Saat kaki ini hendak melangkah ke dapur, mertuaku berteriak,
"Hei, kamu mau kemana? Kamu acuh tidak acuh sama Ibu. Kamu tidak menghargai Ibu ini sebagai mertuamu! Main perintah saja. Apa kamu tidak diajari sopan santun?" tanyanya. Beliau mengejar diri ini dan menarik lengan sehingga tubuhku memutar balik kearahnya. "Bukan memerintah, Bu. Kita disini saling membantu. Maunya Ibu lihat saya kerepotan begini, mbokya Ibu bantu memasak atau menyapu. Ini malah ibu merepet saja! Saya capek juga, Bu. Mendengar ocehan Ibu yang tidak selesai-selesai! Saya ini menantu ibu bukan pembantu. Apa salahnya Ibu membantu?" ujarku dengan suara serak menahan air mata yang ingin keluar kelopak mata ini. "Sudah berani kau, ya?" Mertua mengangkat tangan hendak menampar pipi ini, sekejap aku menangkap tangannya. "Kau!" teriak wanita berdaster bunga-bunga itu dengan geram. "Udah, Bu. Saya mau memasak. Kalau tidak mau bantu jangan mengganggu. Sebentar lagi mas Raka pulang. Kasihan tidak ada makanan di rumah!" protesku seraya membuka kulkas dan mengeluarkan bahan-bahan mentah yang akan dimasak. "Mulutmu!" Tangan ibu mertua mengepal kuat hendak meninju bahu ini, secepat kilat aku menghindar sehingga dia sempoyongan karena tangannya meninju angin. "Udah, Bu? Kalau sudah, silahkan keluar. Tolong jangan diganggu, biar saya masak dulu!" Kutunjuk pintu keluar dengan jari kanan. Bukan maksud kurang aja, tetapi ibu harus diberi pelajaran sekali-kali. Tuhan ... maafkan aku sudah berlaku tidak sopan terhadap mertua. "Siapa yang mengganggu kamu, Hah. Cepat masak. Aku sudah lapar!" Tak ku gubris lagi ibu mertua yang sedari tadi keluar masuk dapur dengan tatapan yang susah untuk dijelaskan. Belum pun masakan selesai, tiba-tiba mas Raka sudah pulang bekerja. "Assalamualaikum!" sapa mas Raka. Ternyata lelaki datang bersama Rani adiknya. "Wa alaikum salam!" jawab ibu mertua dengan penuh semangat. "Rani! Ayo masuk, Nak. Apa kabar kamu? Ibu kangen loh!" Mertua melangkah lebar saat melihat anak perempuannya datang bersama mas Raka. "Baik, Bu. Ibu sendiri sehat kan?" "Sehat, Sayang, kamu sudah makan, Nak?" tanya bu Retno seakan sengaja mau mengatakan pada mas Raka bahwa istrinya belum selesai masak padahal sudah jam setengah dua belas. "Belum, Bu. Rani laper sekali. Ibu masak apa hari ini?" tanya wanita dua puluh dua tahun itu seraya mengelus perutnya karena lapar. "Jam segini kakak iparmu belum selesai masak. Dia ngarepin Ibu terus. Jadi kek mana lagi. Tadi ibu gak bisa masak karena sakit perut!" ujar bu Retno berbohong. Wanita paruh baya tersebut sungguh pandai bersilat lidah. Dengan menjelek-jelekkan aku, dia mengharap mas Raka membeli nasi padang dan tidak capek-capek masak. "Betul begitu, Risma?" tanya mas Raka dengan mata memerah menahan amarahnya. Aku menggeleng tetapi mertua tidak menerima. "Loh, kamu dari tadi di kamar saja kan? Kalau bukan karena tiduran, ngapain lagi?" Kalau ingin makan nasi bungkus janganlah begini caranya. Mencari keuntungan sendiri dengan menjelekkan orang lain. "Kalila menangis saja sedari pagi. Adek tidak sempat masak. Jangankan masak, sarapan saja Adek tidak sempat!" jawabku membela diri. Memang iya kan. Jam segini nasi satu suap pun belum masuk ke dalam perut ini, karena Kalila rewel. Sementara mertua tidak mau menggendongnya sebentar saja. Katanya bayiku berat jadi dia tidak sanggup untuk menggendong. "Alasan saja! Kau sengaja menyuruh Ibu memasak ya? Sementara kamu asyik rebahan di kamar bermain ponsel? Kamu pikir Ibu aku babumu?" sarkas lelaki tampan berkemeja putih tersebut. "Sejak kapan Adek memperlakukan Ibu seperti pembantu? Selama ini dari masak sampai menyuci semua Adek kerjakan sendiri. Mau percaya atau tidak terserah Mas! Adek capek berdebat." ujarku.Aku melanjutkan aktivitasku yaitu memasak makan siang untuk seluruh anggota keluarga ini."Kamu semakin hari semakin kurang ajar sama ibu, Dek. Adek harus tau ya, Ibu itu darah dagingnya melekat ditubuhku sementara kamu, hanya debu dimataku. Jangan macam-macam!" bentak mas Raka. Dia sangat marah, apalagi melihat ibunya menangis tersedu-sedu, bagaikan orang paling teraniaya dimuka bumi ini."Kalau kamu tidak bisa berlaku sopan terhadap ibuku, jangan salahkan jika Mas mencari wanita yang lain!""Ya sudah. Kalau Mas mau mencari istri lain. Silahkan. Adek tidak bisa melarangnya!" ujarku seraya melangkah masuk kamar, meninggalkan mereka bertiga yang masih melongo diruang makan. Jadi perempuan itu dituntut menjadi makhluk yang sempurna. Wanita dituntut harus bisa memasak, mencuci, mengurus anak dan suami. Harus pandai merawat diri. Harus mengurus mertua dan juga harus pandai mengatur keuangan dalam rumah tangganya. Jika tidak suami akan mencari istri kedua, ketiga dan seterusnya. Haruskah begitu? Istri saja yang dituntut sempurna sementara lelaki tidak perlu! Tidak adil bukan? "Nanti kamu menyesal! Kamu pikir, enak menjadi janda? Ibu yakin seribu persen tidak ada pria yang mau menikahimu! Jangankan menikahi, mendekat aja, ogah!" hina ibu mertua dengan tatapan sinis. "Risma malah bahagia bisa lepas dari mas Rama, Bu. Apa yang bisa dibanggakan lelaki pelit seperti dia? Bukan kebahagiaan yang saya dapat selama menikah dengannya tetapi penderitaan yang tidak kunjung usai." hinak
"Gimana, Tih penampilanku?" tanyaku pada Ratih. Jujur aku sangat deg-degan karena hari ini merupakan hari pertama aku bekerja diperusahaan keluarga Hadiningrat."Kamu sangat cantik memakai baju itu, Ris. Aku gak bohong!" jawab Ratih jujur. "Duh ... nervous. Sudah lama tidak pernah berinteraksi dengan orang banyak." Ternyata aku katrok juga ya. Dari tadi mondar mandir saja didepan cermin demi memastikan penampilan."Tenang. Jalani saja! Semua akan baik-baik saja!" Ratih terus memberikan semangat untukku."Aku mundur saja, Tih." ujarku minder."Kok mundur sih? Emang mau balikan sama suamimu?" tanya Ratih dan aku menjawab dengan menggeleng."Buktikan pada dia kamu bisa hidup tanpa dia. Emang kamu mau diremehkan terus?" Ucapan Ratih membuat aku bersemangat untuk menjadi wanita sukses. Aku tidak mau diremehkan lagi.Setelah berpamitan pada bik Arum dan Kalila, aku langsung mengikuti langkah kaki Ratih menuju ke perusahaan tempat dimana aku akan bekerja.Barisan mobil mewah para karyawan
"Keluar dari ruangan Saya sekarang!" Aku berdiri dan menunjuk dengan telunjuk kiri kearah pintu dengan amarah yang meledak-ledak. Enak saja dia mengatakan aku wanita kesepian yang sedang butuh belaiannya. Dasar lelaki tidak tahu malu."Risma, ayolah. Mas juga rindu sama kamu. Lupakan pertengkaran kita kemarin. Lupakan juga pengusiran itu. Mari kita perbaiki kembali rumah tangga kita yang sudah hampir hancur ini." Mas Raka bangkit dan berusaha memeluk tubuh ini, segera aku dorong kuat sehingga membuat dia hampir saja terjerembat jatuh."Rindu kau bilang, hah. Lalu pelacur yang kau gandeng tadi pagi itu siapa? Apa dia gak bisa melayani kamu lagi? Sedang datang bulan atau jangan-jangan dia sudah kena penyakit kelamin?" ejekku sinis."Rita itu hanya sekretaris Mas. Jadi wajarlah kemana-kemana kami selalu bersama!" bela mas Raka, dia berusaha meraih tangan ini tetapi aku menepisnya."Wow, wajar kamu bilang? Bergandengan tangan dengan lawan jenis itu wajar? Apakah seorang sekretaris wajar m
"Jadi Ibu cemburu Aku berdekatan dengan Mas Raka?" tanya wanita bernama Rita saat bertemu di area parkir perusahaan. Saat ini aku sedang menunggu Ratih. Sudah sepuluh menit lebih anak itu belum turun juga. Tiba-tiba saja dihampiri sama mak Lampir yang konon katanya aku cemburu karena dia lebih cantik dariku. Kalau dia merasa cantik tidak akan mau mengambil suami orang. Seharusnya dia mendapat pria mapan dan masih lajang tentunya. Bukan mas Raka yamg pelitnya melebihi pak Raden di serial si Unyil."Cemburu? Apa yang aku cemburui dari kamu? Cantik pun enggak, pinter apalagi," sinisku membuat wajahnya memerah menahan emosi."Halah jangan bohong, Bu. Aku bisa melihat dari cara Ibu menatap mas Raka. Ibu masih begitu mencintainya 'kan?" tebakan Rita sangat jauh berbeda dengan isi hatiku yang sebenarnya terhadap mas Raka. Biarkan saja dia berandai-andai. Nanti kan capek sendiri."Kamu mau sama bekas aku? Ambil saja! Aku gak suka barang rongsokan seperti Raka!" ujarku seraya mengedarkan pand
"Rat, aku mau kerumah ibu sebentar. Boleh aku minta tolong antar aku kesana?" pintaku pada Ratih. Hari ini merupakan hari sabtu dan aku berencana akan menginap di rumah ibu nanti malam. Sekedar melepaskan rindu karena kami sudah lama tidak bertemu."Bisa lah. Apa yang gak bisa untuk sepupuku yang cantik ini." jawab Ratih sambil menepuk pelan pundak ini."Gak merepotkan kamu kan?" tanyaku memastikan. Aku takut Ratih ada acara yangbakan terganggu karena mengantar aku kerumah ibu."Tidak ada acara apa-apa. Paling nanti sore aku ada acara dengan pak Arkan membahas proyek," ucapnya dengan tatapan berbinar-binar."Proyek apa, Rat? Buat bayi?" candaku. Ratih jadi salah tingkah mendengar candaanku. Baru bercanda aja sudah kegeeran. Bagaimana kalau dia betulan menikah dengan pak Arkan ya? Bisa berputar bumi ini kurasa."Mau diantar gak? Tak tinggalin nanti!" ancam Rasti seraya tersenyum. Halah ... dicandain aja sudah bahagia setengah mati. Ratih ... Ratih."Aku siap-siap dulu ya?" pamitku sera
"Jadi pulang hari ini, Ris?" tanya Ratih saat sudah sampai ke rumahku. Saat ini ibu sedang pergi dengan Kalila kerumah sepupu ibu yang berada sekitar sepuluh kilometer dari rumah kami. "Jadi, Rat." jawabku. Saat ini, aku bukan tidak mau tinggal di rumah ibu, tapi mengingat jarak kantor tempatku bekerja dengan rumah ibu sangat jauh.Jadi terpaksa aku harus tinggal bersama bibik Arum. Beruntung aku memiliki saudara yang sangat baik hati itu. Coba kalau seandainya di kisah sinetron ikan terbang, tidak dapat aku bayangkan deh."Kalila mana?" tanya Ratih lagi. "Dibawa ibu jalan-jalan." jawabku."Hmmm ..." sepertinya Ratih ingin mengatakan sesuatu tetapi dia segan sama ibu atau ayahku."Ris, kamu tau gak!" Ratih mengedarkan pandangannya seluruh ruangan. Setelah dia lihat tidak ada satu orangpun, dia mendekatiku dan berbisik."Kayaknya Raka bakal dipecat sama pak Aslan!" Aku terkejut mendengarkan berita yang dibawa oleh Ratih."Tapi nampaknya Pak Aslan masih menelusuri kemana uang perusah
"Mas, singgah di toko perhiasan itu yuk? Katanya ada model terbaru dan dikota ini belum ada yang memilikinya. Adek mau!?" rayu wanita berpenampilan menor itu dengan tangan bergelayut manja dilengan lelaki yang masih berstatus suamiku itu.Ternyata kesini rupanya uang hasil korupsi mas Raka berlabuh! Hmmm ... wanita yang hebat? Baru saja berpacaran sudah minta perhiasan mewah, dan lebih hebat lagi pria itu mau saja menuruti kemauannya."Ris, kita masuk kesitu juga. Aku mau beli perhiasan!" Tidak ada angin dan tidak ada hujan, tiba-tiba saja Ratih mau membeli perhiasan. Padahal setahu aku, dia tidak suka memakai perhiasan terlalu wah seperti itu."Tumben!" Aku berbisik ditelinga wanita berkulit putih susu itu."Lihat saja apa yang aku lakukan!" ujar sepupuku emosi."Ayo!" Ratih menarik tanganku. Setelah sampai dia toko perhiasan, Ratih berdiri bersebelahan dengan wanita menor itu. Entah sengaja atau memang kebetulan saja.Saat Rita menatap Ratih dan hendak menegurnya, Ratih langsung mem
"Pak Aslan?" Aku kaget melihat lelaki berwajah tampan itu, tiba-tiba saja berada didepan mata. "Ngapain kalian disini? Makan enak gak ngajak-ngajak!" tanya lelaki bermata hazel itu. Dia menarik kursi bersebelahan denganku, membuat diri ini salah tingkah. Ternyata lelaki itu bisa juga bercanda. Dikantor nampak begitu pendiam dan juga berwibawa, berbeda dengan diluar. "Pak ... Pak. Makanan begini dibilang enak! Padahal Makanan yang Bapak makan lebih mewah dan lezat dibandingkan makanan kami!" seloroh Ratih. Dia tidak canggung sedikitpun berbicara dengan pak Aslan. Nampaknya mereka sudah sangat dekat. "Beda dong kalau makan ditemani dua wanita cantik seperti kalian, hmmm pasti makan Saya jadi makin bertambah berselera," ucap pak Aslan terkekeh. Ternyata pak Aslan bukan kaleng-kaleng dalam menggombali wanita. Kupikir cupu ternyata suhu. "Iyalah, Pak. Makan aja sepuasnya. Mau Bapak makan piring-piringnya juga, boleh! Gak ada yang larang!" seloroh Ratih disambut tawa renyah lelaki dua p