Rasa kagetnya belum hilang, tapi Nauna sudah diseret keluar dari kafe. Dia dibawa ke dekat mobilnya sendiri dan didorong sampai membentur pintu mobil. Masker yang menutupi wajahnya ditarik dengan kasar. Nauna tidak bisa mengelak lagi. Dia benar-benar telah tertangkap basah. Lusi menatapnya dengan tajam dan berkata, “Ternyata benar, kamu memang memata-matai kami!” Dia terlihat sangat marah. Nauna menggeleng dan mencoba membela diri “Aku nggak bermaksud begitu. Aku hanya—”“Hanya apa?” Lusi menyela dengan sengit. “Jelas-jelas kamu mengikutiku ke sini. Apanya yang nggak bermaksud begitu, hah?!”“Kamu memang sangat berani, Nauna.” Suara lain tiba-tiba terdengar di antara mereka. Nauna menoleh ke samping dan tersentak kaget. Dia melihat Rudy berjalan mendekat dan bersandar di pintu mobil. Ekspresinya terlihat jauh lebih tenang daripada Lusi. “Bukan hanya mencoba membuntuti kami, kamu juga menyadap pembicaraan kami.” Rudy berkata dengan tenang. Nauna membelalakkan mata. Dia benar-bena
Nauna mengira, Rudy dan Lusi akan membawanya ke suatu tempat yang jauh agar tidak mengacaukan rencana mereka. Dia mungkin akan dibuang atau diasingkan. Kemungkinan yang lebih buruk adalah dia akan dihabisi. Dia sudah pasrah dengan apapun yang akan terjadi, tetapi sepertinya pikirannya terlalu berlebihan. Rudy dan Lusi ternyata justru membawanya pulang ke rumah. Lusi membuka pintu mobil dan menariknya turun dengan paksa. Dia tidak melawan dan membiarkan dirinya diseret masuk ke dalam rumah. “Kamu harus menanggung akibat dari kenekatanmu sendiri!” Rudy berkata dengan ketus. Lusi mendorongnya hingga jatuh tersungkur di lantai ruang tengah. Yoga, Daniel, Tari dan Tika sudah berkumpul di sana. Mereka pasti sudah tahu tentang apa yang sedang terjadi. “Benar kan dugaanku? Dia hanya berpura-pura bersikap baik! Sebenarnya, dia sudah punya taktik untuk membongkar rencana kita!” Yoga berkata dengan sinis. Nauna meliriknya sekilas. Laki-laki ini pasti merasa sangat bangga sekarang, karena d
Suasana hati Dean seharusnya sedang baik, tetapi perkataan Rudy telah mengubahnya menjadi kacau. Dia tertegun dan terdiam selama beberapa saat. Dia tidak tahu apa yang telah dilakukan Nauna, tetapi situasi tidak nyaman ini mengingatkannya pada kejadian yang sudah berlalu. Itu adalah saat di mana Nauna menyusup ke dalam kamar Rudy dan mencoba membuka brankas. Saat itu, mereka berada dalam situasi yang sama persis seperti saat ini. Perlahan, Dean menoleh pada Nauna. Di luar dugaannya, perempuan itu tampak sangat tenang. Dia berdiri tegak, menatap lurus ke depan dengan raut wajah yang tidak bisa ditebak. Sikapnya saat ini, berbanding terbalik dengan apa yang dia tunjukkan saat itu, ketika berada dalam situasi yang sama. Dean masih ingat betapa panik dan kalapnya Nauna waktu itu. Melihat betapa tenangnya dia sekarang, Dean mulai berpikir dengan jernih. Mungkin ini hanya salah paham yang perlu diselesaikan secara baik-baik. Setelah hening yang cukup lama, Dean mengarahkan tatapan pada
Semua orang terlihat tak percaya dengan keputusan yang Dean ambil. Nauna sampai tercengang dan kehilangan kata-kata. Dia menatapnya lamat-lamat, berharap laki-laki itu tidak serius dengan ucapannya. “Aku mewakili Nauna, meminta maaf pada kalian semua. Aku harap, hubungan persaudaraan kita nggak akan pernah putus.” Dean menundukkan kepala dalam-dalam, sebagai tanda permintaan maafnya yang tulus. Pada saat ini, Nauna bisa melihat perubahan ekspresi di wajah para iparnya. Mereka yang awalnya tertegun, mulai menunjukkan senyum penuh kemenangan. Begitu Dean mengangkat kepala, ekspresi mereka segera kembali seperti semula. Nauna merasa seperti sedang melihat pertunjukan teater dengan para pemain yang begitu pintar mengatur mimik wajah. “Dean, jangan bicara seperti itu. Kamu nggak perlu pergi dari sini. Kami lah yang harus pergi.”Rudy berlagak seperti seorang Kakak yang begitu mengasihi adiknya. Seakan-akan tidak rela, jika Dean yang harus berkorban dan pergi dari rumah ini. Padahal seb
“Dean, kamu salah paham!” Yoga segera menyangkal. Sedari tadi, dia berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk selamat dari situasi ini. Dia tidak mau menjadi pihak yang terpojokkan. Akan tetapi, dia tidak menemukan alasan untuk membela diri. Jadi, hanya bisa mengatakan hal yang tidak masuk akal, “Itu bukan surat wasiat Ibu! Itu palsu!”Tatapan Dean segera mengarah padanya. Laki-laki itu mendengus dan tertawa pendek. “Palsu?” Dia bertanya dengan nada tidak percaya. Yoga mengusap tengkuknya yang lembab karena keringat. Dia mengabaikan tatapan tajam Dean dan berkata dengan lantang, “Nauna dan Rey pasti sudah bekerjasama. Mereka meniru tulisan tangan Ibu dan membuat surat wasiat palsu!”Nauna membuka kelopak matanya lebar-lebar. Tuduhan Yoga sama sekali tidak berdasar. Otaknya pasti sudah tidak dapat berpikir dengan jernih, sehingga tercetus pemikiran tak masuk akal seperti itu. “Untuk apa aku melakukan hal seperti itu?” sangkal Nauna. “Tentu saja untuk menyingkirkan kami dari rumah
Mendengar permintaan Dean yang lugas, Rudy segera mengangkat wajahnya. Dia merasa sangat terkejut hingga tidak bisa berkata-kata. Melihat bagaimana reaksinya, Dean merasa curiga. Dia memicingkan mata dan bertanya dengan dingin, "Kenapa?"Nauna tahu jawabannya. Dia segera berkata, "Mas Rudy sudah menyerahkan semua surat-surat penting dan sertifikat asli rumah ini pada orang lain!""Apa?" Dean terperangah. Dia menatap Rudy dengan ekspresi tidak percaya. "Bagaimana mungkin Mas Rudy menyerahkan semua itu pada orang lain?"Rudy segera berkata, "Aku hanya ingin menyimpannya di tempat yang aman.""Bohong!" Nauna tidak segan menyangkal. "Dia menyerahkan dokumen-dokumen penting itu pada orang yang akan membeli rumah ini. Orang itu juga menjanjikan akan mendapatkan tanda tangan kamu Mas. Entah dengan cara apa."Dean semakin tercengang mendengarnya. Rudy segera mencoba menjelaskan, "Begini. Aku memang menyerahkan dokumen-dokumen penting itu pada orang yang akan membeli rumah ini, tapi tenang saj
Rudy masuk ke dalam kamar dengan raut wajah yang begitu suram. Dia membanting pintu sekuat tenaga, lalu berteriak kesal dan menjatuhkan semua benda yang ada di atas meja hingga berhamburan di lantai. Dia merasa sangat marah, hingga mengamuk di dalam kamar. Rencananya telah gagal dan dia masih tidak bisa menerima kenyataan. Lusi menyusulnya dan segera terkejut melihat keadaan kamar yang berantakan. Dia menatap Rudy dengan takut-takut, sedangkan laki-laki itu menatapnya dengan tajam. "Ini semua gara-gara Rey!" Rudy berkata dengan murka. "Anak itu sudah mengacaukan semuanya! Aku harus memberinya pelajaran!""Mas, tenang dulu!" Lusi berusaha menenangkannya. Meskipun dia juga marah pada Rey, tapi dia tidak mau Rudy menyakiti anak itu. "Bagaimana aku bisa tenang? Anak itu sudah berkhianat! Entah bagaimana dia bisa tahu rencana kita dan entah bagaimana dia bisa berada di pihak Nauna! Aku harus menanyakannya sekaligus menghukumnya!" Rudy tampak berapi-api. Dia hendak keluar dari kamar un
Beberapa jam kemudian, Rudy keluar untuk memeriksa keadaan. Rumah sudah sepi, lampu-lampu sudah dimatikan. Tidak ada satu orang pun yang masih berkeliaran. Rudy dan Lusi segera mengendap-endap ke luar rumah lewat pintu samping. Mereka berjalan dengan hati-hati dan berhasil melewati pintu gerbang dengan aman. Sebuah taksi sudah menunggu di depan gerbang. Rudy memesannya sekitar tiga puluh menit yang lalu. Dia bergegas memasukkan koper ke dalam bagasi, lalu menyusul Lusi duduk di kursi penumpang. "Kamu tahu rumah Jeremy, Mas?" Lusi bertanya ketika mereka sudah duduk dengan tenang. Rudy mengangguk dan berkata, "Aku punya alamatnya."Dia lalu menunjukkan alamat tempat tinggal Jeremy pada supir taksi. Tak lama kemudian, taksi yang mereka tumpangi segera melaju ke tempat tujuan. Rudy menghela napas panjang sembari menyandarkan kepala ke sandaran kursi. Setelah benar-benar meninggalkan rumah, dia merasa sangat lega. "Mas, kamu yakin kita akan aman?" Lusi tiba-tiba bertanya dengan raut