Jessie mencoba bersikap biasa saja. Padahal, jujur saja pesan singkat Om Wisman terasa sangat mengganggu. Kenapa, sih, ia diberi cobaan hidup berat banget? Kenapa ia nggak kayak anak-anak konglomerat yang lain? Hidupnya gampang sejak kecil, pacaran sesama anak-anak konglo, tunangan megah, pesta kawinan mewah, punya anak, liburan ke luar negeri, bisnis berjalan lancar, perusahan beranak-pinak dengan cuan berlimpah-limpah.
Sementara ia sendiri, kenapa harus diasuh Tante Clarrisa, kenapa Papa harus pergi meninggalkan Mommy sehingga harus memilih jalan menitipkan Jessie pada Tante Clarrisa. Kenapa pula Om harus terjerat utang dan korupsi. Kenapa tidak menunggu Jessie lulus kuliah, dapat kerja, sehingga hidupnya tak lagi tergantung pada keluarga Tante Clarrisa. Sehingga ketika ia dijadikan jaminan pada Om Wisman, dengan tegas Jessie bisa menolak keras.
Hufftt…!
Jessie menghela napas. Ya sudahlah, yang sudah telanjur terjadi biarlah terjadi.
Pukul sembil
“Nggak gagal, kok. Cuma kurang lancar aja…,” kata Bambang lembut mencoba menenangkan penyiar baru yang baru saja demam panggung. Laki-laki itu menepuk bahu Jessie yang kaku. Tegang karena kecewa dengan dirinya sendiri. Kaku karena kedinginan. Beneran, deh, temperatur AC-nya kayak bisa berubah sendiri gitu. Jadi lebih dingin.Jessie mengembuskan napas pelan-pelan. Radio sedang memutar susunan lagu di playlist yang sudah disiapkan. Bambang menyuruhnya membikin minuman hangat.Di pantry Jessie membikin segelas susu panas. Ia tidaak tergesa harus segera kembali siaran. Bambang yang akan menjadi operator sementara. “Tenangkan dirimu dulu, Mbak. Pelan-pelan aja. Kalau sudah siap baru balik ke studio. Nggak usah tergesa-gesa.”“Terima kasih, Mas Bambang.”Jessie mengikuti saran Bambang. Ia menyeruput susu panasnya perlahan. Rasa hangat meluncur dari mulut ke tenggorokan. Lalu, menggelenyar menyebar ke sekujur tubuhnya.
Jari lentik Lisa berhenti menggeser layar ponsel. Matanya menumbuk sebuah postingan dari akun Instagram Alfin. Sebuah video sederhana. Sepertinya rekaman dari screen-recording ponsel. Lisa mencoba menaikkan volume ponselnya.“Satu lagu sudah hadir menemani kamu di acara STM malam ini. Mau lagu berikutnya, nggak? Boleh, loh, kalau mau rikues ke sini. Nomornya masih sama: 08195xx8xx9xx7. Sekarang kita baca satu pesan yang sudah masuk. Dari siapa, niih? Ohh, Alfin. Hai, Alfin selamat malam….”Lisa mengerenyitkan kening. Matanya membaca narasi singkat di caption postingan Instagram Alfin.‘Ternyata seperti ini rasanya. Rasanya namamu dipanggil oleh penyiar favoritmu. Penyiar favorit yang setiap saat setiap waktu memutar lagu-lagu cinta dan rindu yang sendu. Aku menyukai Penyiar Radio ini. Tapi, ia masih enggan menerima cintaku. Aku kudu bagaimana?’Hati Lisa panas. Ia tahu betul siapa penyiar yang dimaksud dalam postingan Instagram Alfin. Siapa lagi kalau bukan s
Pak Burhan mencari kesungguhan di ucapan Lisa. “Kamu serius dengan permintaanmu, Lisa?” tanyanya. “Aku membeli radio itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan Alfin. Gadis itu melamar kerja di tempatku juga tidak membawa-bawa Alfin. Lalu, kenapa sekarang aku harus repot-repot memecat gadis itu?”Lisa mengerang panjang. “Soalnya, gadis itu caper banget sama Alfin, Ooom…! Aku sama Alfin nggak bersama lagi pasti gara-gara gadis itu! Gadis gembel yang pura-pura menderita cuma demi mendapat simpati Alfin! Kalau bukan cewek gampangan, apa lagi namanya si gembel itu, Oomm…!?”Tookk…! Tokk…! Tookk…!Percakapan antara Lisa dan Pak Burhan terhenti. Seseorang mengetuk pintu ruang privat.“Pasti mengantar makanan. Masuk!” perintah Pak Burhan.Chef dan asistennya membuka pintu. Reaksi mereka biasa saja melihat ada Lisa berada di dalam ruangan. Berdua hanya dengan Pak Burhan.Chef menata makanan sesuai pesanan. Ia menjelaskan satu demi satu menu yang telah d
Hari ini ada kabar melegakan untuk Jessie. Kepulangan Om Wisman ditunda. Masih ada kepentingan bisnis dadakan yang harus diselesaikan. Kemungkinan besar esok atau lusa laki-laki itu baru akan sampai Indonesia.Jessie mengembus napas lega. Ia mulai memikirkan kemungkinan menerima tawaran Mommy. Ia ingin mengelola bisnis yang dipercayakan padanya supaya mendapat gaji lebih besar. Ia ingin segera bebas dari cengkeraman aki-aki tua bernama Wisman.Om Wisman membebaskan Jessie punya pacar. Bahkan, jika Jessie mau menikah pun laki-laki itu fine-fine saja. Ia membebaskan Jessie untuk memiliki pasangan hidup. Hanya saja, syaratnya, setiap saat Wisman ingin dilayani, Jessie harus siap muncul dan menyanggupi.Bagian syarat itu yang mengganjal hidup Jessie. Ia ingin bebas. Mau pacaran, kek. Mau menikah, kek. Mau apa saja, ia ingin bebas tanpa perlu ada khawatir sewaktu-waktu Om Wisman menghubunginya.Jessie bukan kacung! Ia tak sudi diperlakukan rendah seperti itu. Ia j
“Sembilan tujuh koma enam FM. Radio Siul, radionya kawula muda. Sapa sobat pendengar. Hiburan. Lagu-lagu lawas. Lagu mancanegara hits. Bersama aku, Jessie, kita ketemu lagi diii… eSSTeeeEeeM! Siaran Tengah Malam! Sebelum kita ngobrol-ngobrol panjang lebar pluus baca-bacain rikues dan salam dari kamu, nikmati dulu, yuk, emmm… satu lagu dari… ehh… emmm…. Yak, Justine Belieber dengan satu hits-nya yang kondang – tapi bukan kondangan, hehe, garing, ya? Okeh. Satu lagu hits mancanegara; Nyummy-Nyummy dari Justine Belieber spesial buat kamuuu…. Stay tune, jangan ke mana-mana, enjoy STM. Siaraann Tengaaah Malaamm…!”Bambang bekerja sigap. Ia segera menekan tombol play. Lagu Nyummy-Nyummy dari Justine Belieber segera berkumandang.Jessie mengembus napas lega. Bambang mengacungkan dua jempolnya ke udara. Berhasil – yeaay!Jessie lega berhasil membuka Siaran Tengah Malam kali ini dengan lumayan… berhasil. Yaa, lumayan bisa dibilang berhasil-lah. Bisa dibilang lumayan karena
Malam itu terasa benar-benar buruk. Mulut Jessie terkunci setelah membaca pesan tanpa nama pengirim. Bambang masuk ke studio dengan heran. Ia tidak mengerti mengapa rekan kerja barunya malah mematung memandangi layar laptop. Laki-laki itu melongokkan kepalanya. Ia turut membaca pesan pendek yang penuh berisi kebencian tersebut.“Oh…,” komentarnya pendek. “Nggak usah terlalu serius ditanggapi, Mbak Jessie.”Jessie ingin menyahuti Bambang tapi tak satu kata pun yang keluar. Tenggorokannya seperti tercekik. Suaranya malah terdengar mencicit kayak suara tikus kejepit got. “Ter… terus gimana, Mas?” tanyanya panik. Akhirnya suaranya keluar juga.“Kayak gini biasa aja, Mbak. Dulu, pas radio ini masih jaya, penyiar-penyiarnya kondang, beberapa kali – kalau belum boleh dibilang sering – ada pesan-pesan penuh ujaran kebencian kayak begini.” Bambang memperhatikan Jessie yang masih syok. “Nggak
“Jeeng…. Ada di rumah, nggak? Aku mampir sebentar, yaaa. Ada tawaran pekerjaan, niih. Bayarannya gedee. Kerjanya cuma seneng-seneeng. Boleh, yaa?”Tante Clarrisa mengiyakan. Ia sedang tidak ada pekerjaan. Acara televisi tidak menarik. Yang menelepon adalah Jeng Ries salah satu teman arisan sosialita Tante Clarrisa.Tak perlu waktu lama untuk Jeng Ries sampai di rumah. Dengan gaya centil wanita paruh baya itu masuk. Menyapa Tante Clarrisa sambil cipika-cipiki.“Sehat, kan, Jeeng?”Tante Clarrisa mempersilakan tamunya duduk. “Duitnya banyak, nggak?”Tawa centil Jeng Ries membahana. “Langsung to the point aja, sih, Jeng? BU alias Butuh Uang banget, ya?”Tante Clarrisa tahu sekali tentang ‘pekerjaan sampingan’ Jeng Ries. Wanita paruh baya yang centil itu punya banyak sekali ‘klien’. Kliennya bapak-bapak kesepian yang membutuhkan teman-teman. Mereka punya kriteri
Jessie tidak mau melambai supaya Om Wisman mudah menemukannya. Supir pribadi bos besar itulah yang kemudian menemui pimpinannya.“Sendiri saja?” tanya Om Wisman. “Bukannya aku sudah bilang untuk menjemput perempuan itu terlebih dulu?”‘Perempuan itu’.Jessie berdiri tak jauh dari mereka. Ia bisa mendengar sebutan yang disematkan Om Wisman padanya.‘Perempuan itu’. Betapa Jessie tidak dianggap oleh laki-laki itu. Betapa murahnya harga diri Jessie hingga hanya diberi sebutan ‘perempuan itu’. Kenapa laki-laki tua itu tidak menyebut nama? Toh, ia punya nama.‘Bukannya aku sudah bilang untuk menjemput Jessie terlebih dulu?’Seandainya perkataan Om Wisman barusan diganti menjadi demikian, tentu hati Jessie tak akan terluka. Tapi ya sudahlah. Toh kehadirannya menjadi pendamping Om Wisman, kan, hanya sekadar sebagai jaminan utang Tante Clarrisa.“Saya sudah menjemput Nona Jessie, Tuan Wisman,” jawab Pak Supir.Pak Supir saja mengerti tata kram