Setelah pulang dari apartemen Abimana, Jenala lebih banyak diam. Dan itu disadari oleh Alpha, pria itu menahan diri untuk tidak bertanya langsung semalam.Alpha melangkah masuk ke kamar Jenala, ia menghela nafas berat ketika melihat Jenala yang terduduk dengan pandangan kosong ke depan."Kamu tidak ke kantor sayang?" tanya Alpha sembari mengambil duduk di samping Jenala. "Sudah pukul delapan pagi lho, nanti telat.""Jenala izin Pa, soalnya lagi kurang fit. Mungkin karena pulangnya kemalaman." Alpha mengelus kepala Jenala penuh kelembutan. "Mau cerita sama Papa? Tapi kalau belum siap juga tidak apa-apa."Jenala yang sejak semalam pura-pura kuat seketika tangisnya langsung pecah, ia masuk ke dalam pelukan papanya sembari menumpahkan air matanya. "Tante Raquel tiba-tiba datang ke apartemen Om Abimana, dia sangat marah dan menentang keras hubungan kami."Memang pada akhirnya Raquel pergi dari apartemen Abimana. Setelah Jenala mengutarakan pernyataan itu, tapi entah mengapa Jenala tiba-tib
Memang sangat berbahaya memancing pria dewasa seperti Abimana. Setelah perkataan Jenala pada malam itu. Hubungan mereka yang awalnya dibangun atas kepentingan masing-masing berubah menjadi serius. Abimana tak main-main ketika mengatakan akan menikahi Jenala, pria itu bahkan langsung ingin mempersiapkan semuanya, untung saja Jenala dengan cepat mencegahnya. "Jadi, kapan pernikahan kalian dilangsungkan?" Jenala meringis melihat Melisa yang menatapnya dengan bersedekap dada. "Tidak tau, aku perlu waktu Mel, walaupun kita sudah sama-sama saling menyukai. Tapi keluarganya membuatku sedikit berat." Jenala menyeruput lemon teanya, sepulang bekerja. Ia memang ke mall dengan Melisa. Untuk mengusir penat. "Menurutku sih ya, semua ini kalian yang menjalani. Jika pun keluarga Om Abimana tidak setuju, itu balik lagi pada mereka. Namun, dengan seiring berjalannya waktu, aku sangat yakin jika pintu restu mereka akan terbuka. Yang terpenting Kamu dan Om Abi saling menguatkan dan mempercayai satu
"Mama! Koper aku diambil sama Jenala!" Jenala membekap mulut Juwita, cepu sekali adiknya ini. "Kamu bisa diam tidak? Aku cuma pinjam sebentar tau! Toh ini semua buat barang-barang kamu juga nantinya." Gadis remaja itu melepas kasar tangan Jenala dari mulutnya, lalu bersedekap dada. "Kita cuma mau ke rumah Nenek, kamu jangan lebay sampai membawa semua isi lemarimu!" Jenala mengangkat bahu acuh tak acuh, dia sekeluarga memang akan berangkat ke Indonesia besok sore. "Ini buat persiapan liburan ke Bali sama Lombok, memangnya kamu tidak mau cuci mata di sana? Banyak bule tampan lho..." Jenala berteriak kala rambutnya ditarik dari belakang. "Dasar! Aku bilang sama Om Abimana mati kamu!" "Jangan! Dasar tukang ngadu! Awas saja kamu ya, jangan macam-macam!" Juwita hanya memeletkan lidahnya, lalu melenggang keluar dari kamar Jenala. Tak lama kemudian, Jihan datang dengan nampan berisi jus di atasnya. Wanita paruh baya itu berdecak kala melihat kamar Jenala yang seperti kapal pecah. "Ya Tu
Jenala menghirup nafas dalam-dalam. Ah-dia begitu merindukan suasana kota Jakarta. Jenala juga sangat merindukan street foodnya, di Belanda memang banyak makanan Indonesia. Namun, tetap saja rasanya berbeda jika menikmatinya di tanah air secara langsung. "Jena! Juwita! Cucu cantikku!" Jenala serta Juwita masuk ke dalam pelukan,Nera. Selaku nenek Jenala. Wanita paruh baya itu tinggal bersama anak bungsunya, yang tak lain adalah adik Jihan. Sedangkan keluarga besar Alpha semuanya menetap di Belanda. "Cucuku semakin cantik saja, andai kakek kalian masih ada. Pasti dia sangat bahagia melihat kedua cucu cantiknya ini." Nera menatap Jenala serta Juwita secara bersamaan. "Eumm.. rindu Nenek.." Juwita mengeratkan pelukannya, sementara Jenala terkikik geli melihat tingkah adiknya yang manja. "Nek, aku ke kamar Mama sama Papa dulu ya. Eh tapi, Tante Kia di mana, Nek? Aku tidak melihatnya sedari tadi.""Lagi ke supermarket, beli bahan-bahan buat makan malam nanti." Jenala mengangguk mengerti
Cahaya mentari pagi menyorot hangat pada sosok rupawan yang sedang mengatur nafasnya. Pria itu terengah, bulir keringat membasahi tubuh atletisnya. Ujung rambut yang menjuntai pada keningnya berbuai, seiring dengan pergerakan tubuhnya. "Vier, sudah prepare belum? Tiga jam lagi kita flight." Marlo berdecak melihat Abimana yang belum keluar juga dari ruang gym yang ada di hotel mereka tempati ini. Abimana mengangkat bahu acuh tak acuh, dia kembali melanjutkan aktivitasnya. "Sebentar, lima menit lagi." "Vier! Yang benar saja! Katanya mau cepat balik ke Amsterdam, belum lagi kita menunggu pesanan kamu. Bisa-bisa kita tertinggal pesawat. Abimana menghentikan kegiatannya, lalu mengambil ponselnya. Ternyata sudah dua jam dia berada di ruangan ini, tepat ketika Jenala memutuskan sambungan telepon. Abimana melangkah menuju sofa puff berbentuk panjang yang terdapat pada pojok ruangan. "Menurutmu, apakah Alpha akan kaget?" Marlo mengambil duduk di samping Abimana. “Siapa yang tidak kaget k
Tidak ada yang pernah siap dengan yang namanya perpisahan. 'Jenala Lovina'***“Jenala… hikss… sayang… bagaimana ini, hiks… Kapal pesiar yang ditumpangi keluargamu terbakar dan tenggelam. Tidak ada yang selamat dalam kecelakaan itu.” Jenala melepas kasar pelukan Dian. Dia menatap tajam pada wanita di depannya. "Tante jangan berbicara seperti itu!" Bentaknya tanpa sadar, dia tak suka jika ada orang yang berbicara tidak-tidak kepada keluarganya.Dian bersimpuh, wanita itu menunjuk ke arah televisi dengan isakan memilukan. Jenala terpaku, netranya menyorot dengan tajam. Tak lama kemudian dia berlari cepat menuju kamar yang ditempati. Semua itu bohong, jelas-jelas ada pesan masuk dari keluarganya yang belum dia buka. Jenala mengambil kasar ponselnya di atas nakas, lalu membuka pesan dari mamanya yang dikirim tujuh jam yang lalu. [ Jena, sayangku. Jika nanti Mama, Papa dan Juwita tidak kembali. Jaga diri baik- baik sayang. Kami mencintaimu.]Seketika itu juga Jenala melempar ponselny
Aku tidak tahu, hal besar apa yang akan Tuhan siapkan sehingga mengujiku begitu hebat. 'Jenala Lovina'***Jenala pikir, inilah akhirnya. Inilah akhir dari dunianya. Namun, semuanya musnah ketika melihat bayangan ketiga orang tersayangnya, mereka menatapnya dengan derai air mata. Seolah-olah jika Jenala melompat, mereka akan semakin tersiksa. Jenala terpaku, dia melihat ke arah bawah. Ruangan yang dia tempat berada di lantai lima, jika dirinya memutuskan untuk melompat, dia akan berkumpul lagi dengan keluarganya. Kejadiannya begitu cepat, Jenala tersentak kuat ketika tubuhnya ditarik dari belakang. “APA YANG KAMU LAKUKAN!” Nera berteriak murka, tubuhnya yang ringkih itu bergetar hebat. Dia menatap kecewa pada Jenala. Niat hatinya ingin melihat keadaan sang cucu, tapi apa yang dia dapatkan. Nera tak bisa membayangkan jika dia tak masuk. Mungkin dia akan kembali merasakan kesedihan yang jauh lebih dahsyat. “Jena, mengapa sayang? Hiks….” Tubuh Jenala memaku, dia terlihat shock den
"Papa… jangan tinggalin Sela, Aunty Mila juga." Abimana mengangguk, sejak dia tiba di Amsterdam pukul satu dini hari tadi. Abimana sama sekali tak beranjak dari sisi Sera. Gadis kecil itu memang sangat manja jika sedang sakit. "Sekarang Sera tidur okay, Papa akan selalu di sisi Sera." Sera mengangguk, dia memejamkan mata perlahan. Setelah beberapa menit lamanya, Sera pun tertidur pulas. "Kamu istirahat saja, Sera juga sudah tidur, dan maaf sudah merepotkan." Miranda tersenyum manis, membuat siapapun yang melihatnya pasti akan terpukau. "Tidak apa-apa kak, lagipula aku sangat senang karena Sera membutuhkanku." Abimana hanya mengangguk sebagai respon, setelahnya pria itu mengecup kening Sera. Abimana berbaring di sisi sang putri. Jujur saja, kepalanya begitu sakit sekarang, apalagi dia kurang tidur akibat perjalanan jauh. Bahkan barang-barang serta ponselnya dia tinggalkan di lantai bawah. Saking khawatirnya dengan keadaan Sera. "Kak Vier, boleh aku ikut berbaring di sisi Sera