“Kenapa bisa terlambat?” bisik Galuh kepada Yudith. Pagi itu Yudith harus menemui salah satu klien bersama Galuh di salah satu ruangan meeting di kantornya. Pertemuan pukul delapan dan Yudith datang pukul delapan lebih lima menit di mana semua tim sudah duduk di sana tengah menunggu dirinya. “Maaf bapak dan ibu sekalian, saya pecah ban mobil saat ke sini. Baik mari kita segera mulai,” tukas Yudith tanpa menjawab pertanyaan sepupunya. Yudith berbohong mengenai pecah ban, ia bahkan tidak membawa mobil dan menaiki ojek online agar cepat sampai kantor. Ia bangun kesiangan dengan kepala berdenyut kencang, jika bukan mamanya yang menggedor pintu secara brutal karena Yudith tidak kunjung turun, maka habislah Yudith tidak akan bangun. “Benar pecah ban? Di mana mobilnya sekarang?” tanya Galuh setelah pertemuan selesai dengan lancar.Yudith meringis. “Aku kesiangan bangun, bang.” “Astaga ... habis nga
“Ada apa dengan klausul nomor sepuluh?” Yudith melanjutkan meeting segera setelah selesai menunggu Rajendra mengobati luka di bibirnya. Yudith menghela nafas panjang setelah meeting selesai namun belum tercapai kesepakatan. Beberapa harus mengalami revisi dari dua belah pihak. Ternyata memang Rajendra pebisnis handal, tidak main-main nominal yang kantornya siapkan dan ditolak mentah-mentah oleh laki-laki tersebut dengan menegaskan ia tidak ingin membahas nominal di awal meeting yang bahkan belum tercapai kesepakatan. “Terima kasih obatnya?” Sebuah suara mengakhiri lamunan panjang Yudith, ia tengah di samping mobil Galuh pada jam pulang kerja. “Kenapa Bapak masih berada di sini? meeting selesai dari siang kan?” Bukan menjawab melainkan Yudith justru bertanya mengapa Rajendra masih berada di sana. “Habis mengopi tadi sama teman di seberang, mobil aku masih di sini.” Rajendra menunjuk mobilnya di ujung bangunan
Yudith mengakhiri sesi berendamnya karena air di bathup sudah mendingin. Kepalanya berat, sakit semenjak pengakuan konyol Rajendra dua hari lalu. Yudith tidak pernah lagi percaya dengan apa pun ucapan yang keluar dari mulut Rajendra. “Mama ... ke tempat papa Yuk.” Yudith memeluk mamanya dari belakang, sang mama tengah membuat puding rumput laut kegemarannya. “Mendadak sekali, kangen papa ya?” Mama membelai punggung tangan Yudith di perutnya.Yudith mengangguk. “Iya ... kemarin aku mimpi papa.” “Baiklah Sayang, setelah ini selesai dulu ya.” Mama menoleh mendaratkan kecupan pada pipi putrinya. Yudith membawa keranjang bunga di tangan kiri dan menggandeng mama dengan tangan kanan. Menyusuri jalan setapak dengan banyak batu nisan di sebelah kiri dan kanannya. Menuju satu pusara, keduanya jongkok di sana berhadapan. Mulai mengambili daun kering di atas pusara sebelum meletakan bunga di sana serta air mawar.
“Lebih baik kamu pulang sekarang,” bisik laki-laki kurang ajar yang sudah Yudith hantam dengan clutch. “Berhenti ikut campur dan enyah dari hadapan aku, kamu lama-lama seperti bakteri ya menyebar di mana-mana tidak tahu tempat.” Yudith melenggang meninggalkan tempat ia menyerahkan undangan sebelum menjadi tontonan banyak orang karena perdebatan mereka. Yudith tahu jika ia dibuntuti dan tetap melenggang anggun mencari pemilik acara. Acara tersebut bukan acara resmi seperti peresmian kantor atau sejenisnya. Melainkan acara sejenis perayaan akan sebuah pencapaian pada satu perusahaan yang bergerak dibidang komunikasi. Pemilik acara adalah rekanan almarhum papa Yudith. “Berhenti mengekori aku, astaga,” geram Yudith. “Anggap saja aku enggak ada,” tukas Rajendra. Yudith menarik nafas panjang, sungguh menyebalkan ulah Rajendra. Yudith mengambil puding buah dan membawanya ke sebuah meja di mana ia su
“Hati-hati ya Sayang, Mama akan minta Galuh selalu pantau kamu selama di Singapura.” Mama memeluk Yudith saat sang putri hendak berangkat ke bandara dengan Galuh di sampingnya.Galuh tertawa kecil. “Siap Tante, aku akan taruh Yudith di ketek aku biar selalu aman.” Yudith daratkan cubitan pada lengan Galuh yang masih saja bercanda, mamanya memang selalu cemas berlebihan saat dia harus ke luar kota atau ke luar negeri untuk keperluan pekerjaan meskipun ada yang mendampingi. Namun mereka semua tahu jika Galuh akan menemani Yudith menemui klien namun tidak mengantarnya pulang ke Jakarta. Galuh akan terbang kembali menuju Kanada untuk memboyong keluarga calon istrinya. “Mama jangan cemas, aku hanya sendirian sehari saja di sana. Enggak ada sehari malah, hanya setengah hari. Mama juga baik-baik ya selama aku di sana.” Yudith memeluk mamanya dengan senyuman lebar. Yudith lebih banyak mempelajari perusahaan rekanan selama perjalanan
“Memangnya enggak bisa di simpan sama asisten kamu? aku bukan orang senggang yang bisa antar jas dan menemui kamu di luar seperti ini.” Yudith meletakan paper bag di meja saat baru saja sampai di lokasi pertemuannya dengan Rajendra. “Kan aku juga sudah bilang enggak perlu dikembalikan buru-buru, atau enggak usah dikembalikan sama sekali juga enggak masalah,” kilah Rajendra. “Buat apa aku simpan, ini sudah kan? aku langsung pulang saja ya?” Yudith bahkan tidak mendudukkan dirinya di kursi. “Bukan hanya kamu yang sibuk, Yudith. Berhenti terus menanduk ... kamu terlihat memaksakan diri terus marah-marah sama aku. Duduklah sebentar,” pinta Rajendra dengan suara pelan. “Memangnya aku harus berbaik-baik sama kamu? aku duduk karena sebagai ucapan terima kasih saja,” dengus Yudith. “Iya baik ... baik ... begitu juga enggak apa-apa.” Rajendra menyingkirkan paper bag ke kursi sampingnya dengan senyuman
Yudith menarik keluar map besar bertuliskan pengadilan agama, menutup laci tersebut tanpa merapikan terlebih dahulu. Membawa ke luar dari walk in closed dan duduk di tepi ranjangnya dengan satu kaki ia lipat ke atas ranjang sementara satu kaki lainnya menjuntai. “Ya Tuhan .... dia enggak bohong.” Yudith menutup mulutnya terkejut karena sertifikat yang di sebutkan Rajendra benar ada di sana. Yudith menghela nafas panjang, setidaknya tidak benar-benar hilang atau tidak sengaja terbuang. Walau bukan salahnya tapi jelas ia juga akan merasa bersalah dengan nominal sebesar itu. Yudith membuka perlahan, nama lengkapnya terpampang di sana sebagai pemilik tunggal, tidak ada nama lain di belakang namanya yang berarti hak mutlak miliknya. “Ibu ... kenapa sampai mengusulkan memberikan rumah ini sama aku, walau pakai uang anak ibu, tapi ibu tulus sekali sayang sama aku,” lirih Yudith. Yudith hendak menutup kembali sertif
“Bunuh diri?” beo Rajendra. “Iya bunuh diri karena simpanan kamu terus meneror Yudith dan kamu justru hilang di telan bumi. Yudith kurang apa sih, hah? dia jauh lebih cantik dan hebat dari pada simpanan kamu itu. Astaga, jangan ganggu Yudith kami lagi. Dia sangat menderita untuk bisa bangkit melanjutkan hidup kembali karena laki-laki berengsek seperti kamu,” seru Vanesa. “Beb sudah Beb sudah, jangan berteriak-teriak ya. Kamu bari dijahit.” Suami Vanesa membujuk sang istri agar berhenti emosi. “Sudah Nes sudah ya,” bujuk Yudith dengan ringis. “Dia harus tahu Yudh, dia harus tahu sehancur apa hidup kamu dibuatnya. Jika dia memohon maaf seumur hidupnya pun tidak akan bisa mengganti apa yang sudah kamu lewatkan itu.” Vanesa menggebu-gebu tidak memedulikan bujukan dua orang di sana. “Kamu keluar saja dulu.” Yudith menoleh pada Rajendra memintanya keluar dari dalam kamar rawat Vanesa.