Rey ternyata tahu benda apa yang dipegangnya. Nauna bingung harus bereaksi bagaimana. Jadi, dia hanya diam dan berharap anak ini hanya sekedar bertanya tanpa memiliki tujuan lain. Melihat Nauna diam dan berusaha menyembunyikan ekspresi bingung di wajahnya, Rey kembali melontarkan pertanyaan yang lebih menohok, “Tante ingin menyadap pembicaraan siapa dengan alat ini?”Nauna tersentak. Sekarang, dia tidak bisa lagi menganggap Rey hanya sekedar bertanya. Sebab, pertanyaan kali ini diiringi dengan tatapan tajam yang menyorot wajahnya. “Ah...itu...” Nauna terbata-bata. Seperti sudah menjadi kebiasan, dia selalu kehilangan kata-kata setiap kali harus menghadapi Rey dalam kondisi seperti ini. Dia sendiri tidak mengerti alasannya. Apakah karena dirinya memang tidak bisa berbohong, ataukah karena aura anak ini yang begitu dingin? Nauna berusaha mengatur suaranya. Setelah beberapa saat, dia berkata dengan gugup, “Kamu...nggak perlu tahu.”Seharusnya memang begitu, kan? Rey adalah tipikal or
Dean tidak langsung memberitahukannya. Dia menyimpan kabar baik itu dan mengajak Nauna makan terlebih dahulu. Nauna tidak memaksa dan menanti dengan sabar. Selesai makan malam, dia menunggu Dean mandi, lalu menunaikan sholat Isya. Baru setelah itu, dia bertanya, “Ada kabar baik apa, Mas?” Dean tersenyum. Dia duduk di tepi tempat tidur dan berkata dengan sumringah, “Aku dipromosikan untuk naik jabatan. Sebagai manager.” Nauna tercengang dan menatapnya tak percaya. Dia tahu kinerja Dean sangat bagus di kantor, tapi dia tidak menyangka suaminya itu akan dipromosikan menjadi manager. Ini benar-benar kabar baik yang patut disyukuri. “Alhamdulillah.” Nauna segera mengucap syukur. Dia menatap Dean yang terlihat begitu senang, lalu memberinya sebuah pelukan. “Aku ikut senang, Mas. Semoga kamu bisa segera menempati posisi manager di kantor.”“Aamiin.” Dean mengusap puncak kepala Nauna dengan lembut. “Nanti, setelah aku naik jabatan, kita pindah dari sini, ya?”“Hah?” Nauna tersentak dan s
Setelah pembicaraan mereka berakhir, Dean pergi ke ruang kerjanya untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan. Pada saat ini, Nauna segera menyambar ponselnya. Lalu, mencari-cari handsfree di dalam laci nakas. Setelah ditemukan, dia segera menyambungkannya dengan ponsel dan memasangnya di telinga. Jantungnya berdebar keras. Dia berharap, dirinya belum terlambat mencuri dengar pembicaraan Rudy dan Lusi malam ini. “...Lima milyar!”Itu adalah dua kata pertama yang Nauna dengar dari handsfree di telinganya. Dan itu adalah suara Rudy. Dia menajamkan pendengaran dan berharap bisa mendengar lebih banyak pembicaraan mereka. “Itu angka yang besar sekali, Mas! Dia benar-benar mau membayar dengan harga lima milyar?” Suara Lusi terdengar pelan, tapi sangat antusias. “Ya. Dia itu sangat kaya. Jadi, lima milyar bukan apa-apa baginya.” Rudy berkata dengan sombong. “Memang nggak salah aku menawarkan rumah ini padanya.”Nauna segera paham, mereka sedang membicarakan harga jual rumah ini. Sepertinya,
Malam cepat sekali berlalu. Nauna baru tidur sebentar, tapi fajar sudah menyingsing. Dia bergegas bangun dan bersiap-siap melaksanakan sholat subuh. Dean sudah menunggunya di atas sajadah. Hari ini, Dean harus berangkat ke kantor lebih pagi dari biasanya. Dia bilang, ada pergantian CEO di kantor dan akan ada penyambutan pagi ini. Setelah subuh, Nauna langsung menyiapkan pakaian dan tas kerja Dean. Sementara dia bergegas mandi. Laki-laki itu terlihat gugup dan terburu-buru. Nauna tidak bisa menahan tawa saat melihat Dean salah mengancingkan kemeja. Dia segera memperbaikinya sambil bertanya, “Kenapa begitu gugup?”Dean meringis, “Karena akan bertemu CEO baru. Orang-orang bilang, dia agak seram.”Nauna tertawa kecil, “Dia masih manusia, kan? Kenapa harus gugup? Lagipula, kamu salah satu karyawan terbaik di kantor. Bahkan, sedang di promosikan naik jabatan. Jadi, kenapa harus gugup?”“Justru karena sedang dipromosikan, aku merasa sedikit gugup.” Dean berkata apa adanya. Dari yang dia
Setelah penyambutan singkat itu, Jeremy beserta orang-orang yang mendampinginya keluar dari ruangan. Tepat saat pintu di tutup, semua karyawan mulai membicarakannya. Penilaian terhadap CEO baru itu cenderung negatif. Ini dikarenakan sikapnya yang dingin dan terkesan arogan. Akan tetapi, bagi sebagian besar karyawan perempuan, sikapnya justru menarik perhatian. Dean tidak terlalu mendengarkan obrolan orang-orang di sekitarnya. Dia bangkit perlahan dan hendak beranjak pergi, tapi bahunya di tarik dari belakang hingga dia menoleh dan membalikkan badan. “Bagaimana menurutmu?” Heru—rekan kerjanya—bertanya. “CEO baru kita sepertinya orang yang dingin. Aku merasa kedinginan selama dia ada di ruangan ini.”Dean terkekeh mendengar celetukan Heru dan berkata, “Nggak boleh begitu!” Kemudian, dia berjalan meninggalkan ruang rapat. Heru mengejar langkahnya dan berjalan di sampingnya. “Aku pikir, CEO dingin hanya ada dalam drama, tapi sekarang aku melihatnya sendiri di depan mata.” Heru kembali
Sepanjang hari ini, pikiran Nauna masih dipenuhi pertanyaan tentang laki-laki bernama Jeremy yang dia dengar dari pembicaraan Rudy dan Lusi semalam. Dia ingin membicarakan soal ini dengan Dinara, tapi perempuan itu belum bisa dihubungi sejak pagi. Teleponnya tidak diangkat dan pesannya tidak dibaca. Sepertinya, Dinara sangat sibuk hari ini. Nauna merasa sungkan dan tidak ingin mengganggu. Jadi, dia memutuskan akan menunggu sampai sepupunya itu tidak sibuk dan membalas pesannya. Namun, sampai malam menjelang, dia belum juga mendapat balasan dari Dinara. Bahkan, pesannya belum terbaca sama sekali. Dia menjadi sedikit khawatir, tapi berusaha mengenyahkan pikiran negatif. Jam menunjukkan pukul tujuh malam ketika pintu kamarnya digedor dengan keras. Nauna tersentak dan bergegas membuka pintu. Ekspresi muram Tari dan Tika seketika menyambutnya. “Kamu belum menghidangkan makan malam, hah?” Tari bertanya dengan kesal. Pada saat ini, Nauna baru ingat bahwa dia memang belum menghidangkan m
Dering panggilan masih terdengar. Nauna melirik Dean dan ponselnya bergantian. Dia tidak bisa leluasa berbicara dengan Dinara jika suaminya tetap ada di sini. Dia berharap Dean segera beranjak dan masuk ke dalam rumah terlebih dahulu, tapi laki-laki ini sama sekali tidak pergi, alih-alih menatapnya dengan kening berkerut. Barusan, Nauna mengatakan akan mengangkat telepon, tapi dia malah terdiam dengan ekspresi bingung di wajahnya. Dean menjadi penasaran dan bertanya padanya, “Kenapa nggak diangkat?”“Ah, iya.” Nauna tidak punya pilihan lain. Dia tidak mungkin menyuruh Dean pergi. Jadi, dia segera menjawab panggilan dari Dinara dan meletakkan ponsel di telinga. “Assalamu'alaikum, Kak.” “Wa'alaikumsalam, Nau. Maaf, baru sempat menghubungimu. Aku sibuk sekali hari ini. Seharian harus mengurusi masalah klien dan sekarang Alina masuk rumah sakit.” Suara Dinara terdengar parau.Nauna membelalakkan mata dan segera bertanya dengan cemas, “Alina masuk rumah sakit? Bagaimana keadaannya? Apa
Seharusnya, ucapan Tari dan Tika hanyalah angin lalu. Akan tetapi, perihal hamil adalah sesuatu yang sensitif bagi perempuan yang sudah menikah. Nauna tidak bisa menipu dirinya sendiri, dia merasa sedih dan sakit hati karenanya. Dia sudah mencoba melupakannya, tapi saat tiba di rumah sakit, dia memikirkannya lagi. Terlebih saat melewati ruangan dokter spesialis kandungan. Dia melirik ragu ke arah Dean yang berjalan di sampingnya. “Mas—” Nauna memanggil, tapi kalimat yang ingin dia ucapkan tertahan di tenggorokan. Dean menoleh dan segera menyadari ekspresi suram di wajah Nauna. Dia mengerutkan kening dan bertanya dengan hati-hati, “Ada apa, Nau?”Nauna merasa tidak bisa menyampaikan apa yang ingin dia katakan sekarang, jadi dia memutuskan untuk menyimpannya dan menggantinya dengan kata-kata yang lain, “Itu ruangannya.”Dia menunjuk sebuah ruangan yang berjarak beberapa meter di depan sana. Itu adalah ruang rawat Alina. Dinara sudah menginformasikan padanya sebelum dia dan Dean berang