Share

MBAK SARAH

"Ka-kami nyari Mas Ramon, Pak ..." jawab Delima terbata-bata sambil sesekali melirik Aiza untuk mendapat dukungan.

Sekuriti memasang muka galak, "Ada janji?!" tanyanya setengah membentak.

"I-ini kejutan, Pak. Kunjungan kejutan. Saya adik kandungnya," jawab Delima lagi. Aiza hanya mengangguk mengiyakan.

"Pak Ramones, ya? Biar saya hubungi dulu." Si sekuriti masuk ke dalam pos keamanan lalu menelepon seseorang. "Betul, Bu. Ini ada yang mencari Pak Ramones. Adiknya. O ..., baik sebentar." Dia melongokkan kepala keluar kaca jendela. "Nama kamu siapa?"

"Delima, Pak."

Sekuriti kembali masuk ke dalam pos dan bicara dengan seseorang via telepon, lalu tak lama dia keluar dari pos keamanan. "Kalian naik aja ke lantai sepuluh, apartemen bernomor 103. Bu Sarah ada di sana."

Delima dan Aiza saling pandang bingung. Siapa Sarah? Apakah Ramon sudah menikah diam-diam?

Meski dalam posisi kebingungan, keduanya tetap menurut lalu naik ke dalam lift untuk menuju lantai sepuluh. Delima dan Aiza saling diam selama di dalam lift, larut dalam pikiran masing-masing, tapi takut untuk mengutarakannya. Mereka sama-sama penasaran, siapakah Sarah?

Delima menekan bel apartemen bernomor 103, tak lama pintu terbuka. Bukan Ramon yang membuka, tapi seorang perempuan bertubuh agak sedang berisi, berambut pirang panjang sampai perut, dengan tank-top berwarna jingga. Bibirnya yang agak tebal bergincu merah muda. Dari keriput-keriput halus di ujung matanya, bisa diukur kira-kira usianya berkisar tiga puluhan nyaris kepala empat.

"Tante siapa?" tanya Delima keceplosan.

Wajah si wanita esentrik langsung cemberut lantaran dipanggil tante. "Mbak, dong! Masa cantik-cantik seksi begini dipanggil tante!" dampratnya agak centil. Dia julurkan tangannya sampai kuku-kuku panjangnya yang dicat warna merah tua tampak mengintimidasi. Kulit siapapun yang tak sengaja disayat kuku-kuku tajam itu, minimal akan terluka ringan. "Panggil aku Mbak Sarah, aku ini temannya Mas kamu, tapi dia lagi ada kerjaan di luar."

Delima dan Aiza paham sekarang. Keduanya pun memperkenalkan diri secara bergantian, kemudian Sarah mengajak mereka masuk dan duduk di sofa di ruang tamu.

Mata Delima seolah akan melompat menyaksikan betapa mewah rumah Ramon. Apartemen bergaya modern klasik itu diiisi dengan perabot-perabot yang sepertinya mahal harganya. Delima cuma menebak-nebak sebab dia hanya pernah melihat model rumah seperti ini dil film-film tentang orang kaya atau sinetron.

Bahkan TV-nya saja berukuran seperempat dari dinding ruang tamu. Dapur dilengkapi dengan bar, dan pintu balkon terbuat dari kaca.

***

Sambil meletakkan nampan berisi jus jeruk dingin dan beberapa toples kue di atas meja, Sarah bertanya lagi, "Jadi kalian betul-betul datang dari desa? Nekad juga kalian ya." Dia mengulang pengakuan Delima.

"Ya mau gimana lagi, Mbak. Mas Ramon udah lima tahun nggak pulang ke desa, Ibu mau bertemu. Makanya aku disuruh ke sini untuk ngajak Mas Ramon pulang." Delima menjawab usai menenggak sedikit jus jeruknya.

Sarah mengambil tempat di samping Aiza, cukup membuat Aiza gugup. "Tapi .., Ramon mungkin nggak bisa pulang tahun ini. Kami ada rencana mau berlibur ke Hong Kong." Sarah menyayangkan.

"Liburan kan bisa ditunda, Mbak. Masa liburan bisa, ngunjungi keluarga nggak bisa?" protes Delima.

"Kamu kok diam aja dari tadi? Sakit gigi?" Satah menyikut Aiza.

Aiza menggeleng kaku. "Bu-bukan, Mbak! Saya cuma bingung mau bilang apa."

"Kamu sendiri siapanya? Adiknya Ramon juga? Soalnya Ramon pernah bilang, adiknya itu Delima dan Cempaka." selidik Sarah.

"O ..., bukan, Mbak. Saya ini sahabatnya Delima. Saya ikut biar Delima ada teman aja." Aiza menjawab kikuk.

"Kalau Mbak Sarah ini sendiri ..., apa bener hanya teman Mas Ramon?" Delima tak kalah penasaran.

Sarah langsung berdiri. Dengan gaya centilnya dia mengibaskan rambut ke belakang punggung. "Soal itu Mbak nggak berani menjawab, biar nanti kalian tanya aja Ramon, aku ini siapa bagi dia." Senyumnya mengundang tanda tanya. "Itu kamar kalian ya, bawa aja tas ke sana. Kalau mau makan, silakan ambil sendiri. Anggap rumah sendiri aja."

***

Delima menjatuhkan tubuh pegalnya di atas tempat tidur ukuran queen yang ada di kamar tamu. Nalarnya masih sulit menerima apa yang baru saja dia lihat. Sementara Aiza sibuk mengeluarkan pakaian dari dalam tas, dia hendak pergi mandi.

"Kamu tuh merasa Mbak Sarah itu aneh nggak sih, Za?" tanya Delima tak bisa menahan gejolak di dada.

"Jangan mikir aneh-aneh, deh. Kalau Mbak Sarah sampai dengar gimana?"

"Eh, aku kan nggak bilang apa-apa. Cuma ..., kamu liat kan? Dia itu kayak hampir seumuran sama ibumu. Terus juga ..., gayanya genit banget. Kok bisa ya Mas Ramon berteman sama dia?"

"Hush. Itu bukan urusan kamu. Jangan mikir terlalu jauh, kamu kan tau Mas Ramon orangnya gimana, dia orang baik, soleh, pasti nggak ada macem-macemlah."

Aiza masih bisa tetap berpikir positif meski dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ada rasa cemas sebenarnya, dia pun agak takut juga apabila memang yang dipikirkan Delima benar adanya. Dia memang masih 18 tahun, tapi dia tak sebodoh itu sampai tak mengerti apa yang ditakutkan Delima. Namun, dia masih tak percaya. Tidak mungkin Ramon punya hubungan dengan Sarah. Tidak mungkin. Dia terus menyangkal.

***

Menjelang pukul 6 petang, Sarah mengetuk kamar tamu. "Delima ..., Mas kamu udah pulang, loh!"

Secepat kilat menyambar, Delima turun dari tempat tidur. Sedangkan Aiza justru emmatung di dalam kamar. Napas Aiza mendadak sesak, grogi sampai keringat mengucur di pelipisnya. Setelah lima tahun, lima tahun penantian, akhirnya dia akan berjumpa kembali dengan pujaan hatinya. Aiza menyiapkan dirinya lebih dulu.

"Mas Ramon ...!" seru Delima yang sudah berada di luar kamar.

Aiza menajamkan telinga, hendak menjangkau suara Ramon. "Delima ..., apa kabar kamu?"

Jantung Aiza mau copot rasanya, mendengar suara Ramon yang berat tapi halus, dalam dan tenang seperti danau. Begitu memikat. Mendengar suaranya saja sudah cukup membuat Aiza kesulitan bernapas.

"Aiza! Kamu kok nggak keluar!?" panggil Delima.

"Aiza ikut juga? Aiza?" Giliran Ramon yang memanggil.

Dengan kaki agak bergetar ringan, Aiza keluar dari kamar tamu, seluruh darahnya seolah langsung berhenti mengalir saat dia tatap lagi Ramon setelah bertahun-tahun lamanya. Pemuda itu jauh lebih tinggi sekarang, tinggi Aiza hanya setara dengan dadanya. Tubuhnya yang tegap berisi dibalut kemeja putih dengan dua kancing atas terbuka, dan sebuah jas kasual biru dongker.

Senyumnya yang manis dengan sorot mata yang tajam bak elang sanggup merubuhkan kaki Aiza kapan saja. Aiza dengan gugup menjulurkan tangan, tapi Ramon justru langsung meraihnya ke dalam pelukan, lebih seperti memeluk seorang adik. "Apa kabar, Aiza?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status