Budi terus menatap mobil yang baru saja pergi dari halaman rumahnya hingga menghilang di belokan. Ia beralih melihat benda putih di tangan dan meremasnya perlahan. Dengan tangan gemetar ia menyobek sedikit ujung benda itu yang langsung menampakkan setumpuk uang berwarna merah yang ditaksir lebih dari dua puluh lembar.Sejam yang lalu Ari datang bersama Bagus untuk meminta restu jika ia akan menikah. Sebagai orang tua ia pasti sangat bahagia dan mendoakan untuk kebaikan anaknya. Namun bukan hanya sekedar doa yang anak sulungnya inginkan, ia juga menginginkan kehadirannya juga Ningsih dan Rio untuk datang ke resepsi pernikahannya.Awalnya Budi menolak dengan berbagai alasan, ia malu karena dengan masa lalunya dengan Rini, apalagi sekarang taraf hidupnya jauh di bawah mantan istrinya. Namun Ari terus memaksanya datang dan malah memberinya sejumlah uang untuk ongkos perjalanan, hal itu membuat Budi merasa sangat malu dan tak berguna. Saat orang tua pada umumnya tak segan menghabiskan uang
Suara sound menggema dalam ruangan aula yang biasanya di pakai untuk lapangan olah raga. Dekorasi berwarna dasar putih terbentang indah di depan disertai kelambu dan hiasan bunga yang hampir memenuhi semua sudut ruangan. Kursi-kursi berwarna putih telah di susun rapi di kelilingi beberapa stand makanan yang telah dipersiapkan pihak penyelenggara pernikahan.Hari ini tak kurang dari lima ratus undangan akan datang menghadiri acara yang diselenggarakan Rini dan Tanto. Mereka terdiri dari keluarga besar, tetangga juga teman kerja Ari dan Tanto yang kemarin tak menghadiri resepsi di rumah Fira.“Kamu cantik,” bisik Ari pada Fira yang kini tengah berjalan beriringan menuju pelaminan.Fira melirik pada laki-laki yang baru beberapa hari menjadi suaminya lalu melayangkan senyum menggoda. Fira yang mengenakan gaun panjang berwarna putih serta rambut yang dicepol tinggi memperlihatkan kalung di lehernya juga wajah bermake up natural tanpa kacamata membuatnya terlihat sangat anggun. Sedangkan A
“Mama, kakak kapan pulang?”Sebuah pertanyaan yang setiap hari tak pernah absen keluar dari mulut Rafif. Semenjak Bagus kuliah, memang hanya dia sendiri yang kini tinggal di rumah bersama Rini dan Tanto. Meski mamanya telah menyertakan Rafif pada berbagai kegiatan ekstrakurikuler agar mempunyai banyak aktivitas, namun tetap saja setiap berada di rumah anak itu akan merasa kesepian. Meski Bagus diterima di perguruan tinggi yang hanya berjarak dua jam dari rumah, namun tak membuat anak itu sering pulang ke rumah dan hanya akan pulang paling cepat dua minggu sekali bahkan pernah sebulan sekali. Hal itu dikarenakan ia mengikuti banyak kegiatan di kampus termasuk olahraga futsal yang mengharuskan ia mengikuti pertandingan atau latihan di akhir pekan.Yang menjadi obat rindu satu-satunya untuk Rafif adalah kedatangan kakak pertamanya yang selalu berkunjung setiap sabtu sore. Biasanya selepas menjemput Fira pulang kerja, Ari selalu menyempatkan diri untuk mampir walau hanya beberapa jam.“M
“Masih mikirin Bagus?” tanya Tanto seraya duduk di samping Rini.Setelah makan malam, biasanya mereka berkumpul di ruang keluarga bersama Rafif untuk mengobrol atau sekedar menonton televisi, namun kali ini Rini memilih untuk masuk ke dalam kamar karena merasa sedikit tak enak badan. Alhasil Tanto terpaksa menyusulnya dan membiarkan Rafif bermain ponsel sendirian di sana. Jurus pamungkas agar anak itu tak selalu berteriak saat merasa sepi di rumah.Rini hanya menganggukkan kepala, setelah mendengar pengakuan anaknya tempo hari, hari-harinya dipenuhi perasaan tak tenang. Ia begitu takut anaknya terus dihantui rasa takut akibat masa lalu. Tak hanya masalah Bagus, Rini juga memikirkan perihal rencana Ari dalam menunda memiliki anak. Ia takut keputusan anak sulungnya itu juga didasari ketakutan akan permasalahan yang bisa saja menimpa keluarga mereka. “Ini semua salahku, Mas,” gumam Rini.“Tak ada yang salah dalam hal ini, semua sudah takdir.” Tanto membawa Rini ke pelukannya. Ia tahu k
Pertandingan baru saja selesai beberapa saat yang lalu dengan hasil yang cukup memuaskan. Meski hanya unggul dua gol, namun Bagus merasa lega karena timnya bisa melaju ke babak selanjutnya.“Aku pulang dulu, ya!” Bagus berpamitan pada semua temannya yang masih mengobrol di parkiran.Bagus segera menutup kaca helmnya dan bersiap menyalakan motor besar selalu menemani hari-harinya yang tak lain adalah motor bekas milik kakaknya. Meski beberapa kali Ayahnya menawari untuk membeli motor baru, namun ia selalu menolaknya karena tak mau terus membebani Ayah sambungnya. Ia bahkan sudah sangat bersyukur bisa berkuliah, sebuah hal yang mustahil baginya jika mamanya tak menikah lagi dengan Ayahnya saat ini.“Bagus selamat, ya!” Bagus menunda menyalakan motonya saat Andin tiba-tiba berdiri di hadapannya. Seperti biasa gadis itu berpenampilan cantik dan selalu mengumbar senyum manis di hadapannya.“Terima kasih, tapi lain kali enggak usah teriak-teriak bisa, enggak? Malu-maluin tahu!” jawab Bagus
Semua keluarga kini tengah berkumpul untuk memastikan kondisi Rini. Ari dan Bagus sengaja pulang untuk memastikan mereka akan mempunyai adik lagi atau tidak. Dengan wajah was-was, Tanto beserta ketiga anak Rini kini duduk berjajar sembari menunggu Rini yang tengah melakukan tes kehamilan bersama Fira.Ari dan Bagus sedikit frustasi setelah Tanto mengabari jika mama mereka mual-mual dan kemungkinan tengah berbadan dua. Tanpa diperintah, keduanya segera datang dan meminta Rini melakukan tes kehamilan. Bahkan Fira yang kondisinya sedang lemah, memaksa ikut karena penasaran dengan kondisi mertuanya.“Asyik, aku mau punya adik!” teriak Rafif yang sudah lama menantikan hadirnya seseorang yang bisa menemaninya di rumah.“Ayah masih tokcer juga,” sindir Ari yang sebenarnya tak ingin lagi memiliki adik.“Ya, mau bagaimana lagi,” jawab Tanto enteng.Dari ketiganya, Baguslah yang paling menampakkan wajah tenang. Baginya punya adik sekaligus keponakan akan membuat keluarganya semakin ramai.“Gima
Bagus menyentuh gundukan tanah basah yang bertabur bunga di depannya. Kini tugasnya telah usai, sepuluh bulan berjuang, melawan rasa sakit, Budi akhirnya menyerah dan berpulang malam tadi. “Maafkan Bapak, Nak, juga sampaikan maaf untuk Mama dan kakakmu,” ucap Budi dengan nafas tersengal.Dua hari setelah Bagus datang, ia memang sudah sadar dari koma. Setelah beberapa lama menjalani perawatan di rumah sakit dan sempat menjalani dua kali operasi akhirnya pihak keluarga memutuskan untuk merawat di rumah.Akibat kecelakaan itu, Budi akhirnya hanya bisa terbaring di ranjang karena sebagian besar tubuhnya tak berfungsi, belum lagi kakinya yang patah tulang membuatnya semakin tak bisa berbuat apa-apa. Maka dari itulah demi merawat Bapak kandungnya Bagus akhirnya memutuskan untuk pindah kuliah ke kampus yang paling dekat dari kampungnya dan mengambil kelas akhir pekan.“Kenapa kamu melakukan semua ini? Padahal Bapak sudah menelantarkanmu waktu kecil, bahkan Bapak tak jadi membelikanmu mobil
“Owalah, Gus, Gus, kamu mau cari yang kayak apa lagi? Masa cewek secantik Andin dianggurin gitu aja?”Sebuah pertanyaan yang paling sering diajukan oleh teman-temannya seakan terngiang dikepala. Sekian lama tak bertemu, nyatanya ada euforia terasa dalam perjalanannya kembali ke kota. Harapan untuk menemui gadis yang dulu selalu mengejarnya semakin dengan sehingga menimbulkan rasa yang membuncah didadanya.Hari ini tepat hari kedelapan Budi meninggalkan dunia. Setelah acara selamatan peringatan tujuh hari dilakukan kemarin, Bagus pagi ini bertolak ke kota untuk menemui keluarganya. Dengan mengendarai kereta api, Bagus berangkat jam tujuh pagi dan akan tiba sekitar jam tiga sore nanti.“Hati-hati di jalan ya, Gus! Titip salam buat Mama dan Ayahmu. Jangan lupa pesanan Bude buat Kak Fira disampaikan, ya!” ucap Riyati saat mengantarkan keponakannya sampai di stasiun.“Iya, Bude,” jawab Bagus singkat.Seperti biasa, setiap ada orang ke kota, Riyati selalu menitipkan banyak oleh-oleh untuk R