Hisss monroe pinter :(( Halooo... untuk besok Ash-Mae paginya libur ya. Ash mau ngangon kambing dulu wkwkwk
“Jadi benar dia bukan orang biasa.” Ash lega kesimpulannya tepat. Pria itu merasa perlu membersihkan jejak, berarti memang ia berada dalam kehidupan yang sama seperti ayahnya dan Rowena.“Benar. Kesimpulan Anda benar.” Stone memberi apresiasi sebelum menyebut hal yang tidak disukai Ash. “Tanpa petunjuk lebih lanjut, saya tidak akan bisa mencari siapa pria itu.”“Tidak!” Ash tentu paham apa yang dimaksud Stone. Ia ingin jalan mudah dengan bertanya pada Mae.“Tapi ini…”“Ada jalan lain lagi.” Ash menyela. “Mungkin aku bisa bertanya pada Daisy. Kata Mae pria ini teman Carol dan sering memberinya uang. Daisy mungkin tidak tahu Mae menikah dengannya, tapi bisa jadi pernah bertemu dengannya.”“Oh? Itu ide bagus.” Stone setuju.“Tapi tidak bisa hari ini. Aku akan bicara padanya setelah sidang itu.” Ash tidak bisa bertanya hari ini. Paling tidak besok setelah sidang itu. Mengurangi beban, dan mungkin momen bahagia melihat Carol mendapat hukuman akan memudahkannya mendapat jawaban.“Oh, benar.
Gina dan Poppy amat diam, padahal sudah sekitar lima menit berlalu semenjak Mae mengakhiri kisahnya. Bahkan tidak lagi menyentuh teh yang disediakan Mae.Poppy tampak menopang kening dengan tangan, sementara Gina memandang lantai dengan mata kosong.“What the fuck?! What the hell? How is it possible?!” (Bagaimana hal itu mungkin)Poppy mengumpat berkepanjangan setelah itu, sambil menggeleng dan menutup mata. :Aku pikir yang aku dengar dari Ash kemarin sudah paling buruk, tapi—what kind of evil being is that?” (Iblis seperti apa itu?)Mae tentu menceritakan juga tentang Carol pada akhirnya. Kemarin Ash hanya menyebut alasan Mae mempunyai kehidupan yang unik adalah Daisy yang sakit, kini Poppy dan Gina harus mencerna seluruh latar belakang—termasuk Poppy dan Faraday.Mae bisa saja meninggalkan bagian itu, dan hanya menceritakan kenapa Ash merasa perlu untuk menikah dengannya, tapi Mae tidak ingin menyisakan apapun. Mae bahkan membahas monster itu, meski sekilas. Hanya menyebutnya pria pe
“Apa tidak ada kabar atau apapun?” Carol bertanya pada sipir yang mendampinginya. Mendesak yang sudah menjadi amat menjengkelkan.“Tidak ada! Berapa kali kau harus mengulang pertanyaan yang sama?” Petugas itu membentak lalu menunjuk kursi, menyuruh Carol untuk duduk tenang dan menunggu waktu persidangannya dimulai.Mereka sudah sampai di gedung pengadilan sejak kurang lebih setengah jam yang lalu, dan Carol sama sekali tidak bisa menunggu dengan tenang. Steward belum muncul, dan ini yang membuatnya gelisah. Bukan karena khawatir tidak ada yang mendampingi, tapi karena belum mendapat kabar apapun tentang bantuan yang kemarin dijanjikan Monroe. Padahal hari ini vonisnya akan dijatuhkan. Seharusnya bantuan itu sudah berjalan.“Apa dia sudah tidak tertarik?” Carol duduk, sambil menggigit kuku jempolnya.Kekhawatirannya hanya satu itu. Kalau sampai Monroe tidak tertarik lagi pada fakta tentang Dean Cooper, maka kesepakatan mereka bisa jadi batal secara sepihak. Carol tidak bisa melakuka
“Kita harus lari sebenarnya.” Daisy mengeluh begitu kaki mereka menjejak ke trotoar.Wartawan itu tidak langsung menyerbu—tidak amat sadar dengan kemunculan mereka. Seandainya saja mereka bisa langsung lari meniti tangga menuju pintu masuk, kemungkinan besar kerumunan itu bisa dihindari. Tapi jelas keadaan kaki Daisy tidak memungkinkan.“Jangan panik. Tidak masalah.” Mae menahan tangan Daisy yang tampak ingin melangkah lebih cepat. Bisa-bisa mereka akan terguling bersamaan kalau Daisy memaksakan diri.Daisy juga tampak lebih tidak aktif tadi, diam dan pucat. Tapi wajar mengingat ketegangan yang akan dijalaninya hari ini.“Pelan-pelan.” Mae membantu Daisy menaiki undakan pertama, sambil melirik ke arah Megan. Sayangnya saat itu mereka bersiborok.“Oh!” Megan berseru lega, dan keberadaan mereka langsung menjadi terlihat. Begitu Megan berpaling, semua wartawan itu ikut berpaling.“Itu mereka!” Salah satu wartawan berseru. Seperti lalat yang melihat bangkai, mereka langsung menghambur ke a
“Daisy… Daisy…”Meski tertutup air mata dan kelopak yang membengkak, Mae masih menjerit—masih bisa melihat saat tubuh Daisy melambung dan menabrak pagar.Mae mencoba berdiri, tapi kesulitan karena napas sesak dan bersin yang masih terus berlangsung.“Daisy…” Tangis itu bukan lagi datang dari alergi atau sulitnya ia bernapas, tapi karena Mae semakin jelas melihat warna merah menggenang di sekitar tubuh Daisy. Mengalir pelan diatas permukaan beton trotoar. Ada luka yang besar dan Daisy diam. “Daisy…” Mae tidak amat ingat apa dan bagaimana, tapi ada yang tiba-tiba memeluknya.“Jangan dilihat… Jangan… Ikut denganku…” Bisikan menenangkan dan kehangatan yang tentu dikenali Mae.“Daisy…” Mae hanya bisa mengucapkan itu, sementara Ash menariknya menjauh.“Aku tahu… sudah ada yang memanggil ambulance. Untukmu juga. Tenang…”Tapi tidak mungkin Mae tenang. Meski menahan sesak, ia berhasil mendorong Ash, dan berusaha mendekati Daisy.“Aku mau…. Daisy!” Mae menjerit sekuat tenaga, melawan tangan d
“Apa?!”Ash tidak peduli siapa, ia menjawab panggilan yang masuk ke ponselnya dengan kasar. Panggilan itu mengganggu. Akan lebih mudah kalau ia mematikannya, tapi Ash masih menunggu kabar dari Stone.“Apa kau baik-baik saja?”Ash mengernyit, lalu memeriksa layar ponsel untuk memastikan kalau pertanyaan itu dari ayahnya. Ternyata memang benar.“Apa kau baik-baik saja? Aku dengar ada pembunuhan!” Dean terdengar membentak, tidak sabar dengan lambatnya jawaban dari Ash.“Dari mana—Oh, Stone.” Ash ingat kalau Stone tidak lagi hanya bergerak sesuai permintaannya. Ia pasti melaporkan apa yang terjadi pada ayahnya.“Tidak penting dari mana! Apa kau baik-baik saja?!” Dean mengulang pertanyaan untuk ketiga kalinya. Meski masih bentakan, tapi ada nada memohon di sana.“Kau terdengar peduli.” Ash mendengus.“Karena aku peduli! Sialan!” Dean mengumpat kesal karena pertanyaan semudah itu saja bisa membuat mereka bertengkar.“Aku akan mengirim Louis. Pindahkan Mary dan kau ikut saja.” Dean akhirnya
“Apa maksudmu tidak keduanya?!” Bentakan Monroe membuat Stewart memejamkan mata. Ketidakpuasan semacam itu bisa berakibat sangat panjang. Stewart berharap tidak ada akibat yang datang untuknya. Bagaimanapun ia hanya melaporkan keadaan.“Saya tidak melihat secara langsung tapi hanya satu korban yang tewas menurut berita yang beredar. Daisy Gardner, ia tidak akan bisa bersaksi lagi.”Stewart kembali mengeluh dalam hati karena laporan itu kembali membuat Monroe mengumpat amat panjang.“Aku ingin Mary juga mati! Apa susahnya? Siapapun yang kau sewa itu tidak becus bekerja!” Monroe mencaci maki lebih panjang lagi setelah itu. Daisy adalah sasaran ‘pesanan’ dari Carol, tapi Mae adalah sasaran utama untuk dirinya sendiri---untuk menutup kemungkinan Mae bicara tentang apa yang dilakukannya. Berita Mae selamat tentu membuat Monroe lebih marah.“Kau cari tahu dimana Mary dibawa dan kirim lagi orang untuk menyelesaikannya!” Monroe memberi perintah baru.“Saya sudah mencoba mengirim seseorang unt
“Sir, maaf. Tapi saya harus mengurus pemakaman dari Ms. Gardner juga. Saya harus menuliskan tempat dimana akan dimakamkan.” Louis bertanya dengan amat lirih, sementara Ash mengawasi dua perawat yang sedang melepaskan infus Mae.Mereka sudah sampai di manor milik ayahnya, dan Mae tidak memerlukannya lagi memang.“Bisakah nanti? Aku tidak tahu.” Ash tidak bisa membuat keputusan itu tanpa Mae.“Tentu. Kalau begitu saya akan meminta mereka menunggu. Saya sudah membawa jenazahnya ke St. Thomas, Anda tinggal menyebutkannya harus dibawa kemana.” Louis memberi keterangan lanjutan yang hanya dijawab Ash dengan anggukan, dan Louis berpamitan keluar dari kamarnya.Ash tidak tahu apakah harus setuju atau tidak dengan keputusan membawa Daisy ke St. Thomas—terdengar tidak nyaman mendengar Daisy dipindahkan begitu saja tanpa persetujuan. Tapi Ash perlahan menganggap kalau keputusan Louis itu ada benarnya. Lebih baik membawa Daisy keluar dari Bakewell. Tempat itu terkutuk. Ash sama sekali tidak perca