Share

Banyak Keanehan

Hasim dan Darsan sudah sampai di rumah sakit yang kebetulan berada di kota mereka. Sesuai arahan dari Teh Rita, juga berbekal berita terupdate di internet, kedua pria itu akhirnya bertemu dengan pihak keluarga Aris. Karena semua masih diselimuti kesedihan, keduanya tidak berani bertanya macam-macam.

Turut berduka. Hanya kalimat itu yang mereka sampaikan sebagai perwakilan dari keluarga pihak mempelai wanita. Hasim dan Darsan pun masih belum bisa menjelaskan keadaan di rumah Nilam, sebab kejadian malam ini seperti di luar ekspetasi. para korban yang berjumlah sepuluh orang tersebut masih dalam proses autopsi.

Kedua pria itu hanya mengatakan pada keluarga korban jika keluarga Nilam sedang dalam keadaan kacau, maka kedatangannya diwakilkan. Karena memang sedang sama-sama berduka, tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Mereka lebih fokus pada urusan keluarga masing-masing.

Hasim dan Darsan duduk berselonjor di halaman rumah sakit, menghadap ke arah jalan. Tubuh mereka lemas seketika setelah mengetahui fakta bahwa Aris benar-benar korban kecelakaan. Bahkan, Hasim sampai bertanya pada pihak polisi yang kebetulan ada di rumah sakit, apa ada wanita memakai baju pengantin? Namun, jawabannya tidak sesuai harapan.

"Saya mah yakin, Kang, Nilam teh dibawa sama rombongan gaib," ucap Darsan sembari menahan napas. Mendadak bulu di tangannya meremang.

Hasim yang sudah sangat lelah meneguk air mineral yang mereka beli di kantin sekitaran rumah sakit. Lantas mengusap bibirnya yang basah dengan ujung lengan jaketnya. "Iya Kang. Bisa juga sama arwah-arwah rombongan. Mereka mungkin ngerasa belum meninggal. Tapi, ya,susah dicerna akal sehat."

"Takutnya si Nilam gak bisa balik lagi. Buktinya, Nyai Kusuma juga gak pulang lagi sudah puluhan tahun," jelas Darsan.

"Ssstt, Kang Darsan jangan sebut nama dia. Bisa kena sial atau kutukan nanti. Saya jadi curiga, keluarga Nilam ada yang membahas soal wanita yang hilang itu. Pantangan buat pengantin bahas-bahas soal ini, kan?"

Mendengar kata-kata Darsam, Hasim hanya bisa mengusap lengannya yang terasa dingin, padahal sudah memakai jaket tebal. Semua yang mereka bicarakan, memang cukup membuat suasana sekitar menjadi angker. Merasa urusan sudah selesai, keduanya langsung pulang, sebab waktu sudah menunjukan pukul 03.00 pagi.

Segala kabar di rumah sakit sudah mereka ceritakan pada Teh Rita yang kebetulan katanya belum pulang dari rumah Nilam, masih berusaha menenangkan Bu Rosidah dan Pak Wahyu. Tugas mereka tinggal pulang ke rumah lalu istirahat.

Sementara itu, rumah Nilam masih diselimuti rasa duka. Ada penyesalan dari keluarga, mengapa tidak menyadari keanehan yang dibawa para rombongan misterius itu. Padahal, beberapa orang merasakan ada bau-bau aneh, seperti parfume yang belum pernah dicium sebelumnya.

Bah Karsun meminta yang ada di rumah untuk tidak berisik, sebab ia tengah menerawang keberadaan Nilam dengan mata batinnya. Untuk menjaga ketenangan, Bu Rosidah dan Indah dibawa ke kamar. Pak Wahyu enggan ke mana-mana, ia ingin menunggu kabar Nilam saja bersama Nur yang sedari tadi memegangi tangannya.

Mereka yang ada si sana merasakan ada hawa aneh, seperti intensitas lain yang sulit dijelaskan. Beberapa di antaranya yang memang sensitif pada hal gaib, hanya memegangi pundak yang terasa berat. Ada desir darah yang mengalir begitu cepat, belum lagi degup jantung yang tiba-tiba mengencang.

Sebagai tukang rias desa, Teh Rita juga bisa merasakan hawa rumah yang mulai tidak enak. Apalagi sedari awal wanita itu sudah tidak enak hati dengan tanda-tanda yang diberikan Nilam ketika berhias.

Bah Karsun mulai membuka mata, ada hela napas resah yang ia keluarkan. Tangan keriput itu menyentil-nyentil udara, seperti mengusir kabut yang tidak terlihat oleh kasat mata.

"Gimana, Bah?" tanya Pak Lurah.

"Susah, sudah jauh. Abah mah cuma denger suara kereta kuda."

Keheningan kembali terpecah oleh mereka yang mengucap istigfar. Ada juga yang bisik-bisik, mempertanyakan pantrangan apa yang dilakukan keluarga Nilam sampai ada kejadian seperti ini?

Pak Wahyu mengusap wajah hingga rambutnya. Ia terlihat sangat frustrasi. Sulit berpikir, membuatnya beranjak dari tempat. Pria itu berkata ingin lapor polisi saja, supaya seluruh wilayah Desa Wangunsari bisa disisir sampai ke sungai dan tebing curam.

"Nanti dulu atuh, Pak. Denger dulu apa kata Abah," saran Nur sembari menahan bapaknya dengan manarik lengan pria itu.

"Bapak teh khawatir sama Nilam, Neng. Gimana kalau terjadi sesuatu?" teriak Pak Wahyu dengan air mata berderai. Sedari tadi ia sulit menahan tangis, pipi keriputnya sudah basah oleh air mata.

"Nur tahu, Pak. Tapi kita harus berpikir dengan kepala dingin. Memangnya Bapak mau kalau Nur sendiri yang nyelesain masalah ini? Nur mana mampu. Nur juga butuh kekuatan dan doa dari Bapak." Wanita yang belum memiliki anak itu menitikan ari mata.

Melihat kesedihan yang ditunjukan Nur, Pak Wahyu kembali menjatuhkan badannya di lantai. Ia menekuk satu kaki, memeluknya sembari tergugu dalam tangis. Lurah Karta hanya bisa mengusap punggung Pak Wahyu dengan perlahan.

"Jangan egois Wahyu. Kamu teh kudu lebih kuat. Ini bukan masalah sepele. Kalo mau mah gak usah panggil polisi, kerahkan saja warga buat nyari si Nilam. Masalahnya, di luar teh poek keneh [masih gelap]. Mau ada korban lagi?" cecar Bah Karsun.

Pak Wahyu kembali mengusap rambutnya dengan gusar. Ia tidak ingin menanggapi, hanya berharap ayam segera berkokok dan semua warga turun ke tepi sungai dan jurang. Kalau harus terjun sekalipun, akan ia lakukan demi kembalinya Nilam.

"Wahyu, perasaan Abah mengatakan Nilam teh gak akan lama hilangnya. Nilam akan pulang. Percaya sama Abah. Sekarang mah tinggal banyak doa, kita berusaha semua. Minta kemudahan sama Gusti Allah," tutur pria yang badannya sudah sedikit bungkuk itu.

Semua orang di sana mengaminkan. Hanya satu pria bernama Basir yang masih merenungi masalah ini. Sedari tadi ia ingin membahas soal legenda desa, tetapi ditahan karena keadaan belum tenang. Pria itu akhirnya menoleh pada Teh Rita. "Teh punten, waktu Teteh ngehias berdoa dulu, gak?"

Yang ditanya tercekat karena Teh Rita masih merasa syok. "Iya atuh Kang. Semua ritual selalu saya lakukan dengan baik. Gak ada yang kelewat," jawab Teh Rita yakin.

"Kalau gitu Pak Wahyu, apa sebelum acara ada pantangan yang dilanggar? Ingat, Pak, desa kita teh masih sakral. Satu ritual saja terlewat, akan ada bencana besar," ucap Basir sedikit memberi penekanan.

Dengan nada lemah, Pak Wahyu menjawab karena ia tidak mau disalahkan. "Saya lakukan sewajarnya, Kang. Hanya saja, setelah pulang dari pemakaman, ada hal aneh yang menimpa Nilam."

"Hal aneh apa, Pak?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status