"Nia, tolong ... bantu kakak berjalan ke kamar. Rasanya sakit sekali perut ini," kataku pada adik ipar yang kebetulan keluar rumah.
"Aduh, Kak ... maaf ya. Nia buru-buru mau jalan sama temen nih," jawabnya seraya melengos. Dia sudah lulus SMA. Hobinya dandan, terus main bersama geng-nya.
Astaghfirullloh ... hanya itu yang bisa kuucapkan setiap kali menerima perlakuan abai dari keluarga Kang Agung. Mereka tak pernah mempedulikanku. Andai saja aku tidak bekerja, mungkin aku dan anakku akan kelaparan, karena gaji Kang Agung—yang saat itu masih berstatus guru honorer—belum cukup untuk menafkahiku.
Akhirnya, aku pun berjalan tertatih-tatih ke kamar, sambil berpegangan ke dinding rumah. Betapa sakit dan pegal-pegal badanku waktu itu, hingga kasur butut pun bagaikan harta karun bagiku, aku berbaring dengan nyaman di atasnya.
Malam setelah Kang Agung pulang mengajar ngaji, aku mengutarakan keinginanku untuk pulang ke rumah ibu.
"Kenapa, Sih?" tanya Kang Agung.
"Aku ingin pulang dan dekat ibu. Perutku sakit, Kang. Tadi ditendang Pak Asep ...."
Kemudian aku pun menceritakan kejadiannya. Kang Agung sangat marah, dengan masih mengenakan sarung ia pergi ke dapur. Entah apa yang akan ia lakukan, yang jelas ibu mertua terdengar berteriak memanggil Kang Agung.
"Astaghfirulloh, itu kamu mau kemana bawa-bawa parang begitu? Istighfar, Gung ... istighfar!"
"Aku mau ke rumah Pak Asep, Bu! Dia sudah menganiaya istriku, dan aku mau bikin perhitungan dengannya!" jawab Kang Agung.
"Menganiaya bagaimana? Ah ... sudah, sudah! Jangan kau berani melawan Asep, dia bukan tandingan kita. Mau lawan pakai hukum pidana ataupun ilmu hitam, ujung-ujungnya kita juga yang akan kena. Dia tak bisa dilawan. Mending kamu pasrah saja daripada cari perkara, sudah!" Ibu mertua memarahi Kang Agung. Jika sudah begitu, Kang Agung pun akan patuh karena memang begitulah sifatnya.
Aku hanya bisa mendengarkan keributan itu dari dalam kamar. Dalam hati aku pun bersyukur karena ibu mertua bisa menghalangi niat Kang Agung yang penuh amarah, aku tak bisa membayangkan jika sampai Kang Agung melakukan sesuatu dengan parang itu.
"Kamu itu jangan suka ngadu sama suamimu. Lihat apa yang terjadi, dia terbakar emosi! Hampir saja gelap mata mau menghilangkan nyawa orang," bentak ibu mertua. Tiba-tiba saja ia berdiri di ambang pintu kamar sambil berkacak pinggang memarahiku.
Aku tersentak, kaget sekali. Perutku pun makin melilit dibuatnya, bayi dalam perutku terus menendang-nendang seolah merasakan sakit yang sama. Mataku terhalang genangan air mata. Baru kali ini aku dibentak ibu mertua.
"Asih ditendang perutnya oleh Pak Asep, Bu. Dia sedang kesakitan sekarang. Apa Ibu tidak lihat? Dari tadi kan Ibu ada di rumah, kemana saja Ibu ini! Kenapa tak membawa Asih ke bidan, sekarang malah memarahinya. Ibu sudah keterlaluan dengan istriku!" Kang Agung menghampiriku dan membelaku.
Ibu terdiam, mungkin karena tidak bisa menjawab lagi.
"Ayo, kita pulang saja ke rumah ibumu. Di sini memang membuatmu tertekan," ucap Kang Agung seraya mengusap air mataku, kemudian ia mengemas barang-barangku.
"Ya. Mending pulang aja sana! Serba salah saya serumah sama kamu. Kalau perlu, gak usah balik lagi. Dari awal juga saya gak setuju Agung nikah sama kamu," hardik ibu mertua. Menambah rasa perih dan sakit. Secara tak langsung, dia telah mengusirku.
Beruntung, Zulfa yang saat itu masih berumur dua tahun tengah dititipkan di rumah ibuku, jadi dia tak perlu melihat keributan yang terjadi.
*
Pagi harinya aku berada di rumah sakit karena pendarahan. Beberapa jam kemudian dokter memvonis aku keguguran. Betapa sakit dan hancurnya hatiku ketika mendengar vonis itu. Terlebih saat kulihat ibuku dan Kang Agung ikut menangis menerima kabar itu.
Dokter bilang, kalau saja aku tidak terlambat dibawa ke rumah sakit ... maka kandunganku masih bisa diselamatkan. Dan pernyataan dokter itu, membuat ibu dan Kang Agung jadi ribut.
"Kalu saja ibumu kemarin langsung bawa Asih ke puskesmas, pasti gak begini ceritanya, Gung. Dasar ibumu itu menelantarkan menantunya sendiri! Aku tak terima anakku diperlakukan seperti itu! Mulai sekarang, Asih akan tinggal denganku dan tak akan kembali lagi ke rumah ibumu!" kata ibu penuh emosi. Semalam, ibu sudah mendengar cerita tentang penendangan perutku dan keributan di rumah mertua.
Mas Agung hanya menunduk. Ia sama sekali tak menjawab perkataan ibu. Kemudian memghampiriku yang tengah berbaring lemas di ranjang rumah sakit, sementara ibu pergi ke toilet.
"Semua ini gara-gara Asep!" Kang Agung menggeram.
Kepalaku mendadak pusing karena mendengar orang-orang saling menyalahkan. "Kang, sudah ... aku mumet mendengar keributan terus. Ingin istirahat," ucapku.
Namun, tiba-tiba saja ada yang berbeda dengan ekspresi wajah Kang Agung, ia tampak melotot kepadaku dan wajahnya merah membara seolah murka.
Bayi yang keguguran itu berjenis kelamin laki-laki yang sangat dinantikan Kang Agung, mungkin itulah sebabnya ia merasa sangat down dan emosi pada saat itu. Karena anak impiannya harus gugur."Ini semua juga gara-gara kamu, keras kepala! Dari dulu sudah kubilang tak perlu bekerja di sana, tapi kau tak mau menurut. Lihat, sekarang jadi begini kejadiannya! Asep menendang bayi laki-lakiku hingga gugur!" katanya menyalahkan sambil membentakku, dengan suara yang begitu keras.Tangan Kang Agung melayang di udara namun terhenti, karena ibu membuka pintu sehabis dari toilet. Betapa terkejutnya ibu melihat Kang Agung tengah mengepalkan tangannya ke arahku."Astaghfirulloh ... Agung! Ternyata kamu tukang mukul!" pekik ibu.Kang Agung menurunkan tangannya dengan lemas, kemudian ia jatuh terduduk di lantai, tak berdaya. Suster datang setelah ibu memanggilnya, lalu membaringkan Kang Agung di ranjang sebelahku.Ibu masih terlihat kecewa pada Kang Agung, ia terus mengusap-usap keningku. "Apa selama
Mereka terperanjat kaget saat kupergoki. Aku pun segera menarik tangan Kang Agung agar ia keluar dari warung bakso itu. Saat itu juga Rosi menghalangiku, dia ikut menarik tangan Kang Agung."Rosi, lepaskan suamiku! berani-beraninya kamu jalan dengan suami orang!" kataku setengah membentak. "Kamu juga, Kang ... apa tidak malu suap-suapan dengan wanita lain sambil dilihat banyak orang? Mereka tahu kamu suamiku, di mana urat malumu, Kang?" lanjutku pada Kang Agung, ia hanya diam tak menjawab.Rosi mendorong dadaku, "heh, coba tanya suamimu ... siapa yang mengajak jalan duluan? Tadi habis Ashar dia menjemputku di rumah," jawab Rosi membela diri."Terus kenapa kamu mau? Sudah tahu dia suamiku!" balasku."Aku tak bisa menolak, Asih. Aku masih mencintainya. Dan harus kamu ingat, kamu lah yang telah merebut dia dariku!" Rosi membalas dengan tak kalah galaknya, seolah dia lah yang menderita.Rosi adalah cinta pertama Kang Agung. Sebelum melamarku, Kang Agung lebih dulu melamar Rosi tapi ditola
Aku diam terpaku, hilang akal beberapa saat, kosong. Beruntung ibu yang mendengar percakapan kami langsung menghampiri."Ya sudah kalau kamu memang tak mau lagi dengan Asih. Saya ridho menerima Asih kembali. Silakan kamu pergi, segeralah urus perceraianmu. Tapi ingat ... anakku bukan pencuri!" Ibu berkata dengan penekanan yang begitu kuat. Rasa sakit hati, tersinggung dan kesal seolah menjadi satu dalam benaknya. "Kamu hanya menjadikan gunjingan warga sebagai alasan. Mentang-mentang mau jadi PNS, lupa sama Asih. Waktu kamu melarat anakku setia menemanimu bahkan ikut membantu cari nafkah, sekarang saat kamu sukses malah membuangnya!" Kang Agung tertunduk seperti biasa, ia tak pernah berani melawan orangtua. Sementara aku memandanginya dengan tatapan kosong. Masih tak percaya dengan apa yang menimpaku. Mimpikah aku, menjadi janda di usia dua puluh tujuh tahun? Belum reda gunjingan warga tentang tuduhan mencuri, mereka pasti akan menggunjingku lagi karena diceraikan."Besok akan saya u
*Rumah Mbah dukun jauh dari pemukiman warga. Di seberang rumahku, ada hamparan sawah berpetak-petak yang sangat luas, yang dibatasi pagar bambu. Di antara sawah-sawah itu, ada sebuah jalan setapak yang jika dilewati hingga ke ujung, akan sampai di sebuah jalan kereta (rel) yang sudah tidak dipakai. Untuk sampai di rumah Mbah Dukun, harus melangkahi rel itu kemudian berjalan lagi beberapa ratus meter, menelusuri semak belukar."Mbah!" Aku menyeru sambil mengetuk pintu. Bau dupa semerbak hingga ke tempat di mana aku berdiri malam itu. Rumah yang menyerupai gubuk itu tampak sepi, karena hanya diterangi cahaya damar. Samar kudengar suara orang batuk dari dalam. Lama-kelamaan, suara itu semakin mendekat ke arah pintu, yang kemudian terbuka."Siapa?" tanyanya di depanku."Saya Asih, Mbah," jawabku.Mbah mempersilakanku masuk. Tidak ada sesajen dan peralatan yang biasa dimiliki dukun-dukun. Hanya bau dupa yang tercium di sana. "Ada perlu apa?" Mbah bertanya setelah mempersilakanku duduk d
"Salah dukun?" Aku bertanya tak mengerti.Ibu menghembuskan napas lagi, layaknya seorang yang baru selamat dari musibah."Ibu kira tadi kamu ke rumah dukun yang di Bojongsoang. Syukurlah kalau kamu tidak ke sana. Sudah, cepat tidur. Ini sudah jam setengah satu malam!"*Pagi itu, ibu menyuruhku mandi dan mengucap istighfar untuk membersihkan tubuh sekaligus dosa-dosaku, karena telah berbuat musyrik dengan mendatangi dukun."Percuma, Bu. Rosi dan Asep pasti sedang merasa kesakitan sekarang. Aku terlanjur melakukannya," kataku."Apa kamu menyesal?" tanya ibu."Di satu sisi tidak, di sisi lain iya!" jawabku."Rosi dan Asep tidak apa-apa, mereka baik-baik saja. Pagi tadi Rosi sudah resmi jadi istri Agung, mereka menikah di KUA. Dan Asep ... tadi Ibu melihatnya sedang memarahi karyawannya. Puas kamu, Asih?" Dadaku bergejolak lagi. Bukankah semalam aku sudah menyantet mereka?"Kenapa bisa begitu, Bu? Aku tak terima! Mereka harusnya kesakitan dan menderita," teriakku histeris. Aku menangis
"Kalau menuruti hawa nafsu, pasti saya berontak. Tapi saya sudah sadar bahwa hawa nafsu dapat mencelakai diri sendiri, jadi lebih baik saya fokus memperbaiki hidup saya," jelasku.Dewi mendengarkan dengan seksama. Tiba-tiba, Sumi yang sudah selesai menggoreng, menghampiri kami dan ikut menanggapi, "saya juga sangat ingin bisa seperti Ibu. Baik hati dan tidak sombong," katanya."Kalau saya jadi Ibu, saya tidak akan bisa melupakan kejahatan orang-orang itu, Bu," ujar Dewi.Bahkan, anak sekecil Dewi pun bisa berkata begitu, saking kesalnya mendengar cerita masa laluku yang ditindas."Memelihara dendam itu tidak baik, saya sudah mengalaminya sendiri. Percayalah. Kalau kamu punya rasa sakit hati dengan seseorang, lebih baik sembuhkan saja hatimu. Tak usah berpikiran untuk membalas, biarlah itu menjadi urusan Alloh. Toh, semua perbuatan manusia pasti akan mendapatkan balasannya," kataku menasihati Dewi. Kulihat, ia masih punya 'uneg-uneg' terhadap Yuni."Kalau kamu, Wi?" tanya Sumi sambil m
Yuni dan Sumi salah tingkah, mereka terpergok menggunjing seorang anak gadis yang hamil di luar nikah. Ya, sekilas kudengar bisik-bisik mereka membicarakan hal itu. "Maaf, Bu," ucap Sumi dengan wajah malu. "Hehe, maklum, Bu. Efek jenuh di warung, kami ngobrolnya jadi kemana-mana," timpal Yuni. Aku membiarkan mereka melanjutkan pembicaraan. Walaupun sebenarnya, aku tak suka perbuatan mereka yang menggunjingkan orang lain di warungku, karena jika pelanggan mendengarnya, akan terasa tidak sopan. Tapi biarlah, selama tidak menimbulkan keributan antar pegawaiku dan dalam keadaan warung sepi, aku akan membiarkan mereka. Toh, Yuni dan Sumi sudah sama-sama dewasa, kalau kunasihati terus-menerus, kesannya aku menggurui. Aku kembali menghitung uang di laci kasir. Alhamdulillah, pendapatan warung hari ini lumayan. Walaupun baru buka setengah hari, tapi sudah dapat untung. Kusisihkan tiga ratus ribu untuk 'uang munggahan' dan akan kubagi rata kepada ketiga pegawaiku. Masing-masing kebagian se
"Oh, itu pemberian Bu Khadijah pemilik toko sembako untuk saya, Bu. Katanya, sedekah menyambut bulan puasa. Tadi waktu saya beli bahan-bahan takjil, Bu Khadijah ngasih amplop dan sembako itu untuk saya," jelas Dewi.Aku memelototi Yuni, karena tuduhannya tidak benar. Yuni hanya tersenyum malu. "Kamu itu, mikirnya negatif terus," bisikku padanya."Kenapa memangnya, Bu?" Dewi bertanya dengan polos, ia tak mengetahui apa yang dibicarakan Yuni tentangnya."Gak apa-apa. Saya cuma heran aja ada barang yang bukan pesanan saya, takutnya kamu salah beli," jawabku, tak memberitahu Dewi kejadian yang sebenarnya karena khawatir dia akan menangis lagi. "Sudah, Wi. Kamu lanjutkan bekerja, ya!" titahku.Kulihat Yuni membisikkan sesuatu selagi aku bicara pada Dewi. Entah apa lagi yang mereka bicarakan. Dewi pun kembali ke dalam warung, disusul Sumi. Semua kembali mengerjakan pekerjaannya masing-masing, dan aku bersiap untuk pulang. Sumi kembali ke dapur untuk bebersih, dan Yuni melanjutkan cuci pir