Poppy kerennnnn :)) Satu bab lagi nih :))
“Oh? It’s you! Kau wanita yang itu.” Amy menunjuk Mae dengan sangat jelas begitu melihatnya, dan tentu saja otaknya seperti Rowena, yang mengingat detail yang tidak diinginkan Mae.“Kau pernah bertemu dengannya?” Rowena yang baru saja melepas mantel Amy, tampak heran. Bahkan Dean yang sibuk menjawab telepon melirik dengan tertarik.“Kau masih bersama Ash? Ash membuatmu menangis dan kau masih mau bersamanya?” Amy mengabaikan pertanyaan ibunya, dan menyebut Mae bodoh meski tidak langsung. Ia mengkritik keputusannya masih bersama Ash, meski sudah menangis begitu rupa. Amy hanya tahu Ash menyakitinya.“Aku tidak membuatnya menangis!” Ash menarik telinga Amy dengan main-main.“Tapi memang begitu. Ash hanya menang di wajah saja.”“Amy!” Ash mendesis sambil melotot, sementara Amy hanya meleletkan lidah, tapi kemudian menghambur memeluk Ash.“Kau datang!” serunya, dengan girang. Meski sempat mencela, Amy tentu menanti kedatangan Ash sebenarnya.“You’re really great. Congratulations.” (Kau heb
Tapi Dean tidak tampak terganggu, ia masih terus mengunyah makanannya—burung puyuh panggang berisi nasi. Malah Rowena yang tampak mendongak menatap Mae.“Bakewell? Di utara?” tanya Rowena.“Benar, My Lady.” Mae mengangguk. Rowena tampak mengernyit, tapi kemudian melanjutkan makannya. Mungkin hanya mengingat dimana Bakewell berada.Ash yang tidak mampu bernapas. Ia menunggu ayahnya bereaksi, tapi masih sama. Dean makan dan minum seperti normal adanya. Beberapa lama Ash menunggu, tidak ada pertanyaan apapun darinya.Ash sampai gatal ingin bertanya apakah ia sedang berpura-pura, atau memang benar-benar tidak mengenali nama kota itu. Seharusnya ayahnya tahu kemana Mary pergi setelah kebakaran itu. Dean akan mengawasi seharusnya. Ash jelas mendengarnya membahas kebakaran itu dengan Brad. Ia bersyukur rumah Mama Carol terbakar.Atau mungkin lupa? Setelah sepuluh tahun bisa jadi ayahnya lupa, tapi Ash tidak ingin mempercayai alasan itu. Ayahnya bukan pelupa. Ia tidak akan menjadi perdana men
“Kau memanfaatkannya.” Ash mendongak lagi. Sikap tenang ayahnya bukan kebetulan. Dean tidak banyak bertanya tentang Mae—mengesampingkan ia mengenali Bakewell atau tidak—karena ingin memanfaatkan Mae untuk menekannya. Dean tidak merencanakan pertemuan mereka di podium dan makan malam itu dengan percuma—atau hanya sekedar ingin mengenal wanita yang dekat dengan anaknya. Ia hanya mencari cara untuk menekan Ash, dan mengikuti keinginannya.“Memang, dan apa salah? Tujuanku benar. Kau boleh mengingkarinya ribuan kali, tapi kau tetap anakku. Kau mungkin tidak percaya, tapi aku memang peduli padamu, dan ingin kau hidup.” Dean mengaku dengan mudah, sampai membuat Ash membisu. Tidak akan menanggapi karena memang sudah lama menolak bentuk kasih sayang apapun yang diberikan Dean. Menyebutnya merepotkan, mengganggu, mengekang dan lain sebagainya. Tapi pada akhirnya semua itu adalah bentuk kasih sayang.“Aku tidak ingin kau berpura-pura berbahagia, atau terlibat dengan kehidupan politik. Aku hany
Ash keluar dari lift dan bertabrakan dengan Poppy yang terburu-buru masuk.“HEI! Oh? Kau rupanya.” Poppy tentu saja terpental, tapi ada tangan yang menahan punggungnya. Ia tidak jatuh terjengkang, masih bisa menunjuk Ash dengan wajah terkejut.“Kenapa kau di sini?” tanya Poppy.“Apartemenku di sini.” Ash menyebut hal yang seharusnya jelas.Kemarin ia hanya bertemu Poppy dan Cale sekilas, tapi ia tahu Poppy pemenang dari pernikahan mereka. Cale—dari belakang Poppy—kini tampak memandangnya dengan penuh sesal. Meminta maaf tanpa suara.“Aku ingin bertemu Mae.” Poppy mencoba untuk menerobos di samping Ash untuk masuk ke dalam lift.Tentu saja Ash bergeser menghalangi, terutama karena Cale menggeleng lagi di belakangnya. Melihat sikap itu, Ash yakin kalau panggilan tergesa yang tadi diterimanya tidak berizin. Cale melakukannya dengan diam-diam untuk mencegah Poppy menemui Mae.“Minggir!” Poppy mulai kesal.“Tidak. Untuk apa—”“Minggir pokoknya!” Poppy berusaha mendorong Ash ke samping, tap
Cale tampak membuka mulut untuk membalas—ingin memilih pergi mungkin, tapi Poppy mendahului.“Tidak semudah itu! Aku ke sini karena menurutku hal itu sulit dipercaya! Lalu ternyata benar—aku…” Poppy mengeluh sambil menggaruk rambut, lalu menghempaskan punggung ke sofa. Jawaban Ash yang membenarkan itu sepertinya jauh dari dugaan.“Aku tidak putih bersih. Kau boleh bertanya pada Cale apa saja daftar dosaku—”“Untuk—” Protes Cale dibungkam oleh Poppy lagi memakai tangan.“Tapi aku juga punya toleransi batas perbuatan buruk. Aku tahu kau tidak bodoh, Ash. Tapi apa harus memilih jalan-–”“Tidak usah fokus padaku. Kau datang karena tidak percaya bukan? Apa yang membuatmu tidak percaya?” Ash menyela. Menurutnya titik tidak percaya itu adalah awal yang bagus. Setidaknya Poppy memberi ruang keraguan.“Karena tidak cocok. Aku tidak ingin percaya Mae bisa melakukannya.” Poppy menggeleng lagi, semakin kuat karena ingin menolak kenyataan itu.“Mungkin kau tidak tahu, tapi aku belum pernah salah me
Namun, Poppy bukan sedang meminta izin. Ia baru saja memutuskannya sendiri dan hanya menginformasikan, bukan mengajak diskusi.“Karena lebih baik mengatakannya sekarang daripada Gina mendengar dari sumber lain. Terus terang saja, bukan hanya aku yang mendengar saat Ibu Mae bicara. Bisa jadi ada kabar dari sumber lain.” Memang itu rencana Poppy sejak awal. Ia perlu mengkonfirmasi sebelum meneruskannya pada Gina. Poppy tidak ingin Gina mendapat kejutan, kalau mungkin tanggul ancaman untuk Harper dan Enola bocor.“Apa perlu?” Cale ikut meragukan ide itu.“Perlu, Cale. Kalian para pria jangan sekali-kali meremehkan gosip jahat. Mungkin terdengar berlebihan atau kau meremehkan karena sekadar gossip. Tapi percayalah, gosip semacam ini bisa sangat mempengaruhi kebahagiaan hidup, karena mempengaruhi sikap orang lain terhadap kita.”Ceramah dadakan yang mengorek ranah asing bagi Ash, tapi tidak amat mengejutkan, masuk akal. Ayahnya sangat takut pada gossip jahat saat masa kampanye seperti ini
“Lalu setelahnya ia berencana membawaku ke pesta lain bersama teman-temannya. Aku sudah mau karena terus terang saja, semua orang di circlenya tampak tampan cemerlang. Tapi Mama Carol datang ke sekolah dan menyeretku pulang. Aku malu sekali saat itu, tapi sekali lagi itu lebih benar. Karena keesokan harinya beberapa remaja di circle itu ditangkap polisi karena mengemudi sambil mabuk, belum lagi ada yang mengacau di kantor kepala sekolah—ada yang memakai sofa kepada sekolah untuk tidur—tidur bersama kekasihnya maksudku.” Mae terkekeh, karena teringat kehebohan saat kepala sekolah menemukan dua remaja mabuk berpelukan di sofa kantornya.Ash sama sekali tidak tertawa tapi. Semua cerita berbalut kenakalan remaja itu malah membuatnya merindang karena menyadari skema Carol. Ia menjaga Mae sampai waktunya bisa ‘dipakai’. Semakin terdengar seperti mucikari yang menjual wanita.“Mama Carol tidak pernah mengizinkanmu dekat dengan pria, tapi menyuruhmu menikah? Ini aneh, Mary,” desis Ash. Diliha
“Kenapa kau ikut?” Amy menunjuk Ash yang tentu saja mengantar Mae saat berkunjung ke rumahnya.“Kau kemarin merengek agar aku sering datang, dan ini balasannya?” Ash menekan hidung mancung Amy dengan gemas.“Justru itu! Kau kemarin membuatku memohon, tapi sekarang kau mudah saja datang karena mengantar Mae! Aku membencimu!” Amy menarik tangan Mae untuk masuk, meninggalkan Ash yang memutar matanya. Tidak menanggapi serius amarah Amy karena absurd.“Amy, Ash mari ini kebetulan saja tidak sibuk karena itu bisa mengantarku. Dia masih libur karena terluka.” Mae menjelaskan dengan tergesa, saat mengikuti langkah kaki Amy. Mae tentu tidak mau keberadaannya malah memicu pertengkaran antara bersaudara itu.“Aku tahu.” Amy tampak menahan senyum. Amarahnya tidak serius. Ia hanya ingin membuat Ash jengkel.Mae tertawa pelan. “Kau benar-benar bisa menipuku. Aku pikir kau marah dengan serius.”“Tentu saja tidak. Mungkin menjengkelkan karena Ash membutuhkan dirimu untuk datang, tapi apapun asalkan