Pagi ini, seperti yang telah direncanakan, Gladys dengan ditemani Roy, akan berangkat menuju rumah Dirga.
Pagi-pagi sekali, Roy sudah berada di rumah besar Steve untuk menjemput gadis itu.Ditemani pak Markus, Roy menyesap kopi di ruang tengah."Apa kamu baik-baik saja, Roy?" tanya pak Markus. Dari gerak-geriknya, lelaki tua yang telah mengabdikan seumur hidupnya di keluarga Steve itu, bisa menangkap kekhawatiran di mata Roy.
"Saya tidak apa-apa, Pak. Hanya sedikit kurang tidur saja," ucap Roy, sambil kembali menyesap kopi yang masih mengepulkan asap.
"Hmm ... begitu, kah? Karena ini masih terlalu pagi untuk datang bertamu," ucap pak Markus, sambil melihat jam yang ada di lengan kirinya.
"Iya, saya pikir juga begitu. Namun akan lebih baik jika saya minum kopi berdua dengan Bapak di sini, daripada menikmatinya sendirian di rumah." Roy berkata, sebelah tangannya kembali mengangkat cangkir kopi.
Pak Markus tersenyum mendengar ucapan Roy, sambil sesek
Untuk beberapa saat, Tania terdiam. Keningnya berkerut, tampak sekali dia sedang memikirkan sesuatu. Bahkan beberapa kali pula, Tania menarik napas dalam.Seperti merasa berat jika harus melepaskan Suli untuk ikut bersama Gladys, sementara gadis yang sekarang ada di depannya belum lama dikenalnya."Bagaimana, apakah saya bisa mendapatkan asisten pribadi sekarang?" tanya Gladys hati-hati."Oh, tentu saja bisa. Bahkan, detik ini pun, dia bisa menjadi asisten pribadi anda. Bukan begitu, Sayang?"Dirga buru-buru menjawab pertanyaan Gladys, sembari berbasa-basi menanyakan pada Tania.Dengan wajah kaget, Tania menjawab, "Tentu saja, kami sangat profesional dalam menjalankan usaha."Senyum mengembang di wajah Tania, juga Dirga. Entah apa yang membuat Tania tiba-tiba menyetujui ucapan Dirga. Padahal, sebelumnya, dia begitu ragu untuk membiarkan Suli mejadi asisten pribadi Gladys.Menyadari ada sesuatu yang disembunyikan oleh Tania dan Dirga, membuat
Mobil yang membawa mereka bertiga sudah memasuki kota, dimana Gladys tinggal.Hari sudah gelap, ketika mobil mewah itu memasuki halaman sebuah rumah mewah. Rumah tuan muda Steve."Dys, ini rumah siapa? Kita tidak salah masuk rumah orang, kan?" tanya Suli dengan suara lirih, ketika mereka berjalan memasuki rumah megah tersebut."Tentu saja tidak, Suli," jawab Gladys sambil tersenyum tipis.Mereka terus berjalan, hingga memasuki ruangan tengah rumah tersebut."Kalian sudah datang rupanya."Pak Markus yang berjalan menghampiri mereka bertiga, berkata."Iya, Pak." Roy menjawab singkat."Gladys, aku sepertinya pernah melihat orang tua ini. Tapi aku lupa. Dimana pernah melihatnya," bisik Suli."Kamu benar, Suli. Kamu memang pernah bertemu sebelumnya. Di rumah Dirga.""Kamu serius?!"Suli membulatkan kedua matanya, menatap pak Markus dari ujung rambut hingga ujung kaki, begitu mendengar penjelasan Gladys yang mengatakan k
Tanpa menghiraukan Suli yang masih mematung di depan pintu, Gladys berjalan meningalkan sahabatnya itu. Mengambil cardigan yang tergrletak di atas sofa bed dan memakainya."Kamu tidak ingin turun dan bergabung untuk makan malam?" tanya Gladys saat melihat Suli masih berdiri di sana."Dys, kamu serius, selama ini tinggal serumah dengan Tuan Muda. Bukankah dulu dia pernah ...."Suli menggantung kalimatnya. Ada perasaan tidak enak saat hendak meneruskan kata-katanya. Melihat Suli sedikit salah tingkah karena ucapannya, Gladys justru tersenyum."Iya, aku tinggal dan ditolong olehnya, orang yang pernah membeliku untuk menjadi pelampiasan kelainan sex nya.""Dys, aku ....""Aku tidak apa-apa, Suli. Aku mengerti maksud dari ucapanmu," ujar Gladys.Mendengar jawaban sahabatnya itu, Suli menarik napas lega."Apakah dia masih sering melakukannya denganmu, Dys?"Kembali Suli bertanya, Gladys melipat kedua tangannya di depa
Hari pertama, Suli tinggal di rumah Steve, semua berjalan biasa saja.Suli hanya bertemu Steve ketika mereka makan malam, saat dia baru saja sampai di rumah itu.Pagi itu, Suli bangun lebih dulu daripada Gladys.Dia bergegas turun ke lantai bawah, untuk berjalan-jalan dan melihat sekeliling rumah magah tersebut.Baru saja tangan Suli hendak menyentuh gagang pintu, sebuah panggilan menghentikan tangannya."Kamu sudah bangun sepagi ini?"Suli membalikkan tubuhnya, dan didapati pak Markus tengah berdiri menatap dirinya. Tangannya memegang secangkir kopi. Hal itu bisa diketahui dari aroma yang menguar di seluruh ruangan. Hingga membuat perut Suli berontak, ingin ikut merasakan nikmatnya secangkir kopi panas pagi ini."Iya, Pak. Saya ingin menghirup udara segar di halaman," jawab Suli sopan, matanya menatap lekat cangkir yang dipegang pak Markus."Kamu mau kopi?" tawar pak Markus pada Suli.Mendengar hal itu, Suli terlonjak gembira.
Alex masih menutup kedua matanya, sementara Gladys memainkan pisau yang dipegang di depan wajah Alex, sambil sesekali menempelkan ke pipi pria bertubuh tambun itu."Tunggu, bagaimana kalau kita membuat kesepakatan?" tawar Alex, sambil membuka sebelah matanya."Kesepakatan? Aku tidak yakin kamu punya sesuatu yang bisa kau tawarkan padaku. Kamu bangkrut, tidak punya apa-apa lagi, selain kepala botakmu!" desis Gladys, dengan tatapan mengintimidasi.Merasa direndahkan, Alex mendesis, dia begitu marah dan tersinggung. Namun untuk memberi pelajaran pada Gladys, itu sangat tidak mungkin. Gladys bukanlah gadis polos yang pernah dia renggut kesuciannya dan hanya bisa menangis dan meronta sambil memohon seperti saat itu.Wanita yang kini berada di hadapannya, saat ini seperti singa betina yang siap mencabik-cabik tubuhnya, jika dia berani melawan. Bahkan, untuk sekedar menyentuh kulitnya pun, tidak sanggup dia lakukan saat ini."Aku memang sudah tidak mempunyai a
Sepanjang perjalanan pulang, senyum selalu mengembang di bibir Gladys, sesekali terdengar dia bersenandung.Suli beberapa kali melirik ke arah sahabatnya, dia juga merasa senang melihat kebahagiaan di wajah sahabatnya."Dys, apa benar, Alex sekarang benar-benar bangkrut dan tidak mempunyai apa-apa lagi?" tanya Suli membuka percakapan."Iya, benar. Semua asetnya sudah digadaikan, sebagian lagi dijual. Nah, aset yang dia gadaikan itu, di tebus oleh Steve. Jadi otomatis sekarang menjadi milik Steve, dan dengan tanda tangan yang kita peroleh tadi, akan membantu mempercepat proses pengambil alihan semua aset miliknya," tutur Gladys panjang lebar."Wow ... sang Tuan Muda itu pasti sangat kaya raya, Dys. Buktinya, dia bisa membeli semua aset bandot tua itu tanpa berkedip."Suli berdecak kagum, matanya berbinarSeolah melihat sesuatu yang membahagiakan, bayangan sosok muda dengan harta berlimpah membuat mata Suli melebar dan pikirannya melayang."Dys, kam
Rachel.Sebuah nama yang terucap dari bibir Steve meninggalkan rasa sesak di dada Gladys sekaligus sakit yang dia sendiri tidak bisa mengerti, kenapa sakit itu tiba-tiba muncul.Sementara dia sadar, bahwa dirinya tidak lebih dari wanita simpanan karena dia berhutang pada Steve yang telah menyelamatkan nyawanya saat itu.Kini, Gladys mencoba menghalau perasaan yang memenuhi kepala dan hatinya.Ditatapnya wajah pria yang tertidur pulas di depannya. Wajahnya begitu tenang, seolah tanpa beban. Walau tanpa dia sadari, ada hati yang terluka karena ucapan yang tidak disadari keluar dari mulutnya.Gladys mengusap lembut wajah Steve, wajahnya menunduk hingga tak berjarak, namun buru-buru dia mengangkat kepalanya, urung untuk memberikan sebuah kecupan dan memilih untuk bangkit dari tempat tidur untuk kembali ke dalam kamarnya.Dengan tergesa, Gladys mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai dan memakainya kembali.Tanpa bersuara, dia menin
Pagi-pagi sekali, Gladys sudah terlihat keluar dari kamarnya.Rupanya dia tidak bisa tidur setelah apa yang dia dengar dari mulut Steve, juga saat dia menemukan foto seorang wanita.Secangkir kopi berada di tangan kirinya, sementara sebelah tangan yang lain memutar kenob pintu.Gladys memilih untuk menghirup udara pagi di bangku taman yang ada di sebelah rumah megah Steve."Boleh aku duduk di sini."Seseorang bertanya dengan suara lembut, Gladys mendongak, melihat ke arah pemilik suara tersebut.Pria yang memakai sweater biru tua tersebut tersenyum ramah, dia juga membawa secangkir kopi di tangannya."Roy ... kamu sudah bangun?"Gladys malah bertanya, namun dia menggeser tubuhnya hingga menyisakan ruang kosong di sebelahnya, Roy perlahan duduk di sebelah Gladys."Iya, tadinya bermaksud untuk pemanasan, berlari di sekeliling komplek, tapi urung, karena melihatmu duduk sambil menikmati kopi sendirian," ujar Roy."Ke