Kami pulang setelah hampir dua jam bicara dari hati ke hati, saling mengetahui perasaan masing-masing, saling cerita mimpi-mimpi kami sambil melihat awan yang berarak.
“Bisakah kita janji, akan sama-sama perjuangkan cinta kita ke depannya?”
Sesampai di depan barak, belum aku turun dari mobil Yandi menodongku dengan mengulurkan kelingkingnya.
“Lebay, apaan coba pakai janji segala. Kita-“
“Sekar. Ini buktikan keseriusan kita. Biar aku makin mantap melangkah. Aku butuh janji kamu sebelum pergi.”
Terdiam, kupandangi kelingkingnya.
“Berjanjilah kalau kita akan berjuang, melewati apa pun yang terjadi di depan. Perasaanku ini nggak main-main, Sekar. Ingat, saat pertama kita jadi tetangga?”
Kudengarkan dia bicara.
“Kamu baru tinggal sama ibumu, tapi hari itu kamu sudah lari ke rumah saat dipukul pakai sapu. Tangismu kesakitan manggil Ummi membuatku ikut menahan tangis. Aku diam-diam marah sama ibumu yang kasar. Sejak itu naluri ingin melindungi ada. Semakin waktu berjalan, aku lihat gimana kamu berjuang merebut kasih ibumu. Ceria di wajah ini ...” Ditunjuknya pipiku. “belum pernah kulihat pudar, padahal itu pasti sakit. Sangat sakit, sebab sampai kamu mulai dewasa aja masih suka dihajar.”
Dihelanya napas, sembari menyentuh pucuk kepalaku.
“Sejak kecil aku dan Kak Riri belum pernah dipukul begitu. Mama Papa selalu manis dan sayang kami. Kalau jadi kamu, aku rasa diri ini nggak kuat. Karena itu sekarang aku butuh istri kayak kamu, Sekar. Seorang istri kuat mentalnya. Tolong jangan permainkan perasaanku.”
Mengedip mata tanpa sadar jatuh lagi bulir air mataku. Yandi membuatku memutar ingatan pada masa buruk saat Ibu sering memukulku. Cowok ini sangat mengenalku, dia banyak membantu sampai detik sekarang.
Tidak ada alasan menolak perasaannya. Aku janji akan perjuangkannya juga.
Perlahan kugerakkan tangan kanan. Menekuk jari lain, menyisakan kelingking kecil yang kudekatkan ke kelingkingnya. Pelan tapi pasti, dua jari paling kecil ini bertaut.
“Aku janji akan cinta Sekar sampai kapanpun juga.”
“Yan … kok janjinya gitu?”
“Trus gimana?”
“Aku janji akan menyayangi Yandi sampai Allah berikanyang terbaik untuk kami.”
“Kok?!” Sekarang dia yang protes.
“Kata Ummi kita nggak boleh mendahului kehendak Allah.” Aku suka mengutip kalimat ceramah Ummi, walau diriku sendiri sulit menjalankannya.
“Baiklah, aku janji akan terus mencintai Sekar sampai Allah menetapkan yang terbaik untuk kami.”
“Kamu ulangi,” katanya padaku.
“Kan udah tadi?”
“Bilang cinta, bukan sayang. Ayo!”
“Sama aja.” Mau kulepaskan jari tapi ditahannya.
“Ayo dong bilang cinta, Sekar. Sekalii aja. Aku mau dengar, mumpung masih di sini.”
Terdiam, kurasakan wajah ini jadi super panas. Yandi ini banyak maunya!
“Ayo … dua jam lagi aku balik, jangan buat aku rugi pulang tanpa dengar kata itu dari mulut kamu.”
“Ih, apaan sih, Yan.”
“Ayo dong.” Mukanya mendekat, dengan daguku dipegangnya.
Gemuruh rasa menggumpal di dada. Kami saling bertatapan. Bagian hati melarangku melakukan ini. Dosa mata, dosa pikiran, tapi sisi ego di dalam sana sulit menolaknya.
Inilah aku manusia, tengah dimabuk cinta sampai lupa lagi jaga pandangan. Pesona Yandi terasa menyihir.
“Aku … cinta … kamu, Yan.” Panas pipi makin kentara, bercampur degup jantung bertalu yang terdengar di telinga.
“Benarkah?” Dia makin medekatkan wajah, napas hangatnya terasa di pipi.
Jangan Sekar, kalian belum halal! Teriakan persis suara Ummi terdengar, tapi suara lain tak mau kalah
Nggak apa Ummi izinkan kali ini aja ... Yandi mau pergi jauh, anggap ini tanda perpisahan kami.
Riuh suara beradu di otakku. Napas wangi mint itu makin terasa, ujung hidungnya beradu dengan pucuk hidungku, refleks aku menutup mata.
Biarkan aku berdosa sebentar saja, Tuhan ….
Sungguh, ini doa paling absurd yang pernah kuminta.
“Tunggu kita halal, ya,” ujarnya membuatku cepat buka mata.
Ternyata wajah Yandi sudah menjauh, dia usap pucuk kepalaku yang mungkin tengah berasap saking terbakarnya muka ini.
Ya ampuun, malunya aku …!
Lekas membuka pintu, aku mau cepat menghilang dari hadapannya.
“Assalamualaikum, Sekar.”
“W-wa'alaikumsalam, Yan.”
Aku sudah turun, menjawab salamnya setelah berdiri di depan pintu mobil. Kuberanikan diri melihat senyum manis yang tercetak di wajahnya.
“Hati-hati nanti di jalan, Yan. Makasih ponselnya. Makasih buat semua,” ucapku cepat.
“Sama-sama. Istirahat, ya. Sisa waktu sedikit, aku masih mau ngomong sama Mama sebelum ke bandara.”
Mengangguk kecil, aku menutup pintu mobilnya tanpa tenaga, Yandi kemudian yang menarik daun pintu itu merapat.
Kenapa aku ini merasa diri jadi super linglung? Yah, mungkin beginilah rasa cinta mampu merusak otak.
Hufs!
Kuembuskan napas, berdiri di sisi halaman melihat belakang mobil Yandi makin menjauh. Saat akan berbalik masuk halaman, tak sengaja mata melihat seorang berjaket jeans kusam duduk di motor gede lawas, di seberang jalan, tengah menatap lekat ke sini.
Siapa?
Gegas aku jalan ke pintu ujung, membuka lalu menutup pintunya tanpa berani berbalik.
Masih belum tenang, kuintip lagi ke sana dari celah gorden. Orang itu seperti mengambil foto lalu menelepon sambil terus melihat ke sini.
Motor dinyalakan, menimbulkan suara khas meletup-letup. Aku masih penasaran, belum beranjak memerhatikan. Motor dan orang itu asing di mata.
Apa dia lagi lihat ke kamar lain?
Ya, bisa saja begitu.
Orangnya sudah pergi, aku mau berbalik dari jendela, tapi suara motor itu terdengar berhenti di depan membuatku melihat keluar lagi.
Lelaki asing menaikkan kaca helm, mata kami beradu. Hampir bertaut alisku melihat pemilik wajah yang sudah menua, mencoba mengenalinya.
Sebelah matanya dikedipkan genit, sukses membuat mulutku langsung menganga lebar.
Aaaggh! Aku dikedipin Bandot Tua …!
*
Sejak adanya lelaki tua bermotor besar itu seperti ada yang memata-matai aku. Kerap was-was buka pintu kalau lingkungan sedang sepi.
Kemarin ada lelaki lain bermotor bebek berhenti di warung lotek seberang, matanya juga tak lepas dari sini. Seminggu sebelumnya juga sempat lihat orang sama, berhenti di depan malam-malam, menoleh ke kamarku dan itu terjadi tepat saat aku lembur jahit, dan intip jendela melihat geriknya. Jadi ini bukan sekadar perasaan curiga tapi memang matanya sering ke arah sini.
Siapa mereka?
Mau apa?
Aku merasa takut tanpa ada teman atau saudara bersamaku. Untung dengan tetangga hubungan cukup baik, mereka sudah kuberitahu, tapi tetap saja aku di dalam ini sering sendiri, yang lain kerja saat siang.
“Lagi ngapain?” Yandi saat senggang pasti telepon.
Aku pernah protes kalau dia boros pulsa, tapi dia screenshot kalau pakai paket nelpon sebulan jadi aku tak bisa protes lagi. Yandi memang pintar menenangkanku. Dia kuliah nyambi kerja jual produk MLM, sasarannya teman-teman kampus. Aku kagum sama semangatnya.
“Ini ada yang permak kemeja, dikecilin.”
Ponsel pemberiannya waktu kamu ke Danau Biru kuletakkan dimeja, sisi mesin jahit, suara di-speaker. Aku dengar jelas suaranya, tapi pas bicara kumajukan mulut dekati benda tipis itu.
“Sudah makan, Sayang?”
“Sudah.” Tiap dia menyebutku ‘sayang’ dari dada terasa keluar bunga-bunga terbang.
“Kamu?” tanyaku balik, sambil menggerakkan kain di bawah jarum.
“Sudah, dong. Oya, kamu makan pakai apa?” Ough! Suaranya terdengar renyah. Bikin kangen.
“Ya pake nasi, masa pake pasir.” Menahan tawa, aku sengaja membuatnya kesal.
“Lauknya, Sayang. Telur, ayam, apa tempe?”
“Semua salah, aku makan pake ikan tongkol, tadi aku masak kare sepanci, jadi bisa sampai besok.”
“Aih, enaknya. Sudah nggak sabar pengen jadi suami, makan masakan buatan kamu.”
“Gombal!”
Gelak tawanya pecah, terdengar enak banget di telinga. Yandi ini senyum saja sudah bisa bikin hati bergetar-getar, apalagi kalau tertawa, aku kayak dibawa terbang ke awan.
Suara motor berhenti di luar. Aku langsung berdiri, melihat ke jendela yang tertutup gorden tipis putih. Ada motor matic diikuti motor bebek, lalu motor besar yang waktu itu pengendaranya si Bandot.
Kumatikan dinamo jahit.
“Sekar, Sekar!” panggilan keras menyebut namaku.
“Siapa, Yang?” Yandi tadi tengah bicara lain langsung tanya. Pasti kedengaran sampai sana.
“Yan, sebentar. Sudah dulu.” Aku memang belum cerita padanya, takut Yandi nekat ke sini lagi karena khawatir.
“Siapa?”
“Nanti kubilang.” Segera kuucap salam, sambil putuskan sambungan telepon aku menuju pintu. Suara yang memanggil-manggil itu seperti ku kenal.
Pintu terkuak. Menampakkan lelaki berambut tipis menatapku dengan mata membesar.
“Ngapain kok lama buka? Nggak sopan sama orang tua!” Belum apa-apa sudah marah. Sama saja dengan Ibu.
“Ngapain kok lama buka? Nggak sopan sama orang tua!” Belum apa-apa sudah marah. Sama saja dengan Ibu. “Paman.” Aku mendekat meraih punggung tangannya. Kakak Ibu ini datang rombongan, yang mau masuk ada tiga orang. Lelaki tua yang mengedipkan mata waktu itu terlihat jelalatan menatapku. Ihh, jadi merinding! “Kamu ini mau-maunya tinggal di tempat begini.” Melihat ruangan sempit tempatku tinggal, wajah Paman cemberut. Bisa kuingat, saat kejadian buruk menimpaku Paman termasuk lantang ikut menyalahkan, dan menyebutku anak salah didik. Aku tersenyum pahit. “Nggak apa, Paman. Silakan duduk.” Aku mengangguk sopan pada yang lain, menunjuk kursi plastik tiga di depan mereka. “Kami ke sini bukan mau bertamu. Cuma mau sampaikan pesan dari ibumu. Paman ini sudah diserahkan jadi wali kamu ….”
“Makanlah. Habiskan.” Nasi bungkus diberikan Pak Haji, diambil dari sisa jualan istrinya yang baru pulang berjualan keliling. “Terima kasih, Pak.” Mata masih terasa menyipit bekas menangis tadi. Kaki pegal sisa capai lari kencang dikejar Paman, tapi hati sudah melega. Setelah Paman pergi aku menerima telepon Yandi yang khawatir panggilannya tak kunjung diangkat, dia langsung bisa kuandalkan dengan solusinya. “Sama-sama. Kamu itu bapak nilai anak sopan juga cerdas. Tidak seperti yang pamanmu bilang.” Sedikit menunduk, aku tersenyum kecil sambil mengunyah suapan pertama. Ternyata ini nasi gurih, meski lauk sederhana lengkap dengan sambal teri, rasanya sangat enak. “Memang tidak ada anak nakal, Pak. Yang ada anak yang belum diberitahu baik-baik, belum paham. Lihat tadi, Sekar mau bantu a
Dua jam kebersamaanku dengan keluarga ini terasa singkat. Aku benar-benar hanyut dengan suasana akrab dengan mereka, padahal kami baru saja mengenal. “Kamu yakin ini akan pulang, menuruti ibu dan pamanmu?” Ragu-ragu, aku mengangguk kecil atas pertanyaan Pak Haji. “Kalau memang mau menikah, tunggu dulu kabar bapakmu, Sekar. Usahakan mencarinya, biar pernikahanmu tidak batil,” nasihatnya lagi. Pak Haji tadi bilang, kalau beliau dengar kabar terakhir Bapak sudah pulang ke Semarang, kebetulan tanah Bapak di desa seberang Mentaya itu dijual pada saudara Pak Haji, karena anak Bapak sakit. Kebetulan Pak Haji yang bantu urus dulu, masih tersimpan fotocopy KTP Bapak, yang akan jadi titik terang aku mencari kampung asalnya. Alhamdulillah, lari ke sini mungkin sudah jadi petunjuk-Nya untukku. “Terima
“Sebentar.” Menyambar ponselnya dengan tangan kiri Yandi lekas ke kamar mandi, menutup pintu. Senyum, sambil lanjutkan makan kuarahkan kuping mendengar Yandi nge-drama. Dia bilang lagi sakit perut. “Nanti aja lagi Mama nelpon, Yandi mulas, Ma ….” Terdengar mengaduh, sudah bisa kubayangkan mukanya dibuat meringis di depan layar. Kasihan. Dusta Yandi bisa selancar itu demi melindungiku. Senang, tapi ada rasa asing lain di dalam dada. Tak sampai semenit dia keluar dari kamar mandi. Kuhitung ada puluhan kalimat kebohongan keluar darinya tadi, membuat selera makan sedikit menguap. Rasa bersalah menyergap saat menatap wajah itu memerah, tapi usaha senyum-senyum padaku. “Gitu tuh tampangnya kalau habis bo’ong,” ujarku seraya menyudahi makan. Bangun, cuci tangan di kamar mandi.
Tidak sulit mencari. Setelah mampir sarapan soto, dan mengabarkan Yandi tadi langkah sudah membawaku di depan ruko berpintu kaca lebar. Menarik napas panjang diiringi doa aku mendorong pintu kaca. Wajah langsung disergap angin dingin, kuatur napas, adaptasi sejenak dengan hawa baru sebelum menutup pintu. “Pagiii, ada yang bisa dibantu, Mbak?” Salam super ramah dari seorang wanita cantik, yang berdiri dari balik meja panjang. Sedikit tergeragap kuanggukkan kepala. “Pa-pagi, Mbak.” Tadi kukira langsung dihadapkan pada peralatan jahit, baju-baju pajangan, bukan diterima secara resmi begini. Ini seperti ruang kantoran, dinding kaca lebar itu dihiasi tirai lipat mewah warna putih. Aduhh, mendadak badan terasa mengambang tak jelas. Degup jantung mulai tak beraturan.
Hari pertama di tempat kerja, terasa berat karena kulewati tanpa bisa berbagi cerita dengan Yandi. Dia melarangku mengontak sampai dihubungi lebih dulu. Tak ingin membuat masalah aku dengan orang tuanya kupilih fokus pada pekerjaan. Di sini aku sekarang, ruang jahit, letaknya belakang ruko yang terbagi dua lorong. Belok ke sisi kanan adalah ruang khusus pelanggan dan pajangan jas mewah, dengan sewing room minimalis, tampak mewah. Sebelum ke ruang ini aku diajak melihat di sana. Kata Pak Calvin kalau kerjaku bagus akan ada saatnya aku jadi bagian di ruang itu. Semacam motivasi untukku berjuang dari awal ini. Ya, karena kalimatnya itu aku jadi sangat ingin bergabung di tempat kerja yang persis kantor begitu. Jauh beda dengan di sini, hanya ruang luas tanpa sekat, tempat 20 pekerja yang melewatiku malam tadi. Mereka semua adalah penjahit produk merk Calvin juga, tapi berupa cardigan dan blazer. H
“Sekar masih belum selesai?” Tatapan prihatin teman sebelah, melihatku yang masih tegang di belakang mesin jahit. Aku merasa lamban dibanding mereka. “Belum, Mbak,” jawabku lemah. “Maaf kita nggak bisa nunggu, ya.” “Iya, nggak apa, Mbak.” Aku mendongak sambil tersenyum, lalu kembali menggerakkan jari yang terasa mulai kebas. Mereka satu persatu pulang, aku cuma bisa melirik, menahan perasaan cemas akan tertinggal lagi sendiri. Tugas wajib selesai, kalau tidak mungkin aku gagal, dan siap-siap ditendang keluar oleh si Kulkas. Harus tetap fokus. “Belum selesai juga?” Kuangkat wajah, baru menyadari ada lelaki berkemeja putih berdiri tak jauh dariku. Dia ini yang kusebut Kulkas itu. “Belum, Pak." A
“Yandi kah?” tanyaku lagi. Salma menggeleng. "Nggak kenal." Selain Yandi di sini aku nggak punya teman lain. … jangan-jangan Tante Mel ngikutin aku ke sini?! Lekas kutarik kerudung dari rak bawah lemari, bagian yang sukarela dibagi Salma untuk menyimpan pakaianku. Belum juga aku keluar, pintu sontak terbuka lebar tanpa diketuk, dan siapa yang muncul itu membuat jantungku melompat. Tante Mel, dan di belakangnya ada dua anak kos yang melihatku dengan wajah tegang. “Buat apa kamu masih pakai kerudung? Topeng!” “Tante?” “Tutup mulutmu. Siapa sudi dipanggil Tante dengan mulut busuk itu. Kamu pikir bisa nipu banyak orang lagi, hah?! Pakai pura-pura sok