Marissa dan Naren duduk sembari menikmati makan siang mereka. Walau selera makan keduanya hanya sekitar tiga puluh persen, mereka terpaksa makan untuk mengusir perut keroncongan yang mereka rasakan. Naren masih menahan untuk mengatakan alasan yang Tristan gunakan untuk mempertahankan Marissa dan Marissa tidak lagi mengejar jawaban Naren karena merasa Tristan mempertahankan hubungan keduanya hanya karena nama baik semata.
"Aku tidak yakin jika Tristan melakukan semua ini dengan alasan yang dia kemukakan padaku," ujar Naren."Sungguh, aku tak ingin tahu alasan apa pun itu," balas Marissa."Kenyataannya memang aku tidak bisa mengatakan padamu, ini sebuah hal yang tak boleh bocor keluar. Aku tidak tahu sampai kapan kamu akan Tristan pertahanan, sehingga kamu pun tak berhak tahu atas ini semua," batin Naren.Marissa masih berusaha untuk tak peduli dengan apa yang dia rasakan. Baginya sekarang, Naren lebih dari cukup. Hingga dalam keheningan mereka berdTristan terkejut dengan kalimat yang Tuan Baruna ucapkan, dia tak percaya ayahnya mengucapkan kalimat itu. Baginya, dia akan tetap menjadi orang yang sama sekali tak dianggap oleh pria yang selama ini jauh darinya itu. "Aku menyadari jika kamu adalah putraku bukan karena cintaku pada mendiang ibumu, kamu putraku karena kamu jauh lebih mirip denganku daripada Naren," jelas Tuan Baruna. Tuan Baruna selama ini merasa harus mengakui Tristan karena sumpahnya pada mendiang sang istri. Dia terbebani akan sebuah kenyataan yang mengharuskan dirinya memilih mempertahankan Tristan untuk kebahagiaan sang istri. Namun, melihat segala yang terjadi selama sang istri meninggal, sekalipun pria itu bukan darah dagingnya, Tuan Baruna merasa Tristan memiliki banyak sekali persamaan dengan dirinya. Sekian lama Tuan Baruna memilih menghindar, tapi kenyataannya tetap tak bisa. "Maafkan Papa, Tan. Karena Papa kamu memiliki masa lalu yang begitu sulit," ujar pria itu.
Naren ke rumah sakit, dia tak ingin Tristan pulang dengan segala kemarahan dan ketidakterimaannya tentang apa yang terjadi. Pria itu tak bisa dicegah melakukan apa pun yang terjadi. Naren harus melindungi Marissa seperti nalurinya saat ini. Mobil melesat dengan cukup kencang ke rumah sakit. Semantara Marissa di rumah menunggu dengan penuh kegelisahan. Dia tak habis pikir jika ayah mertuanya sebenarnya mengetahui apa yang terjadi. "Naren," panggil Tristan saat pria itu turun dari mobilnya. Naren bergegas menghampiri adiknya, mereka berdiri saling berhadapan saat ini. "Kalian berbohong padaku?" desak Tristan. "Tidak, Tan. Sungguh tak ada kebohongan yang kami lakukan. Papa bangun dan tak ingat apa pun tadi," jelas Naren. "Bohong, Naren. Papa ingat semuanya dan bahkan dia mengetahui lebih dari yang aku pikirkan," jelas Tristan. "Apa?" Naren nampak khawatir. "Papa tahu hubunganku dengan Naomi dan dia ingin kami menyuda
"Mengapa kamu perlu tahu siapa prianya? Bahkan, saat kamu bersama wanita yang jauh di bawahku saja, kamu memintaku untuk mengerti," sahut Marissa.Hati Tristan bergejolak, dia juga merasa tak bisa menerima jika istrinya memiliki pria lain selain dirinya. Membayangkan saja sudah cukup membuat Tristan merasa sakit hati. Hingga dia menuntut sebuah kepastian dari Marissa sebenarnya siapa pria yang Marissa bicarakan."Kamu membuatku semakin pusing, aku datang untuk buat kesepakatan saja. Mengapa kamu menantangku akan berselingkuh?" desak Tristan."Ini bukan sebuah tantangan, Tan. Saat kamu mengaku jika kamu punya wanita lain, aku merasa aku harus memperjuangkan diriku sendiri," balas Marissa."Dengan membalas perselingkuhan yang aku lakukan?" tanya Tristan."Jika kamu keberatan, ceraikan aku," ujar Marissa dengan cukup jelas."Tidak, Rissa. Tidak akan ada perceraian sampai kapan pun," sahut Tristan menolak.Marissa diam tak b
"Kalian bertentangan?" tanya Naren saat melihat adiknya tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya. Sepertinya Naren sudah tahu apa yang terjadi antara adiknya itu dengan Marissa. "Aku gagal mengambil hatinya," lirih Tristan. Entah apa yang terjadi, Naren dan Tristan menjadi dekat sekarang ini. Mereka berdua banyak mengobrol dan banyak bicara berdua semenjak sang ayah sakit. Mereka juga sering bertukar pendapat. Tak bisa dipungkiri jika rencana sandiwara itu adalah menjadi sebuah rahasia umum antara dia dan Naren. Sehingga tak perlu banyak cerita, Naren sudah cukup mengerti. "Sangat sulit untuk mengatakan jika ini mudah, Tan. Pasti sulit," kata Naren. "Sebenarnya tak sulit jika Marissa berpikir ini hanya sementara," balas Tristan. "Hai, hubungan kalian ini bukan hubungan main-main. Ini pernikahan, Tan," bentak Naren. Tristan mengangkat kedua bahunya, dia mengisyaratkan jika sebenarnya dia tak begitu peduli dengan hubungan yang dia d
"Tidak, Pa. Aku ada keperluan sebentar. Tidak ada hubungannya sama sekali dengan Marissa," dusta Naren pada ayahnya.Pria itu meninggalkan begitu saja ayahnya yang berdiri penuh dengan tanya itu. Tak ada yang bisa dia lakukan selain menghindar. Sembari menuju mobilnya, Naren merogoh ponsel dalam sakunya. Dia segera menempelkan benda pipih itu ke telinga."Aku segera datang." Kalimat itu begitu jelas Naren ucapkan. Hal yang begitu serius itu membuat Tuan Baruna menjadi bingung. Sudah ada kecurigaan di dalam hatinya selama ini, tapi tak dia ungkapkan karena merasa tak ingin membuat keadaan menjadi keruh. Namun, kali ini rasanya sangat berbeda. Ada hal yang begitu mengganjal di dalam hatinya dan itu terasa sangat nyata."Rissa, aku tak bisa ikut denganmu ke hotel. Aku yakin Papa akan meminta seseorang untuk mengikutiku. Aku begitu ceroboh karena bergegas keluar setelah kamu pergi keluar," jelas Naren.Marissa yang mengemudi dalam keadaan yang cukup k
"Aku siap berpisah dengan Naren jika kamu menutup hubunganmu dengan wanita itu," lanjutnya dalam hati.Mereka berdua masih tak bisa menyelesaikan apa yang terjadi di masing-masing pihak. Yang ada hanya sebuah keadaan yang sampai saat itu tidak bisa disepakati oleh Marissa dan Tristan."Apa sudah ada pria lain yang kamu katakan seperti hari itu?" tanya Tristan."Bukankah itu rahasia? Kamu juga merahasiakan segalanya, jadi apa kamu perlu tahu tentang apa yang terjadi padaku?" Marissa mengelak.Saat ini memang Tristan masih belum tahu apa pun tentang hubungan Marissa dan Naren, sehingga mereka berdua masih cukup aman."Sampai kapan mau seperti ini, Rissa? Lalu apa yang akan kamu lakukan setelah aku memberikan semua ini padamu?" Tristan merasa sudah terdesak oleh keadaan."Siapa yang peduli? Aku bahkan bisa membeli ini semua tanpa uangmu. Seharusnya kamu tahu hal itu," katanya ketus."Lalu aku salah melakukan ini untukmu?" t
"Sudah, Tan. Jangan seperti anak kecil. Salahmu sendiri yang membuatku terkejut dengan berita jika kalian akan segera menempati rumah baru. Kapan kamu membelinya?" Naren memisahkan Marissa dan Tristan yang terlibat cekcok kecil. "Tidak penting kapan aku membelinya, yang jelas aku dan Marissa setuju untuk segera menempati rumah itu," balas Tristan. "Ah, sungguh?" Tuan Baruna menimpali. "Rissa, katakan apa yang Tristan maksud itu benar," seloroh ayah mertuanya. Marissa mengangkat dagunya dan memandang ke arah pria yang mengajaknya bicara itu. "Benar, Pa. Kami akan belanja untuk mengisinya dan kami akan segera berkemas," jawab Marissa. Hal itu membuat Tristan semakin senang, dia merasa menang dan Marissa dalam genggamannya. Walau tak mudah untuk dikendalikan, tapi Marissa cukup mengetahui jika semuanya tidak serta merta sebuah hal yang bisa dia anggap kecil dan remeh. "Jadi, kamu memutuskan untuk pindah? Apa yang kamu inginkan, Rissa?"
"Seperti apa pun akhirnya, inilah adanya," ujar Marissa. Naren menjadi kesal, niat membicarakan hubungan penuh dengan cinta dan ingin menemukan jalan keluar terbaik, nyatanya justru berbalik. Mereka berdua silang pendapat dan justru terlibat salah paham. "Kamu memanfaatkan aku?" tanya Naren. "Tidak sama sekali, kita menjalani hubungan ini dengan kesadaran dan dengan segala konsekuensi atas apa yang akan menjadi masa depan kita, Naren," jelas Marissa. Dengan sadar, Marissa memang ingin mulai menutup hubungan mereka berdua. Dia mencobanya secara perlahan karena mengetahui bagaimana Naren akan bertindak. Pria itu tak akan pernah melepaskan Marissa apa pun alasannya. "Hadapi aku dulu jika kamu memilih untuk tinggal bersama suamimu di rumah lain, Rissa." Naren menimpali. "Naren, aku tahu ini akan terjadi." Marissa sudah tahu apa yang akan Naren lakukan padanya. "Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku perbuat saat suamiku