SENTUHAN HARAM SUAMIKU
Aku menajamkan penglihatan. Ingin memastikan bahwa apa yang kulihat itu nyata, bukan sekadar bayangan. Aku sempat ragu karena dia terlihat memakai jaket hijau khas sebuah aplikasi driver online. Tapi setelah dilihat lagi dengan seksama, itu memang Mas Fajar. Aku hafal betul, postur tubuh lelaki yang sudah hampir sembilan tahun satu kantor denganku itu.
"Pak, saya ga jadi langsung pulang lagi. Ada urusan dulu. Makasih ya!" Aku menyerahkan uang untuk ongkos kepada tukang ojek yang disuruh untuk menunggu tadi. Tukang ojek pun langsung melesat setelah menerima uang dariku.
Dengan hati yang berdebar-debar, aku berjalan sedikit cepat untuk menghampiri Mas Fajar yang sedang berada di bawah pohon beringin. Lelaki yang pernah menempati hatiku itu terlihat sedang memainkan gawainya di atas motor. Hatiku terasa berbunga-bunga. Ribuan kumbang terasa berterbangan dalam hatiku. Secercah harapan mulai muncul dalam relung hati. Rindu ini ser
SENTUHAN HARAM SUAMIKUHari ini cuaca tidak begitu terik. Aku sedang membolak-balik jemuran ketika mas Fajar datang."Lo, Mas kok sudah pulang? Ini kan masih siang?" tanyaku ketika mas Fajar sudah turun dari motor dan mencopot helem."Mas sepertinya kurang enak badan, Dek. Maaf, ya! Padahal hari ini baru dapat sedikit.""Ya, sudah ga apa-apa. Mas istirahat saja. Atau mau langsung makan?""Nanti saja, Dek. Mas belum lapar," jawabnya sambil berlalu masuk ke dalam kamar.Aku mendengkus pelan. Membiarkan mas Fajar beristirahat sejenak. Entah apa yang terjadi padanya. Wajahnya terlihat murung dan kurang bersemangat.Aku tahu pekerjaan ojek itu tidak mudah. Mungkin mas Fajar belum terbiasa. Dulu, dia cukup duduk di kursi. Mengerjakan pekerjaan di ruangan tertutup, ber_AC pula. Tapi sekarang, dia harus menunggu orderan masuk, berperang di
SENTUHAN HARAM SUAMIKUSalah satu cara mempercepat menambah pembukaan saat lahiran yaitu dengan berjalan. Kegiatan berjalan bisa membantu terjadinya proses turunnya bayi, mendorong rotasi janin, dan perubahan pada sendi panggul. Akan tetapi, berjalan harus dilakukan secukupnya agar tidak terlalu lelah dan masih memiliki tenaga yang cukup untuk melahirkan.Aku berjalan pelan di dalam rumah. Dari kamar, menuju tengah rumah, dapur, menyusuri setiap sudut rumah. Mulas yang kurasakan sudah mulai sering, bahkan terasa hampir lima belas menit sekali. Sesekali kuhirup napas dalam-dalam dari hidung, kemudian mengembuskannya lewat mulut.Kulirik jam dinding yang tergantung di tengah rumah. Sudah pukul empat pagi. Rasanya ingin sekali waktu pagi segera datang."Mas buatkan teh manis ya, Dek, biar kamu ada tenaga."Aku mengangguk sambil terus berjalan pelan memegangi pinggang."Ini, Dek, teh manisnya." Mas Fajar meletakkan gelas berisi teh manis dan seb
SENTUHAN HARAM SUAMIKUPerbedaan HPL ( hari perkiraan lahir ) antara bidan dan hasil USG kini membuat proses kelahiranku bermasalah. Ya, memang saat pertama kali aku dinyatakan hamil, bidan langsung memberitahu HPL, tentu berdasarkan keterangan dariku setelah bertanya kapan terakhir kali aku datang bulan. Tapi saat kehamilanku memasuki usia tujuh bulan, aku melakukan USG kembali, ternyata HPL-nya lumayan jauh dengan prediksi bidan. Bedanya hampir satu bulan. Makanya saat prediksi lahiran dari bidan sudah terlewati, aku masih santai saja. Toh menurut prediksi USG masih lama. Aku tidak tahu, ini akan menjadi penghambat proses lahiran."Tolong, Pak, diusahakan di sini saja." Ibu kembali mengiba pada Pak Budi. Sepertinya dia sudah tak tega melihat aku yang semakin meringis kesakitan. Sementara Mas Fajar hanya pasrah dan terus mengelus pinggangku."Maaf ya, Bu, kami tidak bisa melanggar prosedur," jawab
SENTUHAN HARAM SUAMIKUMas Fajar baru saja kembali setelah keluar membeli makanan untukku dan ibu. Sementara aku sedang belajar menyusui bayi sambil duduk diarahkan oleh bidan. Meskipun aku dulu pernah menyusui, tapi rasanya lupa teknik menyusui yang tepat. Air susu yang belum keluar menjadi salah satu kendala."Ibunya makan dulu ya. Kasian tadi tenaganya habis," titah bidan yang melihat mas Fajar sudah datang menenteng keresek berisi makanan. Di klinik ini memang tidak disediakan makanan untuk pasien. Jadi harus bawa sendiri.Akupun mengangguk dan memberikan bayi yang belum di beri nama itu kepada ibu."Makan yang banyak ya, Bu, biar ASI-nya cepat keluar. Saya permisi dulu." Sang bidan pun melenggang keluar.Mas Fajar membuka keresek. Membuka bungkusan berisi nasi, ayam serundeng dan orek tempe. Kemudian dia duduk di bibir ranjang bersebelahan denganku."Mas suapi ya, aaa .... "Aku pun membuka mulut dan menerima suapan demi su
SENTUHAN HARAM SUAMIKUBab 37Ibu masih sibuk mendandani cucu yang baru kemarin dilahirkan itu. Dengan telaten, beliau memakaikan helai demi helai baju bayi dan popok, dengan terlebih dahulu membungkus pusarnya yang masih menempel.Aku memang sudah pernah melahirkan, tapi aku tidak berani mengurus bayi yang tali pusarnya belum copot. Ngeri. Setelah selesai dibedong, barulah bayi mungil itu diberikan padaku. Wangi sekali. Perpaduan minyak telon dan bedak bayi begitu menguar lembut. Sudah lama aku merindukan wangi khas ini.Aku kembali menyusuinya, sambil menatapnya. Nikmat sekali rasanya bisa menyusui kembali seperti ini. Matanya yang tadi masih terbuka, perlahan kini mulai menutup. Ah, dia kembali tidur."Yu, Ibu pulang dulu. Nanti sore ke sini lagi. Di rumah juga ada Nak Fajar kan yang nemenin kamu," ujar Ibu sambil membereskan peralatan bekas mendandani cucunya."Iya, Buk. Makasih ya," jawabku yang masih menyusui."Mau saya antar, B
SENTUHAN HARAM SUAMIKUSudah lima hari ibu mertua menginap di sini. Dan itu, benar-benar membuatku tak nyaman. Ada saja perkataanya yang membuatku tersinggung. Seperti pagi ini, saat mas Fajar sedang sibuk mencuci di kamar mandi. Sementara aku, baru saja selesai sarapan di meja makan."Waktu jaman ibu dulu, tiga hari setelah lahiran juga sudah kuat nyuci baju, beresin rumah, malah ibu kuat nyari kayu bakar ke hutan," ujar ibu jumawa. "Wanita jaman sekarang kok malas-malasan sih. Apa-apa dikerjakan suami," lanjutnya lagi.Rina yang menemaniku di meja makan langsung menatapku dengan perasaan tak enak.Sekuat mungkin aku mencoba menahan amarah yang mulai bergejolak dalam dada. Kutarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Segera aku bangkit menuju halaman rumah, menghampiri mas Fajar yang sudah siap untuk menjemur pakaian."Biar aku saja, Mas!" Aku merebut b
SENTUHAN HARAM SUAMIKUSudah seminggu lebih, mas Fajar tidak ngojek. Alhasil tidak ada pemasukan sama sekali. Sementara pengeluaran tentu sangat membengkak. Karena BPJS-ku sudah tidak aktif, jadinya lahiran kemarin harus bayar sendiri. Beruntung bisa melahirkan secara normal yang biayanya tidak sebesar operasi Caesar. Belum lagi kebutuhan bayi yang lumayan banyak. Acara aqiqah kemarin juga cukup menguras tabungan.Seperti biasa, setelah solat subuh mas Fajar langsung berkutat dengan segala pekerjaan rumah terutama mencuci. Ya, sejak punya bayi cucian selalu saja menumpuk, karena aku belum berani memakaikannya popok sekali pakai. Sementara aku memilih untuk menyiapkan sarapan. Nasi goreng telur mata sapi jadi menu sarapan pagi ini. Simpel tapi bergizi. Kondisiku sepertinya sudah membaik. Tidak ada salahnya membantu mas Fajar walau hanya menyiapkan sarapan.Mas Fajar terlihat sudah menyelesaikan cuciannya. Sementara aku sedang membantu Putra memakai seragam
SENTUHAN HARAM SUAMIKU"Putri ... terjatuh dari ayunan!""Apaaaa?!" Mas Fajar terdengar sangat terkejut."Mas, cepetan pulang. Kita bawa Putri ke dokter. Aku takut terjadi apa-apa." Suaraku masih bergetar. Badanku pun masih gemetar."I-iya Dek. Mas pulang sekarang!"Sambungan pun terputus. Hatiku masih deg-degan. Jangan sampai sesuatu yang buruk terjadi pada Putri karena keteledoranku. Putri pun masih dalam pangkuanku. Tak ingin walau sebentar pun aku melepaskannya."Dede kenapa, Bun?" Putra datang menghampiri."Putri jatuh. Ini juga gara-gara kamu!" Karena hatiku sedang begitu kalut, tanpa sadar aku membentak Putra.Putra kembali berjalan pelan menuju kamarnya sambil menunduk. Seketika perasaan bersalah muncul dalam hati. Tapi aku abaikan karena kini fokusku hanya pada keadaan Putri.Setelah kurang lebih tiga puluh menit menunggu, akhirnya mas Fajar datang. Dengan terpogoh-pogoh dia masuk ke ru