35."Sar, ayo, ikut mbak ke pengajian!" Wati yang sudah rapi, berdiri di depan pintu kamar sang adik. Dia akan menjalankan perintah yang suaminya katakan beberapa hari yang lalu. Kebetulan hari ini ada pengajian rutin yang dilakukan di masjid yang terletak tak begitu jauh dari rumah yang Wati, dan keluarganya tempati. Tok, tok, tok! "Sari!" Wati mengulang panggilannya saat tak ada suara sahutan dari dalam kamar. Wati yang tak sabaran pun segera memutar kenop pintu kamar Sari. Tapi, sayang. Pintu itu justru terkunci. "Dek. Buka pintunya! Kamu nggak papa'kan?!" Wati dengan panik terus berusaha memanggil Sari. "Loh, mbak?" Sebuah suara yang menyapa gendang telinganya, membuat Wati langsung menoleh. "Ya Allah, dek! Kamu dari mana, sih? Mbak kira kamu didalam, loh!" Wati menggerutu dengan rasa lega. Karena adiknya tengah berdiri di hadapan dengan sehat, tak seperti yang dia pikirkan. "Aku dari kamar Wiwin. Aku," Sari menjeda ucapannya sejenak. Matanya yang mulai berkaca-kaca mena
"Mbak, toilet dimana? Aku mau buang air kecil, nih." Sari menyenggol lengan Wati yang tengah menyimak penjelasan Kyai di depan sana.Wati langsung menoleh padanya. "Mau mbak temenin?" "Nggak usah." Sari menggeleng, "mbak kasih tau aja dimana toiletnya," imbuhnya lagi dengan mimik wajah yang gusar, karena menahan sesuatu yang ingin segera dituntaskan."Kamu keluar dari sini, terus belok kiri. Dari situ kamu jalan lurus aja nanti ketemu toilet disana." Wati menerangkan dengan serius, serta gerakan tangannya. Agar Sari paham. Sari yang menyimak penjelasan Wati dengan serius langsung mengangguk, dan bangkit berdiri dengan tergesa-gesa.Dirinya melempar senyum saat beberapa pasang mata menoleh ke arahnya.Sudah dari tadi dia menahan diri untuk membuang hajat karena tak enak hati bertanya pada Wati. Sari langsung berjalan menuju toilet dengan mengingat kembali arahan dari Wati tadi. "Akhirnya ketemu juga," seru Sari dengan riang saat sudah menemukan sebuah pintu yang bertuliskan toilet.
Sepanjang perjalanan menuju ke balai desa. Sari terus merengek pada sang kakak, bahwa dirinya tak bersalah.Namun, Wati hanya menatapnya dengan pandangan tak berdaya. "Mbak. Aku mohon, percaya sama aku. Aku nggak ngapa-ngapain sama dia di dalam sana!""Maafkan mbak, dek. Mbak bukannya nggak percaya, tapi mbak nggak bisa melawan orang banyak ini," sahut Wati lirih," kakak iparnu sebentar lagi datang. Biar dia yang mengurus ini," lanjutnya lagi. Memberikan sedikit harapan pada Sari. Sari yakin, kakak iparnya pasti akan membelanya, dan membuatnya terbebas dari masalah ini.Dia terus merutuki dirinya sendiri karena tak melihat tulisan yang berada di pintu toilet. Seandainya tadi dia lebih teliti lagi, pasti dirinya tak berada di posisi ini sekarang. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Penyesalannya sungguh tak ada gunanya lagi. ___"Ya Allah, nak! Kamu kenapa bisa berbuat seperti ini? Kalau kamu mau menikah, ibu bisa melamarkan dia dengan cara baik-baik. Nggak perlu pake cara seperti ini
Mau tak mau akhirnya Sari terpaksa harus menikah dengan Trisno. Dia tak mau membuat kakak, dan kakak iparnya ikut mendapat malu karena ulahbya yang teledor. Sari terisak saat mendengar Trisno mengucapakan ijab qobul dengan lantang, dan jelas. Dirinya menangisi takdir hidup yang seperti mempermainkan dirinya.Saat Dayat sudah tak mau lagi menerimanya. Dirinya sudah memantapkan hati untuk hidup sendiri, dan bekerja agar bisa bertemu dengan Sandra. Dirinya sangat ingin memberikan yang terbaik untuk Sandra sebagai bentuk permintaan maafnya. Karena selama ini telah menyia-nyiakan Sandra. Tapi, apalah dayanya. Sari hanya bisa berandai-andai, tapi hanya sang pencipta lah yang menentukan jalan takdirnya. Sari menyambut uluran tangan Trisno dengan kepala tertunduk. Dia masih tak bisa percaya hal ini akan terjadi padanya.Menikah secara mendadak dengan orang asing, dan yang lebih memalukan lagi. Dirinya di gerebek dengan tiba-tiba."Mbak, maafin aku. Aku lagi-lagi gagal menjadi adikmu," uc
Trisno terkejut begitu pintu depan sudah terbuka lebar. Dia menatap wanita yang berpenampilan modis dengan tatapan tak percaya. "Nisa–""Aku kesini mau minta penjelasan kamu, mas. Kamu sudah menikah, iya?!" Wanita yang bernama Nisa itu berteriak lantang. Membuat Trisno memundurkan langkahnya karena merasa gendang telinganya berdengung akibat suaranya. Sari, dan Bu Darni pun tak kalah terkejut mendengar suara teriakan itu. Mereka berdua langsung meninggalkan dapur saat mendengar suara wanita tadi."Trisno. Kenapa wanita ini bisa ada di sini?" Bu Darni menatap wajah Trisno dengan tatapan kecewa. Trisno terburu-buru mendekati ibunya. "Bu, Trisno nggak ta—""Apa selama ini kamu masih berhubungan dengan wanita ini?" Bu Darni menyela pembelaan Trisno.Trisno terdiam tak berkutik di hadapan ibu nya. Dirinya mengaku salah karena sudah membuat ibunya lagi-lagi merasa kecewa. "Mas. Jawab! Kamu sudah menikah?! Ini istri kamu?" Nisa menunjuk Sari dengan geram. Sedetik kemudian kerudung yang
"Sudah, biar ibu saja. Kamu istirahatlah, lukamu pasti terasa sakit, kan?" Bu Darni mencegah tangan Sari yang hendak membantunya mengangkat piring bekas makan malam mereka bertiga. Sari berdiri mematung, tak tau harus berbuat apa. Dia sungkan jika harus masuk kedalam kamar terlebih dahulu. "Tris, bawa istrimu masuk kedalam kamar. Suruh dia istirahat," titah Bu Darni pada Trisno yang baru selesai menenggak air minumnya. Trisno meletakkan gelas kaca tersebut, lalu menatap Sari yang tengah berdiri di sampingnya. "Ayo." Dengan gerakan kepalanya Trisno mengajak Sari mengikutinya. Dengan sopan Sari berpamitan pada Bu Darni, lalu mengikuti suaminya. Saat masuk kedalam kamar, Sari langsung membuka tas ransel tempat pakaiannya berada. Beruntung tadi Wati memberinya beberapa lembar baju gamis, dan kerudung untuknya. Itulah yang akan dia kenakan. Entah kenapa, setelah merasakan kenyamanan memakai pakaian tertutup, dan kerudung. Sari jadi tak menyukai baju-baju yang biasa ia pakai dulu.
Sudah hampir sebulan Tejo tinggal di kota, karena saran dari dokter agar dia bisa rutin memeriksa penyakitnya itu. Sebab penyakit yang dia derita sudah cukup parah. Dokter menyebut nya sifilis laten. Maka dia dianjurkan untuk periksa rutin selama 90 hari atau 6 Minggu. Karena ingin sembuh dari penyakitnya Tejo pun akhirnya memilih untuk menyewa kontrakan yang berada dekat dengan rumah sakit tersebut. "Nggak sholat Jum'at, mas?" tanya seorang ustadz pada Tejo yang sedang duduk melamun di teras kontrakannya. Di samping kontrakannya memang terdapat sebuah masjid, dan orang biasanya melewati jalanan yang berada di depan kontrakan Tejo untuk pergi ke masjid.Tejo menggeleng pelan dengan bibir yang bungkam. Hatinya sedikit tercubit mendengar pertanyaan dari ustadz tersebut. "Nggak usah malu, mas. Ayo, sama saya saja." Ustadz yang bernama Zainal itu mengira Tejo tak ke masjid karena malu dengan banyak orang. Karena sudah dari 3 Minggu yang lalu dirinya selalu memperhatikan Tejo. "Saya
Kehidupan Dayat, dan keluarga kecilnya begitu bahagia. Tak ada yang mengusik rumah tangganya lagi. Sore itu saat dia, dan Siska sedang duduk santai di bawah pohon mangga yang ada di pekarangan rumah. Tiba-tiba ada suara motor yang berhenti di depan pagar rumahnya. Dia menoleh kebelakang, dan langsung terkejut begitu melihat adiknya yang datang. Pikirannya langsung was-was. "Assalamualaikum, bang." Tejo menggucap salam dengan senyum yang berbeda di mata Dayat. "Wa'alaikumussalam. Mau apa kamu kemari? Mau mengganggu keluargaku lagi?" tanya Dayat seraya menyuruh Siska untuk masuk kedalam rumah dengan isyarat kepalanya.Tejo menggeleng cepat. " Bukan, bang. Aku kesini mau minta maaf.""Minta maaf?" beo Dayat dengan kening mengernyit. "Iya. Aku mau minta maaf atas semua kesalahan yang aku perbuat dulu pada Abang. Aku tau Abang pasti nggak akan memaafkan ku. Tapi, aku sungguh-sungguh minta maaf, bang." Tejo berkata dengan wajah memelas. Dayat yang mendengar ucapan maaf dari sang adik