalan. "Biasanya dia tidak mengambil tindakan sendiri dan selalu memberitahu aku sebelum mengambil keputusan." Mata Alagar menatap kosong gelas anggur yang telah kosong di tangannya, seolah mencari jawaban dari pertanyaan yang terus menghantui pikirannya. Dalam hatinya, rasa kecewa dan amarah bergulir, membayangkan bagaimana Ayahnya telah berubah dan tak lagi sepe
Alagar tengah duduk termenung di pojok kamarnya, pikiran dan hatinya diliputi kegelisahan akan permasalahan yang sedang dihadapinya dalam perusahaan. Namun, cerita dari Bikely mengenai pertarungan untuk memperebutkan gelar Dewa Agung di Istana langit sejenak membuatnya melupakan keresahan yang mendera.Saat Alagar tengah menyelami masalah pertarungan di Istana langit, tiba-tiba suara keras Viona terdengar di balik pintu kamarnya. "Alagar, apa kamu di dalam?!" seru Viona sambil mengetuk pintu kamar Alagar dengan keras. Alagar tersentak dan kembali sadar akan realitas yang dihadapinya. Dia berdiri dan menghela napas panjang. "Pergilah, jangan buat Viona salah paham, Bikely."Bikely tersenyum getir. "Aku juga mau pergi, ingat satu minggu lagi, datanglah ke langit," ucap Dewi waktu tersebut yang langsung menghilang menggunakan sihir teleportasi.Alagar menghela nafas lagi, dengan langkah pasti, dia membuka pintu kamar dan dihadapannya berdiri Viona d
Keesokan harinya, Viona terbangun dari tidurnya saat sinar mentari mulai menyeruak masuk melalui celah-celah jendela kamar Alagar. Rasanya malam sangat cepat bagi Viona saat menikmati indahnya bercumbu dengan pria idamannya itu.Gadis itu mencari-cari Alagar yang sudah tidak ada di sampingnya, dia lekas beranjak duduk sambil menutupi tubuhnya yang tidak dibalut sehelai benang pun menggunakan selimut. Kepalanya masih terasa pening dan bingung akan kejadian semalam."Pagi sayang, kamu sudah bangun?" tegur Alagar yang baru keluar kamar mandi hanya mengenakan handuk. Rambutnya masih basah, dan wajahnya tampak segar. Alagar menghampiri Viona dan duduk di sampingnya.Viona langsung merangkul manja Alagar, menempelkan kepalanya di dada bidang pria itu. "Kamu mau kemana, pagi-pagi sudah mandi?" tanyanya dengan suara yang lembut, merasa kehilangan kehadiran Alagar.Alagar tersenyum sambil mengelus lembut rambut Viona, "ada rapat perusahaan yang h
Suasana ruang rapat terasa begitu tegang. Alagar berdiri di depan para petinggi, memegang pointer dan menunjuk ke arah slide presentasi yang menampilkan berbagai tindakan yang dilakukan oleh Maurice selama ini. Semua mata tertuju padanya."Sesuai dengan prinsip perusahaan yang tidak bisa mentolerir tindakan mereka yang seolah sangat berkuasa dengan kedudukannya yang tinggi, aku akan memberikan hukuman tegas!" seru Alagar dengan tegas dan lantang.Wajah Maurice bertambah pucat, bibirnya bergetar, dan keringat dingin mengucur deras. Dia mencoba mempertahankan sikapnya, namun terlihat begitu sulit. Para petinggi yang hadir di ruang rapat hanya bisa menatap Maurice dengan iba, menahan simpati mereka yang tak bisa tersalurkan.Alagar menghela napas sejenak, kemudian melanjutkan kata-katanya dengan nada yang lebih berat, "Maurice Ravel, mulai hari ini kau dipecat dari Ruiz Foundation. Adapun perusahaan lain juga akan memblacklist kamu jika melamar menjadi manaje
Alagar duduk di ruang CEO yang mewah dan elegan, menikmati secangkir teh hangat yang baru saja dituangkan oleh ayahnya. Ia mencoba untuk menenangkan diri setelah kejadian yang baru saja ia alami di ruang rapat. "Sekali lagi Ayah minta maaf, karena telah menunjuk orang yang salah," ucap Arbeloa dengan nada menyesal sambil menuangkan teh hangat untuk sang anak.Alagar menghela nafas panjang, mencoba mengendalikan emosinya yang masih terasa bergejolak akibat tindakan Maurice. "Tidak apa Ayah, setidaknya dengan kejadian Maurice, bisa memberikan contoh pada petinggi yang lain agar tidak ada yang sepertinya," jawabnya lembut, meski dalam hati ia masih merasa marah dengan tindakan Maurice yang mencoba menusuknya dengan pisau.Wajah Alagar tampak masih sedikit kesal, namun ia berusaha untuk tersenyum pada ayahnya. Matanya terlihat menggambarkan rasa kecewa yang mendalam. Sementara itu, Ayah Alagar menatap putranya dengan penuh simpati dan rasa bersalah."Alagar, Ayah tahu betapa beratnya ta
Di Istana Langit, Dewa Agung, Bikely, dan Indra sedang mengatur segala persiapan untuk menyambut kedatangan Alagar. Mereka mengatur bawahan masing-masing, dan memastikan segala sesuatu berjalan dengan sempurna.Sementara itu, di Bumi, Alagar duduk di sebuah kafe yang terletak di depan Universitas Ruiz, tempat kekasihnya, sedang menuntaskan studinya. Dia menatap pintu masuk universitas itu dengan penuh harap, menunggu sosok yang ia cintai muncul.Tak lama kemudian, Clinton dan Hendri datang menghampiri Alagar setelah mereka dihubungi sebelumnya. Mereka duduk di kursi yang tersedia di sebelah Alagar, dengan wajah berseri-seri."Maaf lama, Alagar, tadi nunggu dia keluar ruangan dulu," ucap Hendri sambil menunjuk Clinton yang tampak sedikit canggung. Alagar hanya mengangguk dan tersenyum, menunjukkan bahwa dia mengerti.Clinton melotot kesal pada Hendri yang menyalahkan dirinya karena terlambat menyelesaikan bimbingan skripsi. "Aku lagi yang
Viona berjalan menuju kafe yang berada di depan Universitasnya dengan langkah lelah setelah menyelesaikan bimbingan belajar yang cukup melelahkan sepanjang hari ini.Ketika sampai di kafe, ia melihat Clinton dan Hendri sudah duduk di meja yang biasa mereka tempati."Maaf aku terlambat..." ucap Viona dengan napas tersengal-sengal, namun suaranya tercekat saat melihat piring-piring makanan menumpuk di depan Clinton."Astaga Clinton! Apa kau tidak tahu namanya menahan diri?!" tegurnya dengan nada terkejut dan kesal.Clinton yang sedang asyik melahap makanan dengan mulut penuh, mendongak dan melihat Viona yang sudah berdiri di samping meja mereka. Dengan sisa makanan yang masih terlihat di sudut mulutnya, ia tersenyum lebar pada Viona, seolah-olah tidak merasa bersalah sama sekali.Sementara itu, Hendri yang duduk di sebelah Clinton hanya menggelengkan kepalanya dengan senyum getir, seolah meminta maaf pada Viona atas tingkah laku Clinton yan
Ke esokan harinya, langit cerah dan matahari mulai menyinari permukaan bumi. Viona mengenakan atasan kaos berwarna pastel dan celana jeans pendek, sementara Alagar mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam. Di depan rumah, Alagar membuka pintu mobilnya, siap untuk pergi. Viona menghampirinya dan memeluknya erat. "Jangan lupa hubungi aku, saat sudah sampai," ucapnya dengan suara manja, matanya berbinar.Alagar tersenyum hangat, menatap mata Viona yang memancarkan rasa sayang. "Tentu, aku pasti akan menghubungimu," jawabnya lembut. Dengan lembut, ia menarik tubuh Viona mendekat dan mengecup puncak kepalanya, membuat Viona merasa hangat dan aman dalam pelukannya.Dari kejauhan, kedua orang tua Alagar mengamati adegan mesra antara anak mereka dan Viona. Mereka tersenyum bahagia, melihat betapa dekatnya hubungan kedua anak muda itu. Meskipun mereka belum menikah, namun karena sering tinggal bersama, Alagar dan Viona telah membina ikatan yang kuat dan harmonis.Setelah berpisah dar