“Ri, pulang kantor nanti aku dan Bang Rizal akan mampir memilih undangan buat resepsi bulan depan. Kamu ikut ya,” ajak Andin pada Nuri sebelum jam pulang kerja. Andin dan Rizal memang berencana akan mengadakan resepsi penikahan mereka bulan depan di Kalimantan. Mereka berdua sudah mengurus berkas-berkas administrasi untuk pengajuan nikah resmi, bahkan Andin sudah mengajukan permohonan cuti.“Abang? Sejak kapan panggilan Kak Rizal berubah jadi abang, Ndin?” tanya Nuri heran.“Sejak aku jadi istrinya. Aku nggak mau punya panggilan yang sama denganmu. Sebagai istrinya aku harus punya panggilan sayang khusus padanya,” jawab Andin tersenyum mengejek.“Ihhh geli liat kamu bu nyai bucin begini tau nggak,” sahut Nuri bergidik.“Biarin, bucin sama suami sendiri dapat pahala tauk. Jadi gimana, ikut nggak? Oiya kamu ajukan cuti juga ya, Ri. Biar nanti bisa beberapa hari di Kalimantan nggak buru-buru balik ke sini.”“Iya deh aku ikut nemanin kalian pilih undangan. Tapi kalau untuk pengajuan cuti
Nuri memasuki kafe tempat Andin membuat janji dengan percetakan yang akan mendesain undangannya. Nuri mencari tempat di pojok kafe yang menghadap ke sebuah sungai kecil yang mengalir dibawahnya. Dia sudah sering ke kafe ini bersama Andin, dan posisi di pojok ini adalah tempat favorit mereka berdua karena dari sini bisa terdengar gemercik air sungai yang mengalir di bawah sana. Andin sendiri belum tiba karena dia harus menjemput Rizal dulu.Belum berapa lama duduk dan menikmati suasana kafe yang mengusung tema alam ini, Nuri mendengar namanya dipanggil. Ketika menoleh kebelakang, Nuri melihat Adit melangkah mendekati tempatnya duduk.“Assalamualaikum. Hai, Ri.. yang lain mana?” sapa Adit.“Walaikumsalam. Andin masih jemput kak Rizal. Silahkan duduk, Dit,” jawab Nuri.“Kenapa nggak angkat telponku?” tanya Adit setelah duduk dihadapan Nuri.“Aku jarang pegang ponsel kalau lagi dikantor, Dit. Mungkin kebetulan aku nggak dengar ponselku berbunyi.”“Tapi pesanku dibaca kan, Ri?”Nuri tak me
Andri buru-buru pergi meninggalkan Kafe xx ketika menyaksikan di sana ada Nuri dan Adit, entah kenapa tak ada keinginan Andri untuk menghampiri mereka berdua. Eko terlihat bingung ketika melihat boss nya itu terburu-buru keluar dari Kafe menuju ke parkiran mobil.“Nggak jadi meeting di sini, Pak?” tanya Eko.“Kuwakilkan pertemuan hari ini padamu, Ko. Ruang pertemuan ada di lantai 2 kafe, segeralah kesana. Aku ada urusan mendadak yang tak bisa kutinggalkan,” sahut Andri.Meskipun bingung Eko mengikuti perintah boss nya itu dan turun dari mobil menuju ke lantai 2 kafe untuk mewakili pertemuan Andri dengan relasinya. Sementara Andri segera melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu. Saat Eko memasuki kafe, dia berpapasan dengan Andin dan Rizal yang menyapanya sebentar kemudian ikut bergabung dengan Nuri dan Adit yang sedang duduk di pojok kafe. Eko pun menemukan jawaban atas kebingungannya tadi, kemungkinan Andri buru-buru meninggalkan kafe ini karena melihat keberadaan Nuri dan Adit di
Andri melajukan mobilnya menuju rumah Nuri, hatinya selalu berbunga-bunga ketika memasuki rumah ini. Rumah yang dulu ditinggalinya bersama Nuri dan anak-anaknya. Rumah yang sangat ingin dihuninya namun keadaan membuatnya tak boleh memasuki rumah ini kecuali untuk urusan Aldy dan Nanda. Andri merasa sedikit lega ketika meilhat ada mobil Nuri terparkir di garasi. Nanda menyambutnya dengan riang dan langsung menghambur ke dalam dekapannya ketika Bi Ina membuka pintu. Andri pun terlihat menemani Nanda bermain sementara Aldy duduk di sampingnya sambil menonton tv. Kondisi seperti ini yang selalu ada dalam impian Andri, bercengkrama dengan anak-anaknya membuat hatinya dipenuhi kebahagiaan.“Mau minum apa, Pak?” tanya bi Ina.“Aku kangen teh buatan Nuri, Bi,” sahut Andri sambil melirik pintu kamar Nuri yang tertutup rapat.“Bu Nuri baru saja pulang, Pak, mungkin lagi mandi. Biar bibi yang bikinin teh nya ya, Pak,” kata Bi Ina melihat mata majikannya itu terus menerus melirik ke arah kamar Nu
"Aku tak sengaja mendengarnya. Aku tak menyangka kamu secepat itu memutuskan menikah dengannya."Kalimat Andri membuat Nuri semakin bingung."Maksudnya apa sih, Mas, aku nggak ngerti. Dan kenapa aku yang menikah? Aku tadi cuma menemani Andin memilih desain undangan resepsi pernikahannya dengan Kak Rizal." jawab Nuri santai.Jawaban Nuri membuat mata Andri yang tadinya sayu kembali berbinar.“Undangan Andin? Jadi kalian tadi meilih undangan untuk resepsi pernikahan Andin? Tapi kenapa bukan Andin sendiri yang memilihnya?”Nuri masih terlihat bingung dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Andri.“Ya yang milih Andin dan Kak Rizal, Mas. Aku cuma nemanin dan memberi beberapa masukan.”“Tapi aku tak melihat Andin dan calon suaminya tadi disana. Aku hanya melihatmu dan Adit.” Suara Andri terdengar pelan.“Calon suami Andin namanya Kak Rizal, mas. Dan dia adalah kakak kandungku, kakak seayah,” jawab Nuri.“Maaf, Dik. Aku masih bingung dengan semua itu. Maaf jika aku melupakan bagian itu.
Pagi ini Andri terlihat melangkah memasuki kantornya dengan senyuman yang terus menghiasi wajahnya, bahkan sesekali pria itu terlihat bersiul kecil. Beberapa karyawannya bahkan saling melirik satu sama lain ketika melihat direktur mereka itu terlihat senyum-senyum sendiri. Siapapun yang melihatnya pasti akan menyimpulkan bahwa pria itu sedang merasa bahagia.Ya, setelah pulang dari rumah Nuri semalam Andri terus saja terlihat tersenyum. Dia begitu bahagia saat kemarin kembali melihat tawa Nuri, tawa yang begitu dirindukannya. Hal itulah yang membuatnya pagi ini terlihat sangat bahagia ketika memasuki kantornya.“Pak Andri?” Eko sedikit terkejut ketika melihat boss nya itu tersenyum sambil bersiul ketika membuka pintu ruangannya.“Masuk ke ruanganku, Ko. Ada yang ingin kutanyakan padamu.”“Baik, Pak.”Eko pun menyusul Andri ke ruangan boss nya itu.“Ceritakan padaku dengan detail mengapa aku bisa menikahi Rini. Dan mengapa aku menceraikan Nuri,” kata Andri saat Eko sudah duduk di hadap
Rini berlari kecil nemasuki ketoilet kantor kemudian mengunci pintu toilet. Kata – kata Andri tadi masih terngiang-ngiang di telinganya.“Kamu yakin aku menikahinya karena ancaman komplotan yang menculik kalian? Aku tak percaya bisa sebaik itu”“Kamu yakin ini bukan rekayasa perempuan itu agar aku menikahinya, Ko? Jangan terlalu percaya dengan wajah polos perempuan itu. Bisa saja kan dia bekerja sama dengan komplotan penculik itu dan merekayasa semuanya”Rini terhuyung di depan ruang kerja Andri ketika mendengar suara Andri. Dia baru hendak mengetuk pintu ketika mendengar suara Eko dan Andri lagi mengobrol. Kalimat Andri yang tak sengaja didengarnya membuat wanita hamil itu hampir saja ambruk. Susah payah Rini menguatkan langkahnya kemudian berlari menuju toilet.Rini menangis tergugu seorang diri di dalam toilet. Hatinya begitu sakit mendengar perkataan Andri tadi. Rini menepuk-nepuk dadanya sendiri ketika merasakan sesak yang hadir disana. Rasanya begitu sesak ketika lelaki yang beg
Hari masih pagi ketika Eko dan Andri tiba di gerbang pesantren Al-Hikmah. Eko membuka kaca mobilnya ketika melewati pos jaga di depan gerbang. Seorang pria yang bertugas berjaga pun tersenyum mengangguk kemudian membuka gerbang ketika melihat Eko di balik kaca mobil Andri.“Silahkan, Mas Eko,” sapa penjaga gerbang.“Terima kasih," jawab Eko.“Kamu sering ke sini, Ko? Sepertinya mereka mengenalmu dengan baik,” tanya Andri.“Iya, Pak. Saya dulu menimba ilmu di pesantren ini. Pemilik pesantren ini juga masih terbilang keluarga jauh saya. Dan saya memang sering berkunjung kemari,” jawab Eko sambil memarkirkan mobil yang dikendarainya di depan sebuah bangunan rumah yang terlihat lebih besar dibanding bangunan lainnya.“Terus kenapa Rini kemari dan tau tempat ini?”“Sewaktu Bu Rini mengalami depresi, dokter menyarankan beliau menjalani pengobatan psikis dan mental untuk menghilangkan depresinya. Selain konsultasi pada psikolog, dokter juga menyarankan Bu Rini menjalani terapi secara religi